Sekolah Dimulai, (Kasus) PPDB Berakhir?

Asep Saefuddin
Rektor Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) - Guru Besar Statistika FMIPA Institut Pertanian Bogor (IPB)
Konten dari Pengguna
31 Juli 2022 12:02 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asep Saefuddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sekolah Dimulai. Foto bersama majelis guru TK Al Hikmas BBS. Foto: Dok. penulis @a.saefuddin
zoom-in-whitePerbesar
Sekolah Dimulai. Foto bersama majelis guru TK Al Hikmas BBS. Foto: Dok. penulis @a.saefuddin
ADVERTISEMENT
Meskipun digelar rutin, namun cerita penerimaan siswa baru selalu dirundung masalah. Masalahnya lagi adalah kasus yang muncul selalu sama. Mulai dari masalah yang katanya teknis sampai pada hal yang krusial. Proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) ini memang melibatkan banyak pihak. Setiap pihak memiliki goal tersendiri. Termasuk orang tua calon peserta didik baru itu. Ingin anaknya lulus di sekolah yang dipilihnya.
ADVERTISEMENT
Hadirnya jalur zonasi dalam sistem PPDB memang memberikan ruang kesempatan orang tua untuk melanjutkan studi anaknya ke sekolah yang diharapkan. Sekolah berlabel favorit bisa dinikmati anak-anak setempat. Ruhnya kebijakan zonasi adalah pemerataan sekaligus mendekatkan jarak peserta didik dengan sekolahnya.
Hanya saja sebaran mutu sekolah yang akhirnya jadi favorit atau unggulan itu sendiri belum merata. Sementara keinginan orang tua untuk menitipkan anaknya kesana tak terbendung. Selain itu, situasi belum merata ini juga sampai pada aspek ketersediaan sekolah. Ada daerah yang ketersediaan sekolahnya berlimpah, sementara itu ada juga siswa yang bertempat tinggal di luar zona sekolah - sekolah yang ada.
Oleh karena itu, agar PPDB tidak menghadirkan masalah tahunan, perlu dikaji ulang secara menyeluruh, terutama pada beberapa hal yang substansial. Harapan PPDB bisa menerapkan prinsip yang objektif, transparan dan akuntabel seharusnya disertai dengan matang dan daya dukung yang optimal. Pembenahan menuju sekolah semuanya bermutu relatif sama, harus menjadi prioritas utama.
ADVERTISEMENT
Ada dua hal yang dipandang perlu untuk dimatangkan dan diperkuat. Pertama, kematangan dari sisi digitalisasi. Keberadaan saja tidak cukup, tapi harus matang. Intinya, jangan asal ada. PPDB yang dihadirkan secara online memberikan banyak dampak ‘teknis’ namun beresiko besar. Kebingungan cara mendapatkan atau aktivasi akun, lupa password, fasilitas internet, sampai kabar ‘berburu’ sinyal masih mewarnai cerita PPDB.
Artinya keinginan pemerintah untuk memberikan akses pendidikan yang merata justru masih diwarnai dengan kesulitan jalan untuk mengaksesnya. Infrastruktur internet belum sepenuhnya sama dengan harapan. Berbeda misalnya dengan cerita teman asal Korea. Jangankan di sekitar sekolah, di tempat tunggu bis kota saja internetnya kuat sekali.
Kedua, kematangan mental. Harus diakui, mentalitas kita terhadap pendidikan selama ini masih berorientasi pada favoritism keunggulan sekolah berbasis akademik. Sekolah favorit mempunyai banyak keunggulan, mulai dari sarana/prasarana yang super lengkap, guru yang mumpuni, sampai prestisiusnya siswa mereka, serta daya akseptansi lulusan di Perguruan Tinggi. Elitisme ini sering dimanfaatkan oleh Kepala Sekolah, guru, dan para pejabat daerah untuk menaikkan biaya pendidikannya. Termasuk uang pangkal yang sulit dijangkau masyarakat menengah ke bawah.
ADVERTISEMENT
Cara pandang yang telah mengakar ini tidak mudah untuk diubah. Tidak hanya siswa dengan orang tuanya,tetapi juga sekolah dengan gurunya.
Sebagai akibatnya, sekolah cenderung mendidik siswa dengan tingkat pencapaian akademik yang homogen. Semuanya anak pintar. Sebenarnya, sistem zonasi menuntut sekolah (favorit) untuk menerima apapun kondisi akademik calon siswanya. Disinilah fungsi sekolah sebagai tempat mengoptimalkan potensi itu diuji. Basisnya bukan sekedar masukan (calon siswa), tapi keluaran berupa lulusan yang prestatif.
Desakan masyarakat untuk masuk sekolah elit itu membuat kuota zonasi dari minimal 80% menjadi 50% (Permendikbud No. 44 Tahun 2019). Akhirnya, sekolah yang dianggap favorit banyak diserbu oleh siswa dari luar wilayahnya. Wajar bila di musim sekolah transportasi macet berat di pagi hari dan saat bubar sekolah.
ADVERTISEMENT
Bagaimana dengan sekolah yang dikategorikan ‘biasa’? Seharusnya memiliki kesempatan untuk mendidik anak-anak yang pintar juga. Tetapi apalah daya, biasanya keluarga anak pintar dan berada akan mengejar sekolah favorit walapun di luar zonasinya. Atau memilih sekolah swasta — yang juga favorit, ketimbang sekolah negeri yang sudah dicap biasa-biasa saja itu.
Bahkan, pilihan ke sekolah swasta ini bisa saja bersifat sementara, sambil menunggu ‘bangku kosong’ di sekolah negeri yang dituju. Efeknya, banyak sekolah negeri tidak naik kelas dan sekolah swasta kekurangan siswa yang mampu bayar.
Nah, selain sekolah favorit, kita juga akrab sekali dengan istilah sekolah negeri - sekolah swasta. Tidak perlu kiranya dijelaskan lebih jauh perbedaan diantara kedua sekolah ini. Mindset terhadap perbedaannya selama ini juga menjadi salah satu penyebab akses pendidikan itu belum merata. Ketika sekolah berstatus negeri saja saling 'bertarung', dapat ditebak bagaimana kerja kerasnya sekolah swasta untuk mendapatkan siswa baru. Semua ini menambah 'ruwet' persoalan pendidikan nasional yang tak kunjung selesai.
ADVERTISEMENT
Mentalitas juga erat kaitannya dengan etik. Hanya karena ingin anaknya lulus di sekolah tujuan, tidak sedikit orang tua yang mengaburkan hakikat pendidikan termasuk kaburnya makna "benar - salah". Sayangnya, persoalan ini sering menjadi sumber pendapatan bagi sekolah, bahkan guru secara personal.
Padahal sejatinya hubungan orang tua dengan sekolah harus menjadi daya dukung bagi perjalanan anak atau peserta didik itu selanjutnya. Bukan sebaliknya, diawali dengan kesepakatan yang justru merapuhkan mentalitas anak atau siswa itu sendiri.
Padahal PR besar bangsa ini sangat banyak, semuanya sangat erat kaitannya dengan rapuhnya mentalitas. Mulai dari korupsi, pembalakan hutan, pungutan liar, saling tindas bahkan sampai saling bunuh.
Mungkin sebelum beranjak jauh melakukan pemetaan kembali terhadap sistem pendidikan nasional, kita perlu melakukan prosesi muhasabah nasional. Bertanya pada diri, sebenarnya untuk apa anak-anak itu disekolahkan? Untuk apa kita mati-matian berusaha agar mereka diterima di sekolah terbaik itu?
ADVERTISEMENT
Sembari menjawab pertanyaan tersebut. Kita juga berharap agar berbagai masalah yang mencemarkan PPDB tahun ini dan tahun-tahun sebelumnya harus dituntaskan. Ditindak sesuai dengan hukum dan perundangan yang berlaku. Jangan sampai setiap sekolah dimulai, kasus PPDB seakan-akan otomatis berakhir.
*Asep Saefuddin, Rektor Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) - Guru Besar Statistika FMIPA Institut Pertanian Bogor (IPB)