Konten dari Pengguna

Kualitas Budaya Membaca?

Asep Totoh
Guru SMK Bakti Nusantara 666, Dosen Masoem University, Guru SMP Pasundan Rancaekek
22 Juli 2020 4:28 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asep Totoh tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi membaca buku. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi membaca buku. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
ADVERTISEMENT
MENURUT survei kelas dunia, orang-orang Indonesia tak suka baca buku?. Bahkan kita pernah terperangah dengan "Tragedi nol buku” Taufik Ismail, beliau pernah membandingkan budaya baca di kalangan pelajar Indonesia dengan negara-negara lainnya. Rata-rata lulusan SMA di Jerman membaca 32 judul buku, di Belanda 30 buku, di Rusia 12 buku, di Jepang 15 buku, di Brunaidarussalam 7 buku, di Singapura 6 buku, di Malaysia 6 buku. Sedangkan di Indonesia 0 buku.
ADVERTISEMENT
Bukankah buku dan negara maju adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan, tidak heran kalau di negara maju sebagian besar masyarakatnya adalah gemar membaca. Bahkan membaca sudah menjadi bagian dari gaya hidup dan budaya mereka. Dari beberapa penelitian menyatakan membiasakan diri membaca buku, koran maupun media lainnya, membuat kita berlatih memusatkan pikiran dan merangsang saraf otak untuk bekerja.
Data dari survei 3 tahunan BPS juga mencatat bahwa tingkat minat baca anak-anak Indonesia hanya 17,66 %, sementara minat menonton mencapai 91,67 %. Ironi memang, tetapi jika dilihat dari segi infrastuktur yang mendukung kegiatan membaca, peringkat Indonesia berada di atas negara-negara Eropa. Indonesia berada di urutan 34 untuk penilaian dari komponen infrastruktur, berada di atas Jerman, Portugal, Selaindia Baru dan Korea Selatan. Literasi saat ini sudah mulai digunakan dalam skala yang lebih luas tetapi tetap merujuk pada kemampuan atau kompetensi dasar literasi yakni kemampuan membaca serta menulis.
ADVERTISEMENT
Hasil studi Program for International Student Assessment (PISA) 2018 yang dirilis pada 03 desember 2019 , ada beberapa catatan yang menarik untuk dianalisis. Kemampuan membaca siswa Indonesia adalah yang terendah dibanding kemampuan dalam bidang matematika dan sains. Kemampuan membaca siswa Indonesia pun terpaut jauh dari negara-negara dengan kultur dan geografis yang memiliki sejumlah kesamaan, seperti Singapura dan Malaysia. Kemampuan membaca siswa Singapura menjadi runner-up dengan skor fantastis 549
Berkaitan dengan dukungan budaya baca, terdapat masalah kaitan penyediaan bahan bacaan non buku paket disekolah yang masih minim. Menurut survey yang dilakukan Tanoto Foundation (2019), dari 298 sekolah yang menjadi mitra Program Pintar (Pengembangan Inovasi Kualitas Pembelajaran) hanya 9% diantaranya yang memiliki inisiatif menyediakan bacaan non buku paket. Pendataan tersebut dilakukan di Sumatera Utara, Jambi, Riau, Jawa Tengah dan Kalimantan Timur.
ADVERTISEMENT
Maka yang harus segera dilakukan adalah Keseriusan membangun literasi di sekolah pada komitmen dan konsistensi bersama untuk membudayakan membaca ke segenap warga sekolah, tentunya dibutuhkan dukungan dari semua pihak. Kebiasaan membaca akan berkembang menjadi budaya membaca jika didukung pelbagai faktor seperti ketersediaan buku bacaan, kondisi siswa, lingkungan belajar dan juga dukungan orang tua. Penyediaan buku-buku bacaan non paket berkualitas akan menjadi sumber bacaan yang penting dan bermanfaat bagi siswa untuk mendorong minat dan kemampuan membaca siswa.
Satu yang pasti jika gerakan membiasakan membaca buku ini bukan hanya gerakan yang hanya hangat-hangat tahi ayam, programnya hanya bertahan selang beberapa waktu saja setelah itu hilang begitu saja. Jika belajar dari pola literasi di Australia dari program setiap hari saat pulang sekolah, anak diwajibkan membawa pulang satu buku bacaan. Dan ini sebagai PR untuk setiap anak, dimana terdapat peran orangtua bertugas membimbing anak-anak mereka ketika membaca buku tersebut. Sekolah pun memiliki program Library Day, yang berlaku setiap hari Kamis. Pada hari itu anak diperbolehkan meminjam satu buku bacaan untuk waktu seminggu ke depan. Selanjutnya, selain buku tersebut dibaca, anak ditugasi mencari kosakata baru, membuat kalimat, kemudian membuat ringkasan buku tersebut dengan bahasa sendiri.
ADVERTISEMENT
Kemudian di Korea, para siswa tiba di sekolah 30 menit sebelum pelajaran dimulai. Saat tiba di kelas, para siswa itu harus membaca buku yang disukainya. Kegiatan membaca ini juga dilakukan oleh bersama para guru di dalam kelas. Jadi, saat bersamaan, para guru dan siswa melakukan kegiatan membaca bersama-sama. Setelah waktu membaca habis, dilakukan diskusi mengenai buku yang mereka baca. Di akhir kegiatan, siswa juga diminta menuliskan semacam kesimpulan yang dibacanya dengan kalimat pendek dan gambar dan tugas ini diberikan kepada siswa tergantung kelasnya.
Begitupun jika menegok Singapura sebagai salah satu negara di Asia, bahkan dunia, dengan kualitas pendidikan terbaik. Capaian tersebut ternyata tak lepas dari minat baca penduduk Singapura yang tinggi. Ada banyak program yang pemerintah Singapura lakukan guna mendongkrak tingkat literasi penduduknya. Kampanye serta program-program membaca dilakukan sejak dini. Bahkan, menanamkan minat baca dilakukan sejak di rumah sakit, kepada ibu yang baru melahirkan sekaligus pada bayinya.
ADVERTISEMENT
Selain itu, masih banyak program dan terobosan yang dilakukan pemerintah Singapura beserta pihak lainnya agar membaca menjadi kegiatan yang tak bisa dilepaskan oleh masyarakat di sana. Hal tersebut tentu bisa menjadi tips anak suka baca yang bukan tidak mungkin untuk kita aplikasikan di Indonesia. Dalam sebuah riset berjudul Effot to Develop the Reading Interest of the People from Children in Singapore Libraries, terhimpun sejumlah program yang digalakan perpustakaan, baik itu perpustakaan negara maupun swasta, guna menumbuhkan tingkat membaca sejak dini.
Jika kegiatan seperti ini bisa komitmen dan konsisten dilakukan di sekolah-sekolah kita, keyakinannya jika minat baca di Indonesia bisa meningkat. Tak hanya itu, kegiatan ini juga akan mendekatkan anak-anak dengan dunia buku. Jadi membaca itu bukan dikarenakan ada perlunya, tapi memang menjadi sebuah keperluan dari bagian aktivitas keseharian. Komitmennya membuat hari tak sekedar berlalu begitu saja, tetapi harus selalu mendapat “asupan” bacaan yang bermutu.
ADVERTISEMENT
Bukankah Kemendes PDTT dan Perpustakaan Nasional (Perpusnas) juga telah melakukan penandatanganan nota kesepahaman untuk mengatasi rendahnya tingkat literasi di perdesaan. Kesempatan dana desa untuk bisa digunakan untuk membeli koleksi buku-buku di perpustakaan desa ini membuka ruang bahwa desa-desa di pelosok bisa memiliki buku yang bisa dinikmati penduduknya. Di Indonesia ada 74.754 desa (Permendagri No 56 Tahun 2015).
Tentunya hal ini akan mengurangi kesenjangan, bahwa perpustakaan bukan hanya ada di perkotaan saja. Tetapi juga di desa. Kini tinggal bagaimana pemerintah desa menyikapinya. Menangkap peluang tersebut atau tidak. Dukungan dana desa pun besar, Rp 100 jutaan per tahun. Sangat bisa kalau disisihkan kalau untuk membeli buku, senyatanya pembangunan sumber daya manusia sangat penting. Semoga bisa ditangkap dan direaliasikan dalam meningkatkan budaya literasi bangsa Indonesia.
ADVERTISEMENT
Alhasil, orang yang bermanfaat itu akan selalu bermula dari seberapa banyak bacaan yang diserapnya seiring waktu, dan mengutip kata Ki Hajar Dewantara “Lawan Sastra Ngesti Mulya”, dengan ilmu kita menuju kemuliaan.
Oleh :
Asep Totoh - Dosen Ma'soem University