Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Korupsi, Nepotisme, dan Sistem Oligarki Soeharto di Masa Pemerintahan Orde Baru
13 April 2021 13:08 WIB
Tulisan dari Ivanodei tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ketika mendengar kesaksian dari orang-orang yang pernah melewati masa-masa kegelapan pemerintahan Soeharto hingga melewati kerusuhan tahun ‘98, rasanya memberikan kesan tersendiri bagi bangsa ini. Meskipun saat ini kita sudah melewati masa-masa tersebut, namun kegelapan tersebut masih membekas hingga saat ini. Ada pun, kita melihat hal tersebut memberikan sesuatu yang berpengaruh terhadap sistem kehidupan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Kita mengetahui betapa kejamnya sistem pemerintahan orde baru sehingga masyarakat tidak bisa sembarangan dalam memberikan opini tentang pemerintah. Bisa dikatakan, pada saat itu, pemerintah tidak bisa dikritik atau “antikritik sama dengan istana” lirik yang dilantunkan oleh grup musik asal Jakarta, .Feast, bisa menggambarkan suasana pemerintahan saat itu. Pada saat itu, orang-orang mengetahui di balik sistem pemerintahan tersebut, terdapat kejahatan besar atau disebut dengan istilah “kejahatan di balik selimut”. Maka, pada saat itulah ditemukan istilah KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme).
Hal yang menarik pada masa pemerintah Soeharto, yakni maraknya penggunaan istilah KKN yang mampu mengubah perspektif masyarakat terhadap sistem pemerintahan bangsa ini. Kejahatan yang di atas dasarkan kekerabatan mampu mengubah peraturan atau regulasi sehingga membuka jalan untuk mendapatkan kekuasaan, keuntungan, kekuatan, dan sebagainya sehingga mengimplementasikan dari nilai-nilai pancasila sangat minim sekali. Ketidakadilan di mana-mana sehingga masyarakat kecil selalu tertindas.
ADVERTISEMENT
Ada pun, saat itu, masyarakat masih merasakan jalannya keadilan dapat dirasakan oleh kaum elite, melainkan orang-orang yang memiliki ekonomi lemah. Inilah pergumulan masyarakat hingga saat ini. Bila bisa digambarkan, pada saat itu rasanya masyarakat hidup seperti terpenjara. Namun, setelah masyarakat melihat kejanggalan dari masa jabatan Soeharto, dapat diperkirakan masa penurunan Soeharto akan memberikan kebebasan. Setelah, demonstrasi besar-besaran hingga mengakibatkan kerusuhan, demonstrasi ini telah memakan banyak korban jiwa.
Melewati masa-masa tersebut telah membawa begitu banyak hal yang dapat dipelajari, begitu banyak bekas luka dan ingatan yang harus dilalui. Kejahatannya yang dilakukannya pun turut membekas hingga saat ini, termasuk KKN pun terus berlanjut hingga saat ini. Seakan-akan kejahatan tersebut sudah mendarah daging. Selain itu, reformasi mengubah kebijakan yang sudah ditetapkan. Kejahatan tersebut terus berjalan dan menunggu waktu untuk ditangkap, bagi pelaku. Apalagi perkembangan zaman menuntut masyarakat untuk bekerja lebih keras lagi sehingga pembaruan dan inovasi terus dilakukan. Namun, masyarakat tetap diupah sangat rendah.
ADVERTISEMENT
Waktu yang selalu berputar membuat manusia harus beradaptasi dengan zaman sehingga harus mengikuti tren yang sedang berkembang. Disisi lain, adanya tuntutan dari lingkungan sekitar membuat masyarakat ingin selalu mendapatkan yang terbaik. Hal itu membuat manusia akan melakukan apa saja untuk mendapatkan dan mengikuti tren tersebut. Hakikatnya manusia memiliki perasaan egois.
Korupsi merupakan suatu fenomena penyimpangan sosial yang menyimpang realitas perilaku manusia. Kehidupan merupakan saksi terjadinya fenomena ini di dalam masyarakat sehingga masyarakat mencari cara untuk memberantas permasalahan ini. Disisi lain, permasalahan ini dapat dinilai, tergantung dari perspektif mana yang diambil. Menurut Robert Tilman, sama hal nya seperti keindahan, pengertian korupsi yang sesungguhnya tergantung dari cara sudut pandang orang memandangnya. Pengertian korupsi sendiri dapat dilakukan melalui pendekatan yuridis, yakni pendekatan sosiologi, kriminologis, politis, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Berbagai bentuk korupsi sudah meresahkan masyarakat, seperti: Penyuapan, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan, adanya faktor ekonomi dan politik, dan sebagainya, memberikan dampak buruk untuk kemajuan bangsa ini.
Menurut Syed Hussein Alatas, “Terjadinya korupsi adalah apabila seorang pegawai negeri menerima pemberian yang disodorkan oleh seseorang dengan maksud mempengaruhinya agar memberikan perhatian istimewa pada kepentingan si pemberi.” Memang perkataan ahli tersebut, dibuktikan melalui data kasus kejahatan yang tertinggi di Indonesia masih dipegang oleh korupsi.
Menariknya, dari zaman reformasi hingga saat ini, maraknya korupsi yang berbentuk jabatan, yakni nepotisme. Nepotisme merupakan pengangkatan jabatan saudara, teman-teman, atau kelompok politiknya pada jabatan tertentu tanpa melihat kemampuan mereka tanpa memandang kesejahteraan masyarakat. Sering kali di dalam lingkungan masyarakat, profesionalisme dikaitkan dengan nepotisme.
ADVERTISEMENT
Penyebab dari nepotisme, terbentuknya sistem negara oligarki. Menurut filsuf Yunani, Plato mengatakan: “Suatu bentuk masyarakat, di mana kekayaan menentukan kekuasaan, di mana kekuasaan politik berada di tangan orang-orang kaya, sementara orang-orang miskin tidak memiliki apa-apa.”
Pada masa awal reformasi, oligarki yang digunakan oleh Soeharto atau oligarki model indonesia merupakan pengadopsian dari oligarki model Amerika Latin dan oligarki model Amerika Serikat. Gabungan dari oligarki Amerika Latin, yakni adanya hubungan perkawinan dari antar keluarga yang memulai membangun kekayaan mereka dari penguasaan tanah dan peternakan luas. Selain itu, oligarki Amerika Serikat, yakni penguasaan kelompok-kelompok kepentingan bisnis yang paling menentukan peredaran yang di negara itu.
Semenjak, Soeharto turun dari jabatan, bisa dikatakan oligarki dari Soeharto memiliki sistem berkaki tiga. Kaki pertama, ialah “istana” yang merupakan lingkaran dalam oligarki ini. Dalam konteks ini, memiliki arti keluarga besar presiden yang berada di luar istana, yakni kerabat dan keluarga besar. Keluarga yang sering dikenal dengan istilah “Keluarga Cendana”, sering melakukan perjanjian bisnis lebih banyak ditempa di rumah pribadi Soeharto yang diperantai oleh Ibu Tien Soeharto.
ADVERTISEMENT
Kemudian, kaki kedua, ialah “tangsi” merupakan lingkaran pelindungan pertama dari kaki pertama “istana”. Tugas ini dilakukan oleh komunitas militer hingga purnawirawan, dengan adanya perkongsian bisnis perusahaan milik keluarga Soeharto dengan yayasan milik satuan TNI dan Polri. Keterkaitan antara berbagai perusahaan negara, perusahaan militer, perusahaan milik keluarga besar Soeharto menyebabkan seluruh sektor ekonomi negara dan swasta di Indonesia dapat diatur bagaikan keluarga besar, di mana hubungan sipil dan militer terjalin sangat mesra.
Kaki ketiga, ialah partai penguasa. Pada masa pemerintahan Soeharto, kaki ini dimainkan oleh partai Golongan Karya (Golkar). Kaki ini berfungsi sebagai benteng perlindungan kedua bagi berbagai bisnis istana, sekaligus menyamarkan keberpihakan para serdadu dalam melindungi kepentingan bisnis keluarga istana.
ADVERTISEMENT
Sinergi ketiga kaki tersebut dalam sistem oligarki Soeharto dipengaruhi oleh adanya kerja sama Soeharto dengan Ibu Tien. Soeharto mengurus negara, sedangkan Ibu Tien sibuk mengurus kelancaran bisnis negara. Sehingga keretakan bisnis tersebut sudah mulai terlihat, ketika Ibu Tien sudah meninggal. Tidak hanya ada peran Ibu Tien di dalam oligarki Soeharto, namun adanya sinergi dengan sistem tali-temali perkongsian bisnis itu memperkuat kepentingan untuk melindungi bisnis keluarga Soeharto, yang tidak mengalami perombakan.