Konten dari Pengguna

Merayakan Era Kegilaan: Saat Hoaks dan Kebencian Menggantikan Kebenaran

8 Agustus 2024 9:35 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari asep k nur zaman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Seorang demonstran memegang perisai selama protes anti-imigrasi, di Rotherham, Inggris, Minggu (4/8/2024). Foto: Hollie Adams/REUTERS/Kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Seorang demonstran memegang perisai selama protes anti-imigrasi, di Rotherham, Inggris, Minggu (4/8/2024). Foto: Hollie Adams/REUTERS/Kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Inggris Raya, negara yang dulunya terkenal dengan romansa teh sore dan ratu yang anggun, kini menjadi ajang pesta bagi para pencinta kebohongan dan kebencian. Mari kita lihat bagaimana kebohongan yang diolah dengan bumbu kebencian mampu mengubah negara yang tenang menjadi ladang kerusuhan yang spektakuler.
ADVERTISEMENT
Pada akhir Juli 2024, sebuah tragedi mengerikan terjadi di Southport. Seorang pemuda bernama Alex Muganwa Rudakubana 17 tahun), yang ternyata bukan imigran Muslim seperti yang digembar-gemborkan, melakukan penikaman maut di sebuah kelas tari anak-anak. Tapi siapa peduli akan kebenaran saat kebohongan jauh lebih menarik?
Dalam waktu singkat, dunia maya dipenuhi dengan teori konspirasi yang menyebut pelaku adalah imigran Muslim bernama Ali Al Shakatti. Hoaks ini langsung disambut meriah oleh para pengikut ekstrem kanan yang sepertinya lebih percaya pada dongeng daripada fakta.
Inilah kekuatan EDL (Liga Pembela Inggris) dan para pengikutnya. Mereka berhasil mengubah sebuah tragedi menjadi alasan untuk pesta kekerasan. Dari Southport hingga London, Manchester hingga Bristol, kerusuhan menyebar lebih cepat daripada virus. Islamofobia dan xenophobia menjelma dalam bentuk serangan terhadap masjid dan komunitas muslim serta kantung-kantung pencari swaka atau imigran.
ADVERTISEMENT
Jika tahun 2011 ada kerusuhan besar akibat kekerasan polisi, tahun 2024 mencatat rekor baru dengan kerusuhan yang dipicu oleh imajinasi berlebihan dan kebencian yang terorganisir. Dan, ini menjadi kerusuhan terburuk dalam 13 tahun terakhir di Inggris. Mereka berhasil memanfaatkan ketakutan dan kebencian yang telah lama terpendam di masyarakat.
Lalu, siapa yang bisa kita salahkan? Tentu saja para penghasut di media sosial dan para tokoh ekstrem kanan seperti Stephen Yaxley-Lennon, alias Tommy Robinson. Dengan bantuan dari platform seperti X milik Elon Musk, mereka menyebarkan hoaks lebih cepat daripada polisi bisa mengirimkan satu unit mobil patroli.
Elon Musk, dengan gayanya yang flamboyan, bahkan menyarankan bahwa "perang saudara tidak dapat dihindarkan" di Inggris. Hebat, bukan? Siapa butuh pemadam kebakaran saat Anda bisa menyalakan api dan menonton dari kejauhan?
ADVERTISEMENT
Pemerintah Inggris, dalam usaha putus asa untuk meredakan situasi, akhirnya mengungkap identitas pelaku sebenarnya. Dia, Alex Rudakubana, memang keturunan imigran asal Rwanda, tapi bukan muslim.
Namun, siapa yang peduli klarifikasi itu? Kebohongan sudah terlalu jauh meresap dalam pikiran masyarakat. Menurut para pemuka agama yang akhirnya dipanggil untuk meredakan situasi, kebencian dan hoaks telah mengalahkan rasionalitas dan fakta.
Kerusuhan di Inggris adalah pengingat betapa rentannya masyarakat terhadap kebohongan yang diolah dengan cerdik. Ketika kebenaran menjadi pilihan kedua, kita harus bertanya: Apakah kita hidup di era kegilaan?

Pelajaran Berharga

Mari berkaca pada buku The Freedom Writers Diary, yang mengajarkan kita bahwa pendidikan dan pengertian adalah kunci untuk mengatasi prasangka dan kebencian. Buku ini adalah kumpulan tulisan harian yang ditulis oleh sekelompok siswa SMA dari Long Beach, California, AS, yang menyebut diri mereka sebagai "The Freedom Writers". Kelompok ini dibimbing oleh guru bahasa Inggris mereka, Erin Gruwell.
ADVERTISEMENT
Buku The Freedom Writers Diary mengisahkan pengalaman hidup para siswa yang menghadapi berbagai tantangan, termasuk kekerasan, rasisme, dan kemiskinan. Melalui tulisan harian, para siswa menceritakan perjuangan mereka untuk mengatasi masalah-masalah tersebut dan menemukan harapan serta inspirasi dalam pendidikan.
Sebagai pelajaran berharga, buku tersebut diadaptasi menjadi film berjudul Freedom Writers, yang dirilis pada 2007, dengan Hilary Swank memerankan Erin Gruwell. Kisah ini menginspirasi banyak orang karena menunjukkan bagaimana pendidikan dapat memberikan kekuatan untuk mengubah kehidupan dan mengikis rasisme.
Penyakit Hasad
Tapi, kini -- seperti terjadi di Inggris -- siapa peduli pada pendidikan saat kebohongan dan kebencian bisa memberi Anda lebih banyak pengikut dan lebih banyak kekuasaan? Penangkapan pada sekitar 400 demonstran radikal dengan ancaman pasal terorisme, juga belum tentu menyembuhkan akar masalah berupa penyakit hasad yang melekat kuat pada hati mereka.
ADVERTISEMENT
Jadi, dengan tangis pilu, mari kita rayakan saja era baru ini. Era tempat kebohongan lebih kuat daripada kebenaran dan kebencian lebih menarik daripada pengertian.
Selamat datang di masa depan yang penuh dengan kebohongan yang memikat dan kebencian yang menyala-nyala. Tepuk tangan -- dengan hati teriris -- untuk kita semua!