Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Pro Kontra Kebebasan Berpendapat bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) di Indonesia
14 Juni 2021 14:41 WIB
·
waktu baca 14 menitTulisan dari Asih Nurcahyani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Penulis: Asih Nurcahyani (Mahasiswa Ilmu Administrasi Negara, Universitas Indonesia)
Sesuai harfiahnya, manusia merupakan makhluk yang bebas. Bebas di sini maksudnya setiap manusia bebas menentukan apa yang terjadi dan akan terjadi dalam kehidupannya. Kebebasan manusia ini merupakan suatu hak asasi manusia yang tidak bisa dilanggar oleh siapapun. Menurut Undang-Undang RI Nomor 39 Tahun 1999, Hak Asasi Manusia adalah hak dasar yang secara kodrat melekat pada diri manusia dari lahir hingga akhir hayatnya sehingga harus dilindungi, dihormati, tidak boleh diabaikan, dipertahankan, dikurangi, ataupun dirampas oleh siapapun (Majelis et al., 1999).
ADVERTISEMENT
Dalam Deklarasi Universal HAM (DUHAM) PBB yang dideklarasikan pada 10 Desember 1948 tepatnya pada pasal 19 dijelaskan terkait dengan hak kebebasan seorang diri manusia. Menurut Deklarasi tersebut, setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan juga mengekspresikannya. Kebebasan itu mencakup kebebasan dalam berpegang teguh atas pendapat tertentu tanpa adanya gangguan dari pihak manapun, kebebasan mencari informasi, kebebasan menerima, dan menyampaikan informasi atau gagasan melalui media apapun tanpa adanya batasan (PBB, 2006) (ESLAM, 2000).
Walaupun kebebasan berpendapat dan berekspresi seseorang sudah dijamin haknya, namun pelaksanaan hak tersebut tidaklah tak terbatas sebab manusia merupakan makhluk sosial yang tentu membutuhkan bantuan orang lain dalam menjalankan kehidupannya. Jika mereka berperilaku atas kehendak mereka sendiri namun tindakan yang dilakukan tersebut merugikan orang lain, maka kebebasannya akan menjadi bumerang bagi kehidupannya.
ADVERTISEMENT
Dalam Deklarasi Universal HAM (DUHAM) PBB yang dideklarasikan pada 10 Desember 1948 tepatnya di pasal 29 ayat 2 diatur mengenai pembatasan hak kebebasan. Ketika menjalankan hak-hak dan kebebasannya, setiap orang harus patuh pada pembatasan yang telah ditetapkan oleh undang-undang dengan tujuan untuk menjamin pengakuan; bentuk penghormatan terhadap hak dan kebebasan orang lain; dan untuk memenuhi persyaratan aspek moralitas, ketertiban, dan juga kesejahteraan umum dalam masyarakat yang demokratis (PBB, 2006).
Kemerdekaan untuk mengemukakan pendapat pun juga telah diatur dalam UUD 1945 mengenai HAM, tepatnya pada pasal 28E. Pasal tersebut menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Oleh karenanya, dengan adanya pasal tersebut seharusnya negara bisa menjamin bahwasanya setiap orang bebas dan tidak perlu takut untuk mengemukakan pendapatnya. Namun terdapat beberapa prasyarat yang harus dipatuhi ketika akan mengemukakan pendapat sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku serta menjamin penghormatan atas hak orang lain sesuai dengan pertimbangan yang adil dan ketertiban umum di masyarakat Indonesia.
ADVERTISEMENT
Melihat kenyataan masyarakat Indonesia saat ini, kebebasan berpendapat merupakan sebuah dilema bagi diri mereka. Melalui rilis yang diterbitkan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada awal November 2019, sebanyak 43% dari total partisipan survei menyatakan bahwa mereka cemas, khawatir, dan takut untuk menyampaikan pendapatnya di khalayak umum. Jumlah tersebut meningkat pesat dibanding tahun 2014 yang hanya 17%. Dampak yang ditakuti oleh masyarakat Indonesia ketika akan mengemukakan pendapatnya di khalayak umum didominasi oleh jawaban penangkapan semena-mena oleh aparat hukum yang memperoleh persentase sebesar 38% (Lembaga Survei Indonesia, 2019).
Berkaca pada hasil survei yang dilakukan LSI, kebebasan pendapat untuk masyarakat Indonesia harus bisa digalakkan kembali karena negara membutuhkan kritik untuk perbaikan masa depan yang lebih baik bagi Indonesia. Apalagi masyarakat Indonesia adalah pemegang kedaulatan atau kekuasaan tertinggi di Indonesia sehingga diharapkan pemerintah dapat memberikan perlindungan dan jaminan bagi masyarakat Indonesia untuk kebebasan berpendapat di ruang publik.
ADVERTISEMENT
Jaminan kebebasan berpendapat untuk masyarakat Indonesia tentunya harus diberikan secara penuh untuk seluruh masyarakat Indonesia tak terkecuali bagi Aparatur Sipil Negara (ASN). Melihat fakta yang ada, regulasi mengenai kebebasan berpendapat yang dimiliki oleh Aparatur Sipil Negara (ASN) sangat berbeda dari kebebasan berpendapat yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia. Regulasi tersebut tentunya dapat membatasi ruang kebebasan berpendapat bagi Aparatur Sipil Negara (ASN). Namun disisi lain sebagai seorang pejabat negara, tentu semua aspek kehidupan ASN diwajibkan untuk menaati kode etik yang telah diatur oleh negara. Sehingga mereka menghadapi dilema ketika akan mengemukakan pendapatnya di ruang publik.
Tujuan diaturnya regulasi tersebut dikarenakan Aparatur Sipil Negara (ASN) diharapkan dapat menjadi contoh bagi masyarakat ketika akan mengemukakan pendapatnya di khalayak publik utamanya melalui media sosial. Aparatur Sipil Negara (ASN) harus dapat membangun suasana kondusif di media sosial yang sekarang sedang trend sebagai sarana komunikasi yang efektif. Oleh karenanya ketika Aparatur Sipil Negara (ASN) dituntut ketika menggunakan media sosial, mereka wajib menjunjung tinggi nilai dasar, kode etik dan kode perilaku Aparatur Sipil Negara (ASN) sesuai undang-undang yang berlaku.
ADVERTISEMENT
Salah satu regulasi yang mengatur Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam menggunakan media sosial untuk mengemukakan pendapatnya atau menyebarkan informasi di ruang publik adalah peraturan yang diterbitkan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB). Peraturan tersebut dituangkan ke dalam Surat Edaran Nomor 136 Tahun 2018 tentang Penyebarluasan Informasi Melalui Media Sosial bagi Aparatur Sipil Negara (ASN). Dalam regulasi tersebut, Aparatur Sipil Negara (ASN) tidak diperbolehkan untuk berkomentar dan juga bertindak sesuai keinginannya di media sosial.
Berikut ini adalah delapan hal yang harus diperhatikan dan ditaati oleh Aparatur Sipil Negara (ASN) ketika akan melakukan penyebarluasan informasi baik berdasarkan sudut pandang Aparatur Sipil Negara (ASN) sendiri maupun dari pihak lain melalui media sosial. Poin pertama yaitu Aparatur Sipil Negara (ASN) harus dapat memegang teguh ideologi pancasila; mempertahankan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta pemerintahan yang sah; mengabdi kepada negara dan rakyat Indonesia; dan terakhir yaitu Aparatur Sipil Negara (ASN) dapat menjalankan tugas secara profesional serta tidak berpihak ke golongan tertentu.
ADVERTISEMENT
Kedua, Aparatur Sipil Negara (ASN) wajib memelihara dan menjunjung tinggi standar etika yang luhur, dapat memegang teguh nilai dasar Aparatur Sipil Negara (ASN), serta senantiasa menjaga reputasi dan integritas Aparatur Sipil Negara (ASN). Ketiga, Aparatur Sipil Negara (ASN) harus dapat menjaga kerahasiaan yang menyangkut kebijakan negara, memberikan informasi secara benar, dan tidak menyesatkan kepada pihak lain yang membutuhkan terkait dengan kepentingan kedinasan.
Keempat, tidak menyalahgunakan dan memanfaatkan informasi intern negara untuk mendapatkan, mencari keuntungan, dan juga manfaat bagi diri sendiri maupun pihak lain. Kelima, dalam menggunakan media sosial Aparatur Sipil Negara (ASN) diwajibkan untuk menggunakannya secara bijaksana dan diarahkan untuk dapat mempererat persatuan dan kesatuan NKRI.
Keenam, Aparatur Sipil Negara (ASN) harus memastikan bahwa informasi yang akan disebarluaskan jelas sumbernya, dapat dipastikan kebenarannya, dan juga tidak mengandung unsur kebohongan. Ketujuh, Aparatur Sipil Negara (ASN) tidak diperbolehkan untuk membuat dan menyebarluaskan berita palsu (hoax), fitnah, provokasi, radikalisme, terorisme, dan pornografi melalui media sosial ataupun menggunakan media lainnya. Terakhir, Aparatur Sipil Negara (ASN) dilarang untuk memproduksi dan menyebarluaskan informasi yang berisi muatan atau konten yang dapat menimbulkan rasa kebencian ataupun permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, ras, agama, dan antar golongan (SARA), melanggar kesusilaan, penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, pemerasan dan/atau pengancaman. (Menpan-RB, 2018)
ADVERTISEMENT
Surat Edaran Nomor 136 Tahun 2018 dibuat untuk ditaati oleh Aparatur Sipil Negara (ASN) di Indonesia. Lebih spesifiknya SE tersebut ditujukan untuk para Menteri Kabinet Kerja, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, Sekretaris Kabinet, para Kepala LPNK, para pimpinan Kesekretariatan Lembaga Negara, para pimpinan Kesekretariatan Lembaga Non Struktural, para Gubernur, Bupati dan Wali kota. Tembusan SE tersebut disampaikan kepada Presiden RI, Wakil Presiden RI, Gubernur Bank Indonesia dan Ketua Otoritas Jasa Keuangan (Humas Kemenpan-RB, 2018).
Dengan diterbitkan dan disahkannya SE Nomor 136 Tahun 2018, peraturan tersebut tentu dapat membatasi ruang kebebasan berpendapat bagi Aparatur Sipil Negara (ASN). Banyak pihak yang menilai SE tersebut terlalu mengekang hak berserikat dan kebebasan berpendapat Aparatur Sipil Negara (ASN). Padahal hak mendapatkan kebebasan dalam berpendapat merupakan hak mutlak yang tidak bisa dilanggar oleh siapapun termasuk pemerintah Indonesia.
ADVERTISEMENT
Munculnya tata peraturan mengenai penyebarluasan informasi melalui media sosial bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) ini, menimbulkan pro kontra di berbagai pihak maupun lembaga. Banyak yang menyetujui disahkannya SE Nomor 136 Tahun 2018 karena sebagai seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) memang harus terikat dengan beberapa aturan (tidak bisa bebas) termasuk berpendapat di ruang publik, namun banyak para pengamat yang menganggap SE tersebut dapat membebani Aparatur Sipil Negara (ASN) karena terlihat seperti dikontrol oleh pemerintah supaya satu suara.
Pro
Kebebasan berpendapat bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) merupakan hal yang tidak boleh untuk dilarang apalagi dikekang karena Aparatur Sipil Negara (ASN) juga bagian dari masyarakat Indonesia. Kritik dalam konteks demokrasi sangat diperlukan dari siapapun baik itu dari publik maupun yang berasal dari internal penyelenggara negara atau Aparatur Sipil Negara (ASN) demi kesejahteraan dan kemajuan bangsa Indonesia. Kritik yang diberikan untuk pemerintah Indonesia utamanya yang berasal dari dalam instansi itu sendiri dapat menjadi masukan bagi lembaga terkait supaya bisa diperbaiki dan ditingkatkan kinerjanya.
ADVERTISEMENT
Jika dalam penyelenggaraan negara terdapat hal yang mencurigakan tetapi pihak internal atau Aparatur Sipil Negara (ASN) hanya berdiam diri saja padahal mengetahui hal itu, tentu tindakannya tersebut patut untuk diwaspadai dan harus ditelusuri lebih lanjut demi kebaikan bersama. Kritik itu bukan hanya mencakup kinerja pemerintah saja, tetapi juga pernyataan menentang ideologi dan dasar negara yang sudah melewati batas wajar seharusnya.
Kemerdekaan menyampaikan pendapat merupakan suatu hak asasi manusia yang sudah dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 dan Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia sehingga hak untuk mendapatkan kebebasan tidak boleh dibatasi ruangnya utamanya bagi Aparatur Sipil Negara (ASN), jika tetap dilanggar maka hal itu juga sama saja melanggar undang-undang yang berlaku. Kebebasan berpendapat berpotensi dalam melahirkan pemikiran yang kritis terhadap pemerintah. Dengan demikian, pemerintah seharusnya harus bisa melihat kebaikan yang diungkapkan dari adanya bentuk kebebasan berpendapat tersebut. Pendapat di sini merupakan bentuk kepedulian masyarakat terhadap jalannya pemerintahan Indonesia dan upaya untuk memperbaiki keadaan yang terjadi.
ADVERTISEMENT
Dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 dijelaskan secara rinci mengenai kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum. Pada pasal 1 UU dikemukakan mengenai pengertian dasar kemerdekaan menyampaikan pendapat yaitu sebuah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Cara menyampaikan pendapat pun juga beragam mulai dari mengemukakannya di media sosial maupun melalui kegiatan unjuk rasa atau demonstrasi.
Orang-orang yang diperbolehkan untuk mengemukakan pendapatnya juga sudah diatur pada pasal 2 UU No.9 Tahun 1998 yaitu setiap warga negara, secara perorangan atau kelompok, bebas menyampaikan pendapat sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab berdemokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara namun perlu ditekankan lagi bahwa penyampaian pendapat di muka umum harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini. Setiap warga negara yang dimaksudkan adalah semua masyarakat Indonesia dengan latar belakang, profesi maupun ras manapun termasuk Aparatur Sipil Negara (ASN).
ADVERTISEMENT
Kemerdekaan berpendapat merupakan perwujudan demokrasi dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Oleh karenanya kebebasan berpendapat perlu untuk tetap dijaga karena hal tersebut adalah salah satu ciri-ciri dari negara demokrasi yang telah dicita-citakan sejak era reformasi dimulai. Jika tetap dikekang tandanya sistem demokrasi di Indonesia menghadapi kemunduran. (Pemerintah Indonesia, 1945)
Menurut pendapat Peneliti sekaligus Deputi Direktur Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Wahyudi Djafar, kritik pemerintah di ruang publik tidak bisa dibatasi dengan alasan seseorang menyandang status sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) sebab Aparatur Sipil Negara (ASN) sendiri juga merupakan bagian dari Warga Negara Indonesia yang mempunyai hak kebebasan berpendapat sama dengan warga negara lainnya (Gumay, 2019). Dengan diterbitkannya Surat Edaran Nomor 136 Tahun 2018, hal itu sama saja membatasi hak kebebasan berpendapat dari seorang Aparatur Sipil Negara (ASN).
ADVERTISEMENT
Whistleblower (orang dalam yang mengungkap keburukan suatu instansi) sangat dibutuhkan dalam suatu instansi supaya mereka bisa melihat, melaporkan, dan mengamati apa saja yang sebenarnya terjadi di dalam penyelenggaraan negara. Pemerintah juga diharapkan bisa membedakan antara kritik terhadap kinerja pemerintah dengan pernyataan menentang ideologi dan dasar-dasar negara. Bentuk kritikan bisa saja merupakan representasi diri Aparatur Sipil Negara (ASN) sebagai seorang warga negara yang seharusnya bisa mendapatkan perlindungan dan kesempatan yang sama dalam mendapatkan haknya.
Kontra
Jika dilihat dari sudut pandang yang berbeda, Aparatur Sipil Negara (ASN) yang mengkritik pemerintah Indonesia sama saja dengan Aparatur Sipil Negara (ASN) tersebut mengkritik dirinya sendiri sebab Aparatur Sipil Negara (ASN) merupakan pejabat negara yang aktivitasnya berkaitan dengan penyelenggaraan negara. Menurut Kepala Biro Humas Badan Kepegawaian Negara (BKN), Mohammad Ridwan, status Aparatur Sipil Negara (ASN) itu melekat pada setiap individu terkait sampai ke dalam kehidupan sehari-harinya termasuk cara mereka mengemukakan pendapatnya di ruang publik. Oleh karenanya, setiap perilaku, tindakan, maupun ucapan seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) harus merujuk pada regulasi yang mengaturnya.
ADVERTISEMENT
Fungsi dari Aparatur Sipil Negara (ASN) sendiri adalah sebagai pelaksana kebijakan publik, memberikan pelayanan publik, dan juga perekat serta pemersatu bangsa. Dengan ketiga fungsi tersebut, Kabiro Humas BKN menilai Aparatur Sipil Negara (ASN) tidak pantas untuk mengkritik pemerintah di ruang publik. Tindakan mengkritik tersebut dianggap sebagai bentuk pelanggaran sejumlah peraturan perundang-undangan Aparatur Sipil Negara (ASN) salah satunya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentang Kode Etik PNS. Dalam PP tersebut, telah dijabarkan terkait kewajiban yang harus ditaati oleh seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) dengan menunjukkan integritas dan keteladanan sikap, perilaku, ucapan, dan tindakan kepada setiap orang baik di dalam maupun di luar kedinasan (Gumay, 2019)
Pemberian hak menyatakan pendapat untuk Aparatur Sipil Negara (ASN) sangat rawan ditunggangi oleh kepentingan politik. Mereka akan dengan mudahnya menggunakan kekuatan politiknya untuk kepentingan mereka sendiri seperti memanfaatkan bargaining powernya demi kepentingan yang melewati batas. Apabila terindikasi seperti itu, polarisasi kekuasaan dalam pemerintahan akan muncul yang berdampak pada permusuhan internal antar penyelenggara negara.
ADVERTISEMENT
Hal paling berisiko jika kebebasan berpendapat Aparatur Sipil Negara (ASN) tetap diberikan tanpa adanya regulasi yang membatasinya adalah kemungkinan terjadinya pemogokan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang dapat membahayakan stabilitas negara dan proses penyelenggaran negara. Jika hal itu terjadi, proses pemerintahan akan berhenti dan tidak berjalan dengan semestinya. Pemberhentian tersebut tentu berdampak pula ke semua aspek kehidupan bernegara.
Solusi
Setiap warga negara berhak untuk mendapatkan kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapatnya. Masalah yang sering terjadi dan memacu timbulnya sebuah konflik ialah banyak masyarakat yang menyalahartikan sebuah kata “memiliki kebebasan untuk mengeluarkan pendapat” karena sejatinya setiap manusia bebas untuk mengemukakan pendapatnya dan berekspresi di ruang publik. Banyak sekali masalah yang diawali dari bentuk sebuah protes melalui media sosial maupun media lainnya dan kemudian berujung pada tindakan demonstrasi, kekerasan, kerusuhan, dan juga tindakan pidana.
ADVERTISEMENT
Jika tidak ingin hal tersebut terjadi, sebaiknya kita sadar akan aturan dan juga tata tertib hukum yang mengatur perilaku dan juga tindakan kita. Hidup di negara demokrasi pasti akan menjunjung tinggi kebebasan berpendapat, karena hal tersebut merupakan bagian penting dari demokrasi. Apalagi kebebasan tersebut juga telah memiliki dasar hukum yang mengaturnya. Namun, selain diberikan kebebasan berpendapat, demokrasi juga memiliki poin penting yang menjelaskan bahwa berpendapat juga harus diikuti dengan rasa tanggung jawab yang berdasar pada fakta yang ada. Jangan sampai pendapat tersebut bisa menyakiti satu sama lainnya karena setiap manusia juga memiliki hak asasi manusia sehingga hak kita juga dibatasi oleh hak orang lain.
Hal yang perlu diperhatikan bagi para Aparatur Sipil Negara (ASN) apabila ingin mengemukakan pendapatnya di ruang publik adalah dengan berpendapat secara cerdas dan tidak memunculkan perpecahan akibat SARA. Pendapat tersebut juga harus dilengkapi dengan data yang valid. Pemerintah menyusun peraturan terkait tata cara mengemukakan pendapatnya di media sosial dikarenakan kekhawatirannya akan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang berpendapat dan bertindak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI. Jika pendapat Aparatur Sipil Negara (ASN) dikemukakan secara frontal tentu hal tersebut juga dapat membahayakan stabilitas negara. Hal tersebut juga dapat memicu permusuhan dan perpecahan dalam internal penyelenggara negara.
ADVERTISEMENT
Alangkah baiknya jika pemerintah membuat tempat pengaduan bagi para Aparatur Sipil Negara (ASN) pada tiap lembaganya jika sistem yang sedang mereka jalankan dalam penyelenggaran negara menyulitkan pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN) dan tidak mensejahterakan masyarakat Indonesia. Dengan adanya tempat pengaduan tersebut, para Aparatur Sipil Negara (ASN) bisa bebas dalam mengemukakan pendapatnya tanpa adanya tekanan karena Aparatur Sipil Negara (ASN) sebagai pejabat negara harus mematuhi segala peraturan, kode etik, undang-undang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang berlaku.
Selain disediakannya portal pengaduan bagi Aparatur Sipil Negara (ASN), para Aparatur Sipil Negara (ASN) juga dapat bergabung dengan serikat pekerja ASN lainnya sebagai representasi pribadi mereka. Kritik di sini bukan hanya terkait kinerja pemerintah, namun bisa saja terkait peraturan yang memberatkan mereka dalam menjalankan kehidupannya seperti kritikan tentang ketidakadilan yang Aparatur Sipil Negara (ASN) alami di kantornya masing-masing.
ADVERTISEMENT
Satu contoh keluhannya adalah mengenai terbitnya peraturan mengenai pemotongan tunjangan kinerja di suatu instansi ketika seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) tidak masuk kerja walaupun karena sakit. Peraturan tersebut tentu dapat memberatkan Aparatur Sipil Negara (ASN) karena keadan sakit merupakan suatu hal yang diluar prediksi mereka. Namun karena pembatasan pendapat bagi seorang Aparatur Sipil Negara (ASN), keluhan dan protes Aparatur Sipil Negara (ASN) ini kemudian menguap tanpa ada tindak lanjutnya. Sehingga para pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN) hanya bisa pasrah dengan kondisi yang ada.
Tidak adanya tindak lanjut atas kritikan tersebut membuat pihak manajemen dalam lembaga merasa puas bahwa kebijakan yang sudah mereka ambil diterima oleh para pegawai, padahal sesungguhnya masih ada bara dalam sekam. Hal tersebut terjadi karena tidak ada saluran yang memadai secara kolektif untuk menyampaikan aspirasi dan keluhan ini di instansi tempat para Aparatur Sipil Negara (ASN) itu berada untuk menjembatani interaksi antara Aparatur Sipil Negara (ASN) dengan Manajemen.
ADVERTISEMENT
Salah satu cara supaya aspirasi dan keluhan para Aparatur Sipil Negara (ASN) dapat dikomunikasikan kepada Manajemen adalah melalui Serikat Pekerja. Dengan adanya serikat pekerja Aparatur Sipil Negara (ASN), para Aparatur Sipil Negara (ASN) dapat dibantu untuk mendapatkan perlindungan dari masalah hukum yang akan menimpa mereka apabila seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) mendapatkan perlakuan yang tidak adil atau haknya tidak dipenuhi. Pentingnya pembentukan serikat pekerja dalam sisi keadilan yaitu untuk mendapat kesempatan yang sama di tempat kerja dan menentang diskriminasi seperti tercantum pada Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945.