Konten dari Pengguna

Bagaimana Kemampuan Literasi Kita?

Asep Totoh
Guru SMK Bakti Nusantara 666, Dosen Masoem University, Guru SMP Pasundan Rancaekek
26 Agustus 2020 4:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asep Totoh tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ganti kebiasaan Anda bermain ponsel dengan membaca buku Foto: Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Ganti kebiasaan Anda bermain ponsel dengan membaca buku Foto: Unsplash
ADVERTISEMENT
Menengok kepiawaian para tokoh dalam menulis telah berhasil menciptakan sebuah mahakarya sejarah masa lalu yang bisa direfleksikan kembali pada zaman ini. Semisal, Imam Al-Ghazali dengan Ihya Ulumuddin, Imam Malik dengan Al-Muwattha, Imam Syafie dengan Al-Umm dan lain-lain. Tentunya untuk mewujudkan itu semua tak semudah membalikkan telapak tangan, yakin saja mereka tidak akan menghasilkan karya tulis yang gemilang jika tidak diiringi dengan keilmuan yang memadai. Sederhananya, tulisan berkualitas hanya akan diperoleh dengan semangat baca tanpa batas.
ADVERTISEMENT
Menarik juga jika melihat tradisi saat zaman Belanda, di mana ada tradisi intelektual yang sudah dimunculkan sejak tingkat sekolah. Siswa AMS (sekolah Belanda) diwajibkan harus membaca 25 judul buku sebelum mereka lulus. Dengan kebijakan seperti itu kita bisa melihat hasilnya, yaitu tradisi intelektual yang kuat dari para tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan yang mencicipi sistem persekolahan Belanda tersebut.
Bandingkan dengan kondisi saat ini, jika ditanya berapa jumlah buku yang telah kita baca, akankah pertanyaan ini terasa berat untuk menjawabnya dengan jujur? Jika melihat kembali hasil survei dari studi Most Littered Nation In the World 2016 bahwa budaya literasi (baca-tulis) di Indonesia masih sangat rendah dan jauh tertinggal. Dari 61 negara yang diteliti tingkat literasinya, menempatkan Indonesia di urutan ke-60 setelah Bostwana (Peringkat kedua dari bawah). Menurut riset UNESCO, indeks minat baca Indonesia 0,001 %. Itu artinya dari seribu orang hanya ada satu yang memiliki minat baca, dan hanya baru sampai "minat baca".
ADVERTISEMENT
Data dari survei 3 tahunan BPS juga mencatat bahwa tingkat minat baca anak-anak Indonesia hanya 17,66 %, sementara minat menonton mencapai 91,67 %. Tetapi jika dilihat dari segi infrastuktur yang mendukung kegiatan membaca, peringkat Indonesia berada di atas negara-negara Eropa. Indonesia berada di urutan 34 untuk penilaian dari komponen infrastruktur, berada di atas Jerman, Portugal, Selaindia Baru, dan Korea Selatan.
Durasi waktu membaca orang Indonesia per hari rata-rata hanya 30-59 menit, kurang dari sejam. Sedangkan, jumlah buku yang ditamatkan per tahun rata-rata hanya 5-9 buku. Itu hasil penelitian Perpustakaan Nasional tahun 2017. Kondisi itu, tentu jauh di bawah standar Unesco yang meminta agar waktu membaca tiap orang 4-6 jam per hari.
ADVERTISEMENT
Itulah salah satu bukti budaya literasi di Indonesia masih sangat rendah. Angka membaca Indonesia sangat jauh tertinggal. Sementara masyarakat di negara maju rata-rata menghabiskan waktu membaca 6-8 jam per hari. Anehnya, orang Indonesia mampu menghabiskan waktu 5,5 jam sehari untuk bermain gawai atau gadget.
Ilustrasi anak membaca buku cerita. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
Teknologi bisa jadi semakin maju tetapi semua itu tidak menjamin budaya literasi di Indonesia makin baik. Orang makin kaya belum tentu makin peduli pada budaya literasi bahkan tidak sedikit hari ini orang-orang pintar yang meninggalkan kegiatan literasi. Bukankah saat ini era digital, era revolusi industri 4.0. Tapi faktanya, justru banyak orang makin malas membaca, makin malas menulis. Maka wajar, budaya literasi makin dikebiri. Bahkan hari ini, budaya literasi dianggap cukup diseminarkan saja tanpa perlu aksi nyata dan program literasi pun "Hangat-Hangat Tahi Ayam".
ADVERTISEMENT
Senyatanya, literasi saat ini sudah mulai digunakan dalam skala yang lebih luas tetapi tetap merujuk pada kemampuan atau kompetensi dasar literasi, yakni kemampuan membaca serta menulis. Intinya, hal yang paling penting dari istilah literasi adalah bebas buta aksara supaya bisa memahami semua konsep secara fungsional. Orang yang memiliki kemampuan literasi jika sudah mendapatkan kemampuan dasar dalam berbahasa, yakni menyimak, berbicara, membaca serta menulis, sehingga dengan demikian kita juga tahu bahwa kemampuan menyimak, berbicara, membaca, dan tulis adalah pintu pengembangan makna literasi selanjutnya.
Gerakan literasi sekarang ini harus menjadi gerakan yang terus disosialisasikan pada setiap lapisan masyarakat. Kegiatan literasi merupakan suatu bentuk hak dari setiap orang untuk belajar di sepanjang hidupnya, di mana harapannya adalah dengan kemampuan literasi yang meningkat, kualitas hidup masyarakat juga bisa meningkat juga. Multiple Effect yang dimilikinya juga dianggap bisa membantu pembangunan yang berkelanjutan seperti pemberantasan kemiskinan, pertumbuhan penduduk, pengurangan angka kematian dan lain-lain. Dan dengan literasi ini bisa menjadi kunci manusia untuk berproses menjadi manusia yang lebih berpengetahuan dan berperadaban.
ADVERTISEMENT
Di era Revolusi Industri 4.0 kita perlu mengembangkan literasi baru, yaitu data, teknologi dan sumber daya manusia, kita harus bisa memanfaatkan dan mengolah data, menerapkannya ke dalam teknologi dan tentunya kita harus memahami cara penggunaan teknologi tersebut Literasi manusia menjadi penting untuk bertahan di era ini, tujuannya adalah agar manusia bisa berfungsi dengan baik lingkungan manusia dan dapat memahami interaksi dengan sesama manusia. Oleh karena itu sekolah dan para guru perlu mencari metode untuk mengembangkan kompetensi siswa untuk memiliki higher order thinking and mental skills, berpikir kritis & sistemik, berkolaboratif, berkomunikasi juga berkreasi dan berinovasi, di mana kesemuanya amat penting untuk bertahan di era Revolusi Industri 4.0.
Oleh :
ADVERTISEMENT
Asep Totoh - Dosen Ma'soem University, Kepala HRD Yayasan Pendidikan Bakti Nusantara 666