Pemimpin Antikorupsi?

Asep Totoh
Guru SMK Bakti Nusantara 666, Dosen Masoem University, Guru SMP Pasundan Rancaekek
Konten dari Pengguna
8 Desember 2020 5:42 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asep Totoh tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Korupsi. Foto: Indra Fauzi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Korupsi. Foto: Indra Fauzi/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
PILKADA Serentak 2020 tanggal 9 Desember, bersamaan dengan momentum Hari Anti Korupsi yang kerap diperingati masyarakat di dunia. Sepertinya masalah korupsi seolah tidak ada habisnya dan selalu menjadi menarik untuk menjadi perbincangan khalayak banyak. Korupsi banyak dilakukan oleh para pejabat yang memegang tampuk pimpinan, mulai tingkat terbawah hingga teratas.
ADVERTISEMENT
Sebuah adagium di dalam ilmu politik dikatakan bahwa kekuasaan yang tidak terbatas cenderung melakukan korupsi. Masyarakat seolah meyakini bahwa korupsi sudah merupakan bagian dari romantika kekuasaan sejak lama di Indonesia, mulai dari korupsi yang terjadi berkaitan dengan penyalahgunaan penggunaan uang rakyat atau harta negara atau korupsi yang melibatkan pejabat yang seharusnya menjadi panutan masyarakat karena mereka dipilih dan terpilih.
Upaya pemberantasan korupsi pun sudah dilakukan sejak lama dengan menggunakan berbagai cara, sanksi terhadap pelaku korupsi sudah diperberat, namun masih saja terjadi perbuatan yang bisa jadi dalam setiap hari kita saat ini masih membaca atau mendengar adanya berita mengenai korupsi.
Dalam sepekan terakhir kita disuguhkan berita OTT (Operasi Tangkap Tangan) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo, Rabu (25/11) dini hari. Penangkapan oleh KPK itu diduga terkait korupsi dan suap dalam ekspor benih lobster. Selanjutnya Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap Walikota Cimahi terkait izin pembangunan rumah sakit Jum’at (27/11) di Cimahi, Jawa Barat.
ADVERTISEMENT
KPK kembali melakukan OTT yang menyasar Bupati Banggai Laut Sulawesi Tengah (Sulteng), Kamis (3/12). Di duga Wenny Bukamo menerima suap untuk kepentingan kampanye pemenangan Pilkada. Dan sedikit mencengankan masayarakat di saat pandemi adalah OTT KPK terhadap pejabat Kementerian Sosial (Kemensos) terkait bansos penanganan pandemi COVID-19, Minggu (6/12). Menteri Sosial Juliari Batubara menjadi tersangka kasus dugaan korupsi Dana BANSOS Corona.
Ilustrasi OTT Korupsi,Foto: Shutterstock
Pemimpin dengan kepemimpinannya kiranya dapat saja melahirkan, atau membiarkan terjadinya tindakan-tindakan korupsi. Kiranya relevan dari frasa tersebut diposisikan sebagai dua persoalan yang dapat saling mendukung dan bahkan saling memenuhi. Mungkinkah meluas dan merajalelanya korupsi bahkan sebagian kalangan menyebutnya telah menjadi budaya di tengah kehidupan bermasyarakat dan bernegara di Indonesia ini merupakan simbiosis mutualisme dengan kepemimpinan yang ada.
ADVERTISEMENT
Menyoal korupsi di kementerian atau pemerintah daerah polanya hampir sama, yaitu korupsi anggaran dan korupsi kebijakan. Selanjutnya ada banyak ragam alasan korupsi seperti mengembalikan modal pencalonan, balas jasa biaya sponsor, money politic, hingga biaya persiapan pencalonan periode berikutnya.
Tak aneh Indonesia memiliki “keakraban” tersendiri dengan korupsi, dan cenderung berulang, sebagaimana yang dijelaskan oleh Peter Carey dan Suhardiyono Haryadi (2016) bahwa sejak rezim Orde Lama, Orde Baru hingga Orde Reformasi, masalah korupsi yang dihadapi tidak terlalu berbeda.
Terbukti setelah memasuki Era Reformasi hingga saat ini, kelima pemimpin nasional (Presiden) silih berganti memimpin dengan tidak satu pun di antara mereka (Habibie, KH Abdulrahman Wahid, Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono) dan Presiden Jokowi diperiode keduanya pun seolah belum mencapai puncak keberhasilanya dalam memberantas korupsi.
ADVERTISEMENT
Tidak heran, jika terdapat sikap pesimis dan skeptis dalam pemberantasan korupsi. Yang dibutuhkan saat ini adalah keteladanan diri pemimpin disebabkan dia mampu menjalankan amanah kepemimpinan dengan sepenuh hati penuh pelayanan terbaik pada masyarakat yang dibangun atas dasar niat memberikan kemudahan dan kemanfaatan yang besar. Semangat menjaga nilai-nilai kebaikan berupa penghayatan dan pemahaman yang kuat atas konsepsi keteladanan sehingga mampu mendorong konsistensi bersikap akan melahirkan penilaian integritas dalam pandangan masyarakat.
Integritas Kepemimpinan bisa dilihat dari hal berikut; Pertama. Dibangun atas kejujuran komunikasi. Integritas bermula dari kesediaan untuk berbicara secara jujur, apa adanya serta menjauhkan dari sikap dusta dan bohong secara konsisten. Kedua. Konsisten dengan janji-janji dan komitmen layanan yang akan diucapkan. Ketika janji adalah utang bagi siapa saja yang mengucapkannya, dan pemimpin memiliki integritas manakala berkonsisten dengan dengan apa yang telah diucapkannya.
ADVERTISEMENT
Dan Ketiga. Bertanggung jawab penuh atas tugas yang diamanahkan pada dirinya seraya menjauhkan diri dari tindakan dan perilaku khianat. Pengkhianatan hanya akan menghilangkan integritas pemimpin karena menyalahi atas amanah dan lari dari tanggung jawab. Maka tanggung jawab jadi domain kekuasaan sekaligus legitimasi kepemimpinan seorang pemimpin, kredibilitas seorang pemimpin tervisualisasikan dari derajat tanggung jawabnya.
Alhasil, untuk mencapai prestasi kepemimpinan yang bersih bebas korupsi baru akan dibuktikan semasa kepemimpinannya, apakah akan dapat melalui perjalanan masa jabatannya ataukah harus tersandung dan terhenti ditengah jalan. Pemimpin yang terpilih haruslah pemimpin yang anti “syahwat kekuasan” yang cenderung ambisius, curang, dan kolutif. Jelaslah jika para Kepala Daerah akan memposisikan kekuasaan politik bukan sebagai tujuan akhir, tapi sebagai sarana untuk ‘berbuat baik’ kepada rakyat di daerahnya.
ADVERTISEMENT
Menjadi pemimpin bukan sekadar untuk hidup enak, dihormati, dikenal banyak orang, tinggal memerintah, dan berpenghasilan besar. Seorang pemimpin harus memiliki tanggung jawab, berkarakter negarawan, dan visioner. Memiliki aktivitas kerja yang tidak termotivasi oleh kehormatan, kemuliaan atau otoritas pribadi, tetapi oleh kesediaannya melayani rakyat.
Pemimpin itu sebagai “Khadimul Ummat, Imam-Makmum Ro’iy -Rois, Qiyadah Qoid” yang melayani umat, berada di depan sebagai teladan, namun siap pula mengikut kebenaran dari belakang sekalipun, memperkaya dan menguatkan konsep kepemimpinan di Indonesia (Sidiq, 2014).
Dalam konteks ini maka proses Pilkada harus menghasilkan calon pemimpin daerah yang baik, cakap, cerdas, kompeten, dan amanah. Kunci utama adalah peran penting para pemilih untuk menciptakan Pilkada berkualitas, agar terpilih dan benar-benar memiliki kepala daerah yang berintegritas. Sehingga tidak melahirkan para kepala daerah yang tidak mampu menuntaskan masa tugasnya karena terjerat kasus korupsi.
ADVERTISEMENT
Oleh:
Asep Totoh - Dosen Ma’soem University