Konten dari Pengguna

Ancaman 'Matinya' Sekolah Swasta

Asep Totoh
Guru SMK Bakti Nusantara 666, Dosen Masoem University, Guru SMP Pasundan Rancaekek
18 Agustus 2021 6:11 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asep Totoh tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
MENARIK mencermati fenomena minat masyarakat untuk menyekolahkan anaknya terlebih setelah era pandemi Covid-19. Misalnya saja, penurunan jumlah siswa yang mengikuti pendidikan jenjang anak usia dini (PAUD) di kota Bandung yang menurun karena pandemi Covid-19. Para orang tua menunda menyekolahkan anaknya karena berbagai alasan.
ADVERTISEMENT
Penurunan persentase di setiap lembaga PAUD pun beragam, ada yang mengalami penurunan sampai 50 persen, 20 persen dan ada yang sama sekali tidak punya siswa selama pandemi hingga tak beroperasi. Temuan lainnya ada PAUD yang gurunya empat orang, siswanya hanya tiga orang.
Tidak bisa dielakkan hal yang sama bisa menjadi fenomena “gunung es” yang melanda sekolah-sekolah swasta di berbagai daerah, sebab akibat pandemi Covid-19 ini banyak sekolah kesulitan dalam operasional sekolah karena kekurangan murid.
Pun jauh sebelum Pandemi Covid-19, fenomena matinya sekolah karena kekurangan murid seperti yang terjadi pada tahun ajaran sebelumnya yaitu 2019-2020 ketika ada beberapa sekolah yang menutup aktivitas pembelajaran karena kekurangan murid.
Bagi sekolah swasta, PPDB adalah tolak ukur keberlangsungan sekolah yang jelas terlihat dari perolehan siswa. Keniscayaannya, sekolah swasta tentu tidak bisa dilepaskan dari yang namanya profit atau income dari banyaknya siswa pendaftar. Alhasil, sekolah swasta memang menggantungkan hidupnya dan ukurannya adalah para pengguna yang masuk ke sekolah swasta.
ADVERTISEMENT
Kondisi penurunan perolehan siswa bagi sekolah swasta untuk dua tahun terakhir di era pandemi Covid-19 pun berlaku tidak hanya pada PAUD saja. Pendidikan dasar menengah dan tinggi pun jelas-jelas terdampak sekali, banyak sekolah swasta dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) saat ini benar-benar kekurangan peserta didik dan mahasiswa.
Temuan penulis untuk tahun pelajaran 2021-2022, penurunan siginifikan jumlah siswa di beberapa sekolah swasta yang selalu mendapat lebih dari 400-an siswa pun hanya mendapat 200an siswa. Ironis memang, ada banyak faktor dan pandemi Covid-19 senyatanya menyebabkan sekolah swasta di ambang keterpurukan.
Keberadaan swasta di Indonesia sendiri memang memiliki jumlah yang lebih mendominasi ketimbang sekolah negeri. Mengutip Statistik Data Kemendikbud (2020), ada 131.879 atau 88,25 persen SD negeri dan 17.556 atau 11,75 persen sekolah SD di Indonesia. Kemudian 23.594 atau 58,17 persen SMP negeri dan 16.965 atau 41,83 persen SMP swasta. Serta 6.883 atau 49,36 persen SMA negeri dan 7.061 atau 50,64 persen SMA swasta.
ADVERTISEMENT
Harus diakui sudah sejak lama sekolah swasta kesulitan dalam mencari murid (peserta didik) terlebih ketika diberlakukannya kebijakan zonasi. Dikotomi masyarakat masih "negeri minded", yakni terfokus kepada sekolah negeri sehingga swasta menjadi nomor dua. Kemudian kebijakan pemerintah lainnya bisa merugikan sekolah swasta, seperti halnya SMA dan SMK negeri gratis sehingga seolah-olah masuk sekolah swasta harus bayar mahal.
Belum lagi banyak berdirinya sekolah baru yang kadang berdekatan lokasinya dengan sekolah lama, yang akibatnya antar-sekolah terjadi persaingan dalam memperebutkan peserta didik baru. Sekolah seperti pasar bebas di mana peserta didik tinggal mau memilih sesuai dengan kemampuan, nilai akademis dan ekonomi orang tua. Sekolah satu dengan sekolah lainnya pun dipaksa mengikuti “seleksi alam” di mana sekolah yang bagus dan tergolong favorit selalu mendapat kemudahan dalam mendapatkan peserta didik dan yang lainnya harus berjibaku untuk memperoleh murid baru.
ADVERTISEMENT
Setiap tahun ajaran baru sekolah swasta selalu menjerit dengan aturan PPDB agar berjalan secara transparan, demokratis, dan akuntabel. Kebiasaan ini menjadi rutinitas setiap tahun awal pelajaran baru setelah pengumuman penerimaan sekolah negeri. Biasanya, siswa yang tidak tertampung di sekolah negeri akan berupaya mencari sekolah swasta.
Setiap tahun potensi siswa yang mundur tiba-tiba karena diterima di sekolah negeri, jadi masalah berulang yang dihadapi sekolah swasta. Bagaikan borok lama yang terus berulah, isunya bahkan ada banyak kasus yang terjadi walau quota siswa negeri sudah dibatasi dan PPDB telah ditutup namun masih ada saja oknum jalur belakang.
Terlepas itu semua, sekolah swasta keniscayaanya dituntut untuk senantiasa merevitalisasi strateginya guna menjamin kesesuaian tuntutan lingkungan dan persaingan dengan kekuatan internal yang dimilikinya. Ketidakmampuan suatu satuan pendidikan dalam merespons peluang dan ancaman eksternal, akan mengakibatkan menurunnya daya saing atau terhambatnya pencapaian kinerja satuan pendidikan. Jika hal ini dibiarkan, maka akan mengancam kelangsungan hidupnya.
Ilustrasi Anak Sekolah, foto; Pixabay
ADVERTISEMENT
Harapan besar dan menjadi peluang bagi pengelola jasa pendidikan ketika masih ada masyarakat memilih sekolah bukan karena itu sekolah negeri atau sekolah swasta, tetapi sejauh mana kepandaian pengelola sekolah dalam menawarkan program-program keunggulan atau kekhasan.
Melakukan perubahan itu sebuah keniscayaan, mereka yang menolaknya akan tergilas perubahan maka pilihannya berubah atau tidak sama sekali. Dan mereka yang menjadi pemenang adalah mereka yang kreatif dan inovatif.
Alhasil, sekolah swasta bukanlah “penggembira” dalam penyelengaraan pendidikan di Indonesia. Sekolah swasta harus menempatkan dirinya sejajar dengan sekolah negeri, sehingga ancaman “kematian” sekolah swasta seharusnya tidak semestinya terjadi.
** Asep Totoh - Dosen Ma’soem University, Kepala HRD Yayasan Bakti Nusantara 666 Cileunyi.