Resesi Kepercayaan (Sidang)Wakil Rakyat

Asep Totoh
Guru SMK Bakti Nusantara 666, Dosen Masoem University, Guru SMP Pasundan Rancaekek
Konten dari Pengguna
9 Oktober 2020 6:48 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asep Totoh tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sejumlah aksi demo para buruh, mahasiswa terkait penolakan terhadap pengesahan Undang-Undang Omnibus law UU Cipta Kerja yang disahkan oleh DPR RI sejak Senin 5 Oktober 2020 terjadi di berbagai daerah. Pengesahan UU tersebut dianggap kontroversial, unjuk rasa datang selain dari buruh dan mahasiswa juga anak-anak STM terus dilakukan disejumlah daerah sampai hari Kamis, 08 Oktober 2020.
ADVERTISEMENT
Mengapa kegeraman massa buruh serta mahasiswa terhadap DPR dan pemerintah meletup?, gelombang aksi demo terus terjadi di sejumlah daerah walau penularan corona masih mengancam bahkan demo di beberapa daerah berakhir ricuh. Sebenarnya tersedia tiga cara untuk membatalkan pemberlakuan UU tersebut, yakni Executive review, Legislative review, dan
Suasana Rapat Paripurna DPR Pembukaan Masa Persidangan III Tahun Sidang 2019-2020 di Kompleks Parlemen, Senayan, Senin (30/3/2020). Foto: ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga
Aksi perlemen jalanan sebagai pilihan bentuk perlawanan menentang dan meminta pemerintah membatalkan Undang-Undang Omnibuslaw Cipta kerja yang dianggap bermasalah yang disahkan Dewan Perwakilan Rakyat. Memilih unjuk rasa sebagai interupsi untuk para wakil rakyat, mereka menilai semua undang-undang tersebut tak mencerminkan aspirasi rakyat dan justru lebih memihak kepentingan kelompok tertentu.
Senyatanya demonstrasi sebagai proses sosial, merupakan gejolak masyarakat yang tidak dapat dihindari. Apakah berjalan sediri atau diarahkan, gejalanya sama yakni mendesak untuk didengarkan! Demonstrasi adalah pengingat bagi pengambil keputusan bahwa tingkat kesadaran politik masyarakat semakin meningkat.
ADVERTISEMENT
Aksi demontrasi para buruh dan Mahasiswa menjadi bentuk saluran politiknya melalui lembaga-lembaga konvensional negara dinilai telah mandek, baik legislatif (DPR) dan eksekutif (Presiden dan Wakil Presiden). Seolah tidak ada jalan lain selain turun kembali jalan melakukan aksi parlemen jalanan, aksi parlemen jalanan ini pun menjadi sebuah mosi tidak percaya kepada elit politik.
Pasca demontrasi 2019, sepertinya saat ini gerakan parlemen jalanan yang dilakukan kelompok mahasiswa pun kembali menemui momentumnya. Mungkin bisa diingat kembali pernyataan Presiden Jokowi pada 2016 lalu pernah menyampaikan "kerinduannya" akan aksi demonstrasi yang diinisiasi oleh mahasiswa.
Senyatanya, aksi demo jalanan adalah pembelajaran penting bagi elite politik dari gelombang massa mahasiswa di berbagai daerah, untuk lebih memperhatikan aspirasi masyarakat dalam perumusan peraturan perundang-undangan. Ketika hukum yang terus berkembang juga menyesuaikan diri sesuai keadaan dan waktu perkembangan maka hukum tersebut harus memberi keadilan, memberi ketenangan bagi seluruh bangsa Indonesia, bukan menjadi instrumen yang ditakuti oleh rakyat Indonesia.
ADVERTISEMENT
Paling utama adalah Pancasila menjadi ideologi bangsa dan negara yang dalam setiap sendi sendi perumusan hukum harus sejalan dengan apa saja yang termaktub dalam butir-butir Pancasila. Selanjutnya pada Sila ke-4, misalnya yang jelas menyatakan perihal tentang demokrasi yakni sistem demokrasi yang dianut oleh Indonesia adalah demokrasi Pancasila. Sebagai demokrasi yang baik menurut Hans Kelsen: "Pemerintahan dari Rakyat dan untuk rakyat" (Filsuf dan Ahli hukum Austria,11 Oktober 1881 -- 19 April 1973). Ditambahkan lagi, UUD 1945, pasal 1 Ayat 2 menyatakan :
Bukankah pemenang sesungguhnya adalah rakyat bangsa ini, rakyat yang telah berpartisipasi dalam pemilu ini. Rakyat sebagai konstituen, rakyat sebagai pemilih. Sebuah keniscayaan jika kepekaan anggota legislatif terhadap para konstituen sangatlah diutamakan, maka makna kepekaan merupakan pengejawantahan dari perwakilan substantif (substantive representation).
ADVERTISEMENT
Apakah kebijakan dan pandangan anggota legislatif sesuai dengan kehendak dan level ekspektasi konstituen, atau apakah anggota dewan pertama-tama percaya pada penilaian mereka sendiri. Sistem perwakilan tentunya memberikan gambaran bahwa perwakilan individu harus memahami aspirasi, nilai, kepercayaan, dan sikap beribu-ribu masyarakat.
Oleh karena itu, sistem perwakilan seharusnya benar-benar menggambarkan: (a) karakterisktik konstituen yang diwakili (sociological or agency), (b) peran mereka sebagai wakil (delegates, trustees, or politico), (c) hubungan mereka dengan konstituen (geographical, reelection, primary personal constituency), dan (d) persepsi mereka akan suara hati atau opini politik kostituen (Eisingger; 1982: 148).
Asep Totoh - Dosen Ma'soem Univerisity, Kepala HRD Yayasan Pendidikan Bakti Nusantara 666