Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Nepotisme Membentuk Jaringan Elite Politik di AS
12 Juli 2021 11:34 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Asmiati Malik PhD tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kita kerap mendengarkan kata Nepotisme dan bahkan sudah menjadi bagian yang sangat melekat dalam sejarah Indonesia. Sejak pemerintahan presiden Soeharto , nepotisme kerap bersanding dengan kolusi dan korupsi (KKN ). Hal serupa juga terjadi di Amerika Serikat . Setidaknya terdapat dua jenis nepotisme yaitu nepotisme berdasarkan jaringan simbiosis mutualisme dalam usaha dan nepotisme karena hubungan keluarga dan pertemanan.
ADVERTISEMENT
Sebelum kita membahas jejak nepotisme dalam politik AS. Terlebih dahulu penting untuk kita pahami bersama tentang nepotisme. Nepotisme secara etimologi berasal dari bahasa Italia ‘nepote ’ yang berarti kemenakan. Istilah ini mulai popular digunakan sejak pertengahan abad ke 17 masehi ketika praktik kePausan memberikan bantuan khusus kepada cucu dan kerabat mereka. Pada saat itu kardinal ditunjuk oleh Paus memiliki keterkaitan hubungan keluarga yang terkenal dengan istilah Kardinal Kemenakan (Cardinal Nephew ). Istilah ini kemudian muncul dalam bahasa Inggris pada tahun 1669.
Nepotisme di AS
Ulasan tersebut diatas menunjukkan bahwa nepotisme bukanlah hal baru dalam sejarah klasik politik dunia. Bahkan di Amerika Serikat (AS) sebagai negara yang mengadopsi pemerintahan modern berasaskan pada demokrasi, etika dan kebebasan, nepotisme masih terus berakar. Seperti misalnya ketika Presiden AS ke 45, Donald Trump mengangkat putrinya sendiri Ivanka Trump, sebagai penasehat presiden dengan security clearance yang berarti Ivanka memiliki akses terhadap informasi penting negara. Sementara suami Ivanka juga menduduki posisi sebagai penasehat senior untuk Presiden AS.
ADVERTISEMENT
Ini menunjukkan bahwa praktik nepotisme di Gedung Putih merupakan sesuatu hal yang baru. Kalau kita lihat lebih jauh pada abad ke 18, Presiden AS kedua John Adams mengangkat anak tertuanya John Quincy Adams sebagai menteri pertama AS untuk Prussia (Jerman). John Quincy Adams kemudian menjabat sebagai Presiden AS yang ke enam. Kemudian James Madison presiden AS ke 4, James Monroe presiden AS ke 5, Andrew Jackson presiden AS ke 7, Tayler Zachary presiden AS ke 12, James Buchanan presiden AS ke 15, Ulysses S. Grant Presiden AS ke 18, Franklin D. Roosevelt Presiden AS ke 32 dan jangan lupa George H. W. Bush Presiden ke 41 yang anaknya George W Bush menjadi presiden AS ke 43. Amerika Serikat sendiri berada pada peringkat ke 63 dari 125 negara dalam hal nepotisme, dan jauh dari Inggris dan Jerman serta berada di belakang Kazakhstan, Mesir dan Afrika Selatan.
ADVERTISEMENT
Nepotisme dan Jaringan Elite
Dalam pandangan konservatif, nepotisme pada esensinya bukanlah sesuatu yang dianggap ilegal, namun lebih cenderung mengarah pada potensi bias dalam pengambilan keputusan. Secara alamiah politik mencari kekuasaan dan kekuatan, dengan demikian persaingan dengan lawan politik adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Untuk bisa menjaga jaringan kekuatan membutuhkan tingkat kepercayaan yang tinggi (high level of trust). Ini yang kemudian menjadi penyebab utama nepotisme dalam politik. Secara natural akan menghambat kompetisi politik. Akademisi seperti Fishman dan Golden (2017) menganggap nepotisme merupakan fenomena yang toxic karena bertentangan dengan kepentingan publik. Pada esensinya publik tentu menginginkan adanya distribusi kesempatan secara adil dan sistem rekruitmen berasaskan pada merit-based criteria. Sementara menurut Ragauskas (2020) nepotisme memutuskan hubungan antara pekerjaan dan meritokrasi serta penciptaan peluang. Tentu saja ini akan menciptakan kompetisi yang tidak adil dan juga kesempatan mendapatkan pekerjaan. Nepotisme juga bisa menyebabkan penyalahgunaan dana publik.
ADVERTISEMENT
Dalam tinjauan akademis nepotisme menjadi subjek yang cukup sudah untuk diteliti karena kerap jaringan politik melindungi jaringan mereka sehingga akan sangat susah untuk menelitinya. Meskipun bisa dilihat dengan menelusuri posisi dan orang-orang terdekat dalam jaringan politik, tentu akan membutuhkan dana yang besar serta waktu yang lama. Oleh karena itu kerap nepotisme hanya bisa teliti dalam jangka waktu yang lama dan cakupannya menjadi analisa historis. Ini juga yang menyebabkan agak susah untuk melihat dampak nepotisme pada pertumbuhan ekonomi secara detail. Ini juga berakibat kenapa banyak orang yang tidak sadar akan bahaya dari nepotisme terhadap ekonomi. Penelitian terbaru misalnya dari Alvares (2021) memperlihatkan bahwa nepotisme buruk untuk pembangunan ekonomi karena menghalangi pembangunan sumberdaya manusia.
ADVERTISEMENT
Jaringan politik yang berafiliasi dengan jaringan bisnis berdasarkan pada kedekatan personal dan keluarga merubah struktur dan dinamika ekonomi suatu negara. Kapital, koneksi keluarga menjadi hal yang sangat utama untuk memasuki ranah politik di Amerika Serikat.
Lingkaran Elite Pendidikan
Terlebih lagi jaringan ini berada pada satu lingkaran karena rata-rata dididik dalam lingkaran universitas yang hanya bisa diakses oleh mayoritas elite. Pendidikan yang bermutu membutuhkan biaya yang besar dan sudah barang tentu, para elite tersebut bisa menyedikan kepada keluarga mereka. Sehingga perkembangan (breeding elite) menjadi satu hal yang terjadi secara alamiah.
Proses ini bukan sesuatu yang aneh, di Inggris sendiri Eton College mencetak 20 Perdana Menteri Inggris. Kebanyakan pelajar di Eton berasal dari keluarga yang berada dan secara alamiah mereka membantu membentuk jaringan elite. Jaringan elite ini mempermudah jalan mereka untuk masuk ke politik. Jadi jangan heran kalau konsentrasi kekuasaan hanya akan berputar pada jaringan tertentu saja baik itu terlihat jelas di perpolitikan Amerika Serikat dan bahkan di Inggris sekalipun.
ADVERTISEMENT