Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Profesor Versus Koruptor
23 Agustus 2022 13:41 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Asep Totoh tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ironis, aib, dan tinta hitam dunia pendidikan kembali ternoda yang di hebohkan dengan OTT KPK di salah satu Universitas ternama di Lampung. Pukul 21.00 WIB hari Jum’at 19/08/2022 KPK menetapkan Rektor Universitas Lampung (Unila), Prof Dr Karomani sebagai tersangka kasus suap proses penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri UNILA.
ADVERTISEMENT
Alih-alih meningkatkan mutu performa pelayanan pendidikan di Indonesia, pendidikan itu sendiri di korupsi. Menjadi sebuah indikator pertanyaan apakah ada hubungan atau tidak antara korupsi di lembaga pendidikan dengan penyebab skor survei Program for International Student Assessment (PISA) pada 2018 yang menempatkan Indonesia dalam peringkat belakang, yaitu 72 dari 77 negara.
Korupsi berasal dari Bahasa Latin yaitu corruptio. Dari segi hukum, korupsi adalah perbuatan melawan hukum dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, dan sarana untuk kepentingan atau memperkaya diri sendiri.
Korupsi adalah perbuatan terhina namun mengapa dilakukan oleh orang berpangkat, agamawan (tercatat ada Menteri Agama RI yang korupsi), bahkan orang berpendidikan seperti Profesor sekalipun juga korupsi.
Sejalan dengan kutipan Bung Hatta, “Kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar, kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman. Namun tidak jujur sulit diperbaiki.” Jika orang berpendidikan dan agamawan sekalipun telah melakukan korupsi, maka perbuatan baik apalagi yang tersisa di negeri ini?
ADVERTISEMENT
Tidak heran data para koruptor yang di cokok KPK sebagian besar dari mereka menyandang gelar sarjana, S1, S2, S3, juga Profesor. Mengutip Indonesia Corruption Watch (ICW) mengenai Tren Penindakan Kasus Korupsi yang dirilis setiap tahun menunjukkan korupsi sektor pendidikan konsisten menjadi salah satu sektor yang paling banyak ditindak oleh Aparat Penegak Hukum (APH). Kasus korupsi pendidikan yang ditindak APH pada 2016-September 2021 ini melibatkan 621 tersangka.
Diperkirakan di bidang Pendidikan negara merugi 1,6 triliun, temuan data korupsi sektor Pendidikan pun masih terjadi di tengah situasi pandemi Covid-19. Terdapat 4 dari 12 kasus korupsi pendidikan yang terjadi pada 2020-2021 terkait dengan penanganan Covid-19.
Sejatinya seseorang bisa melakukan korupsi dikarenakan faktor internal dan eksternal mencakup teman, kesempatan, kurang kontrol, dan lain-lain.
Jika dihubungkan dan mengutip teori Prof Klitgaard dalam bukunya "Controlling Corruption" (1988) rumus korupsi, begini: C = M + D – A. Corruption sama dengan Monopoly plus Discretion minus Accountability. Rumus Prof Klitgaard tersebut secara sederhana menjawab mengapa Korupsi bisa terjadi, yaitu ketika para pejabat diberi kekuasaan tunggal (monopoly) untuk membuat keputusan-keputusan penting (discretion) tanpa pengawasan atau kendali (accountability) yang memadai.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya jika mengutip teorinya Jack Bologne, korupsi disebabkan karena adanya keserakahan (Greed), kesempatan (Opportunity), kebutuhan (Needs), dan pengungkapan (Expose). Teori penyebab korupsi ini dikenal dengan istilah GONE. Dengan adanya sikap serakah, seeorang atau suatu organisasi memiliki kesempatan untuk melakukan tindakan curang, untuk memperkaya diri sendiri dan merugikan orang lain. Hal ini didasari karena tiap individu memiliki kebutuhan. Sehingga adanya pengungkapan yang berhubungan dengan tindak pidana korupsi.
Pertanyaannya, mengapa bisa sekelas profesor tergoda dan terjebak tindak pidana korupsi? Bukankah ada kesakralan dan predikat guru besar dengan penghargaan kesejahteraanya sudah jauh lebih dari memadai.
Tentunya tidak semua profesor tergelincir dalam kubangan korupsi, hanya segelintir saja yang melakukannya dikarenakan desakan istri/suami & anak, jebakan kepentingan politik, godaan nafsu duniawi, kesalahan/mal administratif, buta hukum, atau faktor lainnya.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi menjadi penguatan jika kasus korupsi yang menjerat kalangan akademisi jika korupsi menjadi penyakit paling kronis bangs akita, artinya sudah tepat jika korupsi menyandang gelar kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Senyatanya, korupsi sudah kompleks dan melewati batas-batas nalar kemanusiaan (hyper corruptus).
Dunia pendidikan kita harus berubah total dengan pendidikan antikorupsi yang komprehensif dan sistematis. Masih ada kesempatan untuk merefleksi dan berbenah dalam mengambil hikmah atas ujian yang menimpa insan-insan terbaiknya. Keniscayaanya, aspek moral dan spiritual menjadi benteng pencegahan tindak korupsi di manapun seseorang berada.