Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Asa untuk Perguruan Tinggi
27 Juli 2022 14:06 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Asep Saefuddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada saat sambutan GNRM (Gerakan Nasional Revolusi Mental) kerjasama Kemenko PMK dan FRI (Forum Rektor Indonesia) beberapa waktu lalu, Menko PMK berharap PT (Perguruan Tinggi) dapat menjadi lokomotif dalam GNRM.
ADVERTISEMENT
Asumsinya bahwa di PT banyak orang-orang pintar baik dosen maupun mahasiswa. Apalagi jumlah PT di Indonesia sangat banyak. Jumlahnya sekitar 4.000. Jika ada satu gerakan saja yang dilahirkan, misalnya gerakan menanam pohon. Bila satu PT menanam 1.000 pohon, hasilnya akan terdapat 4 juta pohon yang tertanam. Angka yang sangat fantastis.
Harapan ideal dari Menko tersebut juga merupakan harapan masyarakat pada umumnya. Banyak domain yang bisa digerakkan oleh PT. Selain di bidang lingkungan dengan satu contoh sederhananya adalah menanam pohon tadi, PT juga dapat menggerakan roda perekonomian, pemulihan kesehatan, kualitas pendidikan , mengentaskan kemiskinan dan tentunya membuat tatanan kehidupan menjadi lebih baik.
Tentu dan tidak bisa dipungkiri, itu semua juga merupakan harapan para orang tua ketika mendaftarkan anaknya ke PT. Menjadi mahasiswa, menjadi sarjana, dan menjadi berguna.
ADVERTISEMENT
Apakah pada kenyataannya demikian? Apakah benar PT dapat menjadi motor penggerak perubahan sehingga mahasiswa kadang sering dinisbatkan sebagai agent of change?
Sayangnya realitas menunjukkan tidak selinier itu. Model linier yang mengadopsi hukum sebab-akibat dalam fisika menuntut banyak persyaratan yang harus dipenuhi. Bila tidak dipenuhi maka model linier itu sama sekali tidak berlaku.
Dari kerangka berpikir ini, maka anggapan bahwa PT dapat menjadi lokomotif gerakan perubahan itu perlu dilengkapi dengan persyaratan pendukungnya. Kalau tidak, harapan-harapan yang tertulis di atas hanya terealisasi dalam ruang mimpi saja. Bahkan, banyaknya PT juga tidak menjadi syarat untuk itu. Contohnya untuk PDRB (Produk Domestik Regional Bruto), Arman dkk (2020) menemukan bahwa jumlah PT tidak memberikan dampak positif terhadap peningkatan PDRB.
ADVERTISEMENT
Benar bahwa konsentrasi orang pintar itu ada di PT. Indikatornya berupa populasi dosen dan mahasiswa. Untuk itu, masih ada waktu bagi kita untuk segera menemukan faktor penyebab orang-orang pintar itu kurang atau bahkan tidak berdaya. Misalnya seperti temuan di atas, yaitu terhadap peningkatan ekonomi nasional dan regional dengan indikator PDRB. Apalagi jika ditelisik dari komponen pengetahuan dan inovasi (knowledge and innovation based economy). Bisa saling lepas.
Produksi pengetahuan dan inovasi secara hakiki berkaitan erat dengan keleluasaan berpikir (freedom of thinking). Keleluasaan berpikir merupakan induk dari kebebasan akademik. Secara kelembagaan aspek ini harus dibungkus dalam kerangka otonomi universitas.
Lemahnya PT dalam berbagai kancah kehidupan termasuk yang berkaitan dengan ekonomi berbasis pengetahuan dan inovasi bisa jadi karena lemahnya otonomi kampus. Saat ini banyak sekali regulasi yang harus diikuti PT. Seperti pembukaan prodi (program studi) yang tidak lepas dari cengkeraman Dikti. Walaupun akhirnya ada persetujuan, tetapi banyak waktu yang sudah terbuang. Hal ini sering merugikan kampus, termasuk momentum penerimaan mahasiswa baru.
ADVERTISEMENT
Begitu juga dalam hal kenaikan jenjang akademik dosen. Pimpinan PT tidak berdaya. Semuanya diatur oleh Kemendikbud Ristek. Untuk PTS jalurnya diperpanjang lagi melalui LLDIKTI (Lembaga Layanan Dikti). Padahal pendanaan PTS tidak membebani APBN.
Penilaian untuk kenaikan jenjang akademik dosen pun super ideal. Mereka dituntut sebagai pengajar, peneliti, pengabdi masyarakat serta jago kerja sama dan administrasi. Pernah penulis mendapat kiriman gambar dosen yang tangannya sangat banyak sebagai simbol manusia serba bisa. Dosen-dosen cemerlang biasanya juga mendapat tambahan tugas administrasi di unit-unit pelayanan. Akibatnya kenaikan jenjang akademik umumnya tidak lancar.
Sebagai akibat dari beban dosen bagaikan dewa, maka inovasi dan perkembangan ilmu pengetahuan semakin tersendat. Mereka tertinggal oleh rekan-rekan sejawat di PT negara asing. Padahal sewaktu pendidikan S3 di luar negeri banyak orang Indonesia yang menjadi sumber pengetahuan bagi rekan sejawatnya.
ADVERTISEMENT
Namun apa daya, sepulang studi dari luar negeri, jarang sekali dosen PT kita yang menjadi bintang dalam kancah keilmuan dunia. Boro-boro masuk sebagai penerima Hadiah Nobel. Sebagai kandidat saja susah. Hal inilah yang sering membuat rekan sejawatnya di luar negeri tidak percaya atau merasa aneh.
Jadi, menurut penulis bila ingin menjadikan PT sebagai lokomotif dalam pembangunan, kurangi atau bahkan hilangkan regulasi yang terlalu membebani kampus. Kurangi unit-unit Kemendikbud Ristek yang tentakelnya merambah ke PT. Paling tidak untuk pembukaan prodi dan kenaikan jenjang akademik dosen. Serahkan hal itu kepada PT. Bagaimana jika prodinya nanti sepi peminat? Biar PT sendiri yang menerima risikonya.
Untuk penelitian dan pengabdian pun, seharusnya mulai difokuskan pada kegunaan atau dampak. Biar paper-paper yang ada tidak hanya menjadi pajangan di lembar curiculum vitae dosen saja. Beban administrasi penelitian jangan terlalu berat. Cukup diminta output berupa paper di jurnal bereputasi atau aplikasinya yang dirasakan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Di tengah ruang informasi dan akses yang semakin terbuka. Sangat tidak mungkin jika PT malah mengendorkan produktivitas dosennya. Apalagi mencoba untuk melakukan upaya simsalabim pada setiap data dan fakta demi 'keunggulan' kampusnya. Jika masih ada yang demikian, itu sama saja dengan menggali lubang untuk mengakhiri kehidupan kampusnya sendiri. Pimpinan PT pasti dapat melakukan upaya dalam membangun ekosistem akademik tanpa terlalu banyak intervensi birokrasi.
Itulah seharusnya otonomi kampus. Membuat PT menjadi berani untuk berbuat dengan segala risiko yang ada. Hingga sampai pada titiknya akan tercipta ekosistem kondusif terhadap kreativitas dan inovasi civitas akademika dalam memproduksi ilmu pengetahuan.
Selain itu, civitas dapat leluasa berkreasi dalam berpartisipasi membangun ekonomi, menerapkan sains dan teknologi untuk kepentingan sosial dan keberlanjutan lingkungan hidup. Minimal pada daerah di mana kampus itu berada.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya, saat ini salah satu daya dukung percepatan lokomotif kemajuan itu sudah dihadirkan. Yakni program pemerintah untuk memberi keleluasaan kepada para mahasiswa dalam belajar. Kita kenal dengan nama program MBKM (Merdeka Belajar Kampus Merdeka).
Para mahasiswa diberi hak belajar di luar prodinya sebanyak 60 SKS atau 3 semester. Kegiatan di luar prodi itu bisa dalam bentuk perkuliahan di dalam atau luar negeri, magang, studi independen, penelitian, membuat atau mengkaji perusahaan rintisan (startup company), dan pengabdian masyarakat.
Program MBKM ini diharapkan dapat meningkatkan daya akseptabilitas para lulusan di pasar kerja, kemampuan berwirausaha melalui proses pembelajaran yang inovatif, adaptif dan kolaboratif dengan dunia industri. Nah, pada momentum ini dosen juga dimungkinkan untuk bekerja di dunia industri. Selain itu, para praktisi dapat bergabung dengan kampus menjadi dosen.
ADVERTISEMENT
Model MBKM ini tentu sangat bagus bagi peningkatan mutu proses pembelajaran sekaligus partisipasi PT terhadap kegiatan di luar kampus. Untuk itulah, agar konteks merdekanya itu terintegratif maka perlu disinergikan dengan aktivitas lainnya seperti penyusunan borang akreditasi, pembukaan prodi, dan administrasi kenaikan jenjang akademik dosen.
Jika demikian, pada titik itulah PT bisa memenuhi berbagai asa seperti yang tertulis di awal. PT sudah berfungsi sebagai lokomotif kemajuan.
*Asep Saefuddin, Rektor Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) - Guru Besar Statistika FMIPA Institut Pertanian Bogor (IPB)