Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Pemimpin: Pandemi, Korupsi, dan Budaya Anti Korupsi
6 Desember 2020 6:04 WIB
Tulisan dari Asep Totoh tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
KORUPSI menjadi masalah paling krusial di Indonesia, jika memberi batasan korupsi berasal dari bahasa latin “corruptie” atau corruptus”, selanjutnya kata corruption berasal dari kata corrumpore (suatu kata latin yang tua). Dari bahasa latin inilah yang kemudian diikuti dalam bahasa Eropa seperti Inggris: corruption, corrupt; Prancis: corruption; Belanda: corruptie (korruptie).
ADVERTISEMENT
Dalam ensiklopedia Indonesia disebutkan bahwa korupsi (dari latin corruptio= penyuapan; dan corrumpore= merusak) yaitu gejala bahwa para pejabat badan-badan negara menyalahgunakan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya.
Suka tidak suka, korupsi (juga kolusi dan nepotisme) diibaratkan sudah menjadi trade mark negeri ini. Ibarat penyakit, kondisi sudah demikian kronis dan berdaya tular cepat, sedangkan terapi penyembuhannya masih jauh dari harapan.
Dilansir KumparanNews, pasca Operasi Tangkap Tangan (OTT) Menteri KKP selanjutnya OTT KPK sejak Jum’at (4/120) malam dan berdasarkan hasil gelar perkara KPK menetapkan Menteri Sosial Julairi Peter Batubara ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Ia terjerat kasus dugaan korupsi berupa suap pengadaan barang terkait dengan bantuan sosial di masa pandemi COVID-19.
ADVERTISEMENT
KPK telah menentukan status hukum para pihak yang terjaring OTT pejabat Kementerian Sosial (Kemensos), menduga Mensos Juliari menerima suap hingga belasan miliar rupiah dari rekanan proyek pengadaan bansos tersebut.
Jika benar-benar bersalah, para pelaku korupsi di tengah pandemi selayaknya mendapat hukuman yang setimpal?
Menurut Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan, Juliari diduga melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. "JPB disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP,"
ADVERTISEMENT
Apabila merujuk Pasal 12 UU Tipikor, Mensos Juliari bisa dipidana dengan ancaman penjara seumur hidup atau pidana penjara paling rendah 4 tahun dan maksimal 20 tahun. Selain itu, denda pidana maksimal Rp 1 miliar (kumparan.com, 06/12/20).
Atau apakah HUKUMAN MATI bagi para koruptor Dana Bansos di saat pandemi seperti yang didengung-dengungkan? Menjadi diskusi selanjutnya apakah korupsi di tengah pandemi dapat masuk dalam lingkup penjelasan pasal 2 ayat 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, mengingat pada tanggal 13 April 2020 pemerintah telah menetapkan penyebaran COVID-19 sebagai Bencana Nasional non alam yang menyebabkan dampak signifikan sektor ekonomi.
Maka bisakah di Indonesia hukuman mati bagi koruptor sudah diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang secara eksplisit menyebutkan bahwa hukuman mati dapat dijatuhkan bagi pelaku tindak pidana korupsi dalam keadaan tertentu yakni ketika negara berada dalam keadaan bahaya, terjadi bencana alam, mengulang tindak pidana korupsi, atau negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.
ADVERTISEMENT
Sebab, penerapan hukuman mati pasti akan berbenturan dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang telah menegaskan ketidaksepakatannya terhadap wacana pemberian hukuman mati bagi koruptor atau pelaku kejahatan lainnya, karena hak asasi manusia adalah absolut.
Upaya pemberantasan korupsi tidak dapat hanya dilakukan melalui upaya-upaya penindakan pelaku, tetapi juga upaya-upaya pencegahan melalui perbaikan sistem, serta pembangunan perilaku dan budaya antikorupsi.
Senyatanya, bagaimana solusi dalam menegakkan budaya antikorupsi? Selain bentuk upaya pencegahan dan penegakkan hukum tentang pemberantasan korupsi, yang dibutuhkan saat ini adalah contoh keteladanan atau yang lebih dikenal dengan istilah tone at the top. Istilah ini menggambarkan komitmen dari pimpinan tertinggi suatu organisasi ataupun institusi, lembaga, korporasi dan lain-lain dalam masalah keterbukaan, integritas dan kejujuran serta perilaku etis yang diperlukan untuk dapat menciptakan lingkungan pengendalian atau ‘control environment’.
ADVERTISEMENT
Keniscayaannya jika perilaku keteladanan sangat dibutuhkan agar dapat dijadikan contoh bagi seluruh jajaran organisasi di bawahnya mengenai sikap antikorupsi yang tidak hanya disampaikan dalam bentuk ‘OMDO alias omongan doang’, tetapi dipraktikkan dalam keseharian sang pimpinan. Pimpinan harus menjadi ‘role model’ yang ditularkan tidak hanya ke bawah namun juga ke pihak lain yang berinteraksi dengan institusi atau lembaga yang dipimpinnya.
Alhasil, bermula dari sikap wara’ para elite, penegakan hukum tanpa tebang-pilih dan demokratis, hingga pelaksanaan hukuman yang keras di depan publik, bisa menjadi beberapa pilihan jalan yang dapat ditempuh.
Praktik korupsi timbul karena ada tiga faktor, seperti kebutuhan, keserakahan dan sistem yang telah mengakar, maka yang dibutuhkan saat ini pun adalah model pendidikan anti korupsi yang menjadi jalan menuju pembebasan permanen agar manusia menjadi sadar (disadarkan) tentang penindasan yang menimpanya, dan perlu melakukan aksi-aksi budaya yang membebaskannya
ADVERTISEMENT
Selanjutnya tidaklah berlebihan jika lembaga agama dan lembaga pendidikan sebagai bagian penting dari masyarakat diharapkan dapat terlibat aktif dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Keterlibatan lembaga agama dan lembaga pendidikan dalam upaya pemberantasan korupsi tentu tidak pada upaya penindakan yang merupakan kewenangan institusi penegak hukum. Peran aktif lembaga agama dan lembaga pendidikan diharapkan lebih difokuskan pada upaya pencegahan korupsi dengan ikut membangun budaya anti korupsi di masyarakat.
Pendekatan agama dan pendidikan diharapkan dapat berperan sebagai spirit agen perubahan dan motor penggerak gerakan anti korupsi di masyarakat. Membangun budaya anti korupsi melalui pendekatan agama dan pendidikan dibutuhkan agar masyarakat akan mampu memahami dan menerapkan nilai-nilai anti korupsi dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh :
ADVERTISEMENT
Asep Totoh-Dosen Ma'soem University