Dampak Nepotisme pada Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Asmiati Malik PhD
International Relations - International Political Economist - Young Scholars Initiative - Senior researcher at AsianScenarios - Dosen Hubungan Internasional Universitas Bakrie
Konten dari Pengguna
22 Juli 2021 11:16 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asmiati Malik PhD tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi (Foto iStock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi (Foto iStock)
ADVERTISEMENT
Tulisan saya sebelumnya, membahas tentang bagaimana nepotisme membentuk jaringan elite politik di Amerika Serikat? Pada tulisan tersebut saya sedikit mengungkap praktik nepotisme baik itu di Amerika bahkan di Inggris bukanlah sesuatu hal yang baru. Untuk tulisan kali ini, saya akan membahas tentang bagaimana nepotisme membentuk jaringan elite politik yang kemudian berdampak pada pertumbuhan dan pembangunan ekonomi.
ADVERTISEMENT
Hampir semua dari kita mungkin pernah melihat atau bahkan mengalami sendiri praktik nepotisme baik itu di media atau di lingkungan sendiri. Baik mulai dari penyaluran bantuan pemerintah di pedesaan yang kemudian hanya diberikan kepada kerabat terdekat, sampai pemberian jabatan dan akses tender proyek ke kerabat dan teman terdekat. Praktik seperti ini sudah berlangsung bertahun-tahun.
Beberapa dari kita melihat ini sebagai sebuah perilaku tidak adil, terutama jika Anda berada posisi yang tidak diuntungkan. Namun, anggapan ini bisa saja berubah ketika Anda berada pada posisi yang diuntungkan, baik itu Anda sebagai orang yang memiliki kekuatan untuk melakukan atau orang yang akan diberikan manfaat dari praktik tersebut.
Misal saja ada bantuan sembako yang akan diberikan kepada masyarakat. Maka, ada kecenderungan Anda akan mengutamakan orang yang paling dekat dengan Anda. Secara alamiah, tentunya tidak ada salah karena manusia sendiri adalah makhluk yang hidup berkelompok dan bersuku (tribe).
ADVERTISEMENT
Ini menjadikan setiap orang selalu berusaha menjadi bagian dari satu kelompok dan menghindari hukuman pengecualian sosial (social exclusion). Setiap orang secara merasa alamiah merasa bahwa mereka adalah bagian dari satu kelompok, dan secara alamiah akan mendahulukan kelompok mereka. Dengan demikian pola hubungan sosial yang terbentuk dengan dasar kepercayaan (trust) lebih mudah terbentuk dan bertahan pada hubungan sosial yang berdasarkan pada kekerabatan dan kesukuan.

Nepotisme akar dari Korupsi

Ketua KPK Firli Bahuri menyampaikan keterangan pers OTT Gubernur Sulawesi Selatan di gedung KPK, pada Jakarta, Minggu (28/2/2021) dini hari. (ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto)
Nepotisme dalam cakupan kecil menjadi sesuatu yang lumrah dan dianggap sebagai sesuatu yang berlangsung secara alamiah. Namun demikian ketika cakupan dan jaringan ini terbentuk pada level kekuasaan yang besar dan menjadi besar maka akan menimbulkan dua permasalahan utama yaitu ketimpangan dan hilangnya persaingan. Ketimpangan akan mudah kita temukan pada akses terhadap sumber-sumber produksi serta hilangnya persaingan dalam kontestasi politik dan kegiatan pasar.
ADVERTISEMENT
Kita mungkin masih mengingat jelas bagaimana ketika zaman Presiden Suharto, praktis Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) menjadi salah satu trademark yang tidak terpisahkan dari sejarang bangsa ini. Kita cenderung hanya meneropong praktik korupsi, dan mengindahkan untuk melihat aspek nepotisme di dalamnya. Padahal kalau kita lihat lebih jauh, akar dari semua praktik korupsi adalah Nepotisme.
Korupsi tidak bisa dilakukan secara sendiri karena membutuhkan jejaring yang bisa melindunginya dari kejahatan tersebut. Untuk melindungi tindakan tersebut, secara alamiah mereka akan melakukan kolusi dengan orang-orang terdekat atau memiliki kedekatan baik itu berupa kekerabatan atau jalinan pertemanan. Ini yang kemudian kita kenal dengan Kolusi, namun Kolusi hanya bisa terjadi jika ada Nepotisme. Karena pemberian akses kepada jaringan keluarga dan sahabat paling memungkinkan untuk memuluskan sesuatu. Ini didasari dari pertimbangan kepercayaan dan kesetiaan.
ADVERTISEMENT

Nepotisme dan Ekonomi

Penyidik KPK menunjukan barang bukti uang tunai ketika konferensi pers OTT tindak pidana korupsi terhadap program bantuan sosial di Kementerian Sosial untuk program penanganan COVID-19 di Gedung KPK, Jakarta, pada Minggu (6/12/2020) dini hari. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)
Praktik nepotisme yang mengakar dan berlangsung lama dalam scope jaringan pemilik modal dan elite politik sudah pasti akan memberikan dampak buruk bagi pembangunan.
Pada zaman pemerintahan Suharto, kita melihat bagaimana akses pada sumber produksi hanya diberikan kepada rekan dan partner bisnis yang berafiliasi dengan keluarga Cendana. Praktik yang berlangsung puluhan tahun ini menyebabkan hanya beberapa elite saja yang memiliki akses terhadap sumber-sumber produksi. Penguasaan yang tertumpu pada segelintir orang juga meminimalisir adanya persaingan, sehingga bisnis ekstraktif tumbuh begitu subur. Secara alamiah praktik ini menggugurkan inovasi berusaha karena menghapus persaingan dari level distribusi modal dan akses.
Secara politis, konsentrasi modal yang besar pada beberapa elite memampukan mereka untuk masuk pada jaringan politik baik itu di lingkungan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Meskipun kita menganut negara Demokrasi, namun pada hakikatnya menurut Winters (2011) praktik demokrasi di Indonesia disetir oleh jaringan elite yang sudah berkuasa sejak lama. Pemimpin yang disuguhkan kepada rakyat untuk dipilih sejatinya adalah hasil kesepakatan oleh sejumlah elite baik itu untuk mengamankan jaringan politis dan bisnis mereka. Akibatnya persaingan dalam kontestasi politik biasanya hanyalah suguhan drama yang sudah didesain oleh beberapa aktor politik sehingga menjebak praktik bernegara dalam demokrasi yang hanya bersifat prosedural.
ADVERTISEMENT
Pertimbangan etis dan kemanusiaan bukanlah menjadi pertimbangan utama dalam praktik ini. Sehingga orang yang berada di akar rumput tidak pernah didik untuk pintar berpendapat. Mereka dikungkung oleh budaya mendengar dan patuh pada pemilik kekuasaan.
Dalam konteks bisnis, ini tentu sangatlah buruk karena mematikan kompetisi dan inovasi. Ketimpangan terhadap akses sumber modal dan produksi menyebabkan elite yang menguasai sektor ekstraktif tidak mampu berinovasi karena mereka memang tidak pernah dididik untuk bersaing secara fair. Mereka seperti melihat ke dalam dan tidak mampu melihat persaingan dalam scope besar karena bagi mereka politik adalah akses utama untuk sukses di bisnis. Pelaku usaha gagal untuk menghasilkan inovasi sehingga lapangan pekerjaan dari sektor swasta juga menjadi terbatas.
ADVERTISEMENT
Semua ini pada akhirnya akan berujung pada ketimpangan ekonomi dan mandeknya pertumbuhan serta pembangunan ekonomi dalam jangka panjang.