'Pelakor' dari Kacamata Feminisme

Asmiati Malik PhD
International Relations - International Political Economist - Young Scholars Initiative - Senior researcher at AsianScenarios - Dosen Hubungan Internasional Universitas Bakrie
Konten dari Pengguna
5 September 2019 12:08 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asmiati Malik PhD tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi selingkuh. Foto: Getty Images
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi selingkuh. Foto: Getty Images
ADVERTISEMENT
Perselingkuhan adalah hal yang sangat tabu bagi masyarakat Indonesia. Tapi ketabuan ini bukanlah sesuatu yang jarang ditemui, malah kerap jadi tontonan yang dibagi-bagi secara massal di sosial media. Tayangan yang didominasi oleh bagaimana seorang laki-laki menemui pasangan selingkuhannya secara diam-diam atau berhubungan fisik di sebuah hotel kemudian digerebek oleh sang istri.
ADVERTISEMENT
Tak jarang juga ada video yang menayangkan bagaimana seorang istri dipergoki oleh suami ketika sedang berselingkuh dengan pasangan selingkuhannya. Akan tetapi, kalau mau dibandingkan, kasus perselingkuhan laki-laki lebih sering disorot ketimbang dengan seorang perempuan yang berselingkuh.
Perselingkuhan sering diasosiasikan dengan self-worthiness atau harga diri. Di masyarakat kita, muncul persepsi bahwa perselingkuhan adalah hal yang wajar dilakukan oleh laki-laki. Oleh karena itu, dalam kasus ini perempuan yang mau diajak berselingkuh (pelakor) dianggap lebih hina dibandingkan dengan laki-laki. Meskipun dalam kasus perselingkuhan kedua belah pihak sama-sama bersalah. Tentu dalam kondisi bahwa pasangan yang berselingkuh sama-sama tidak tahu bahwa pasangan selingkuhannya sudah memiliki pasangan.
Pertanyaannya adalah kenapa perempuan memiliki beban moral yang lebih besar ketika berselingkuh dibanding dengan laki-laki yang berselingkuh? Dan kenapa lebih mudah memaafkan suami yang selingkuh dibanding istri yang selingkuh?
ADVERTISEMENT
Tentu tidak ada jawaban sederhana dari pertanyaan tersebut. Tapi ada beberapa pendekatan yang bisa kita pakai untuk menganalisis permasalahan tersebut. Salah satu pendekatan tersebut adalah dari kacamata dan konsep feminisme.
Masyarakat Indonesia pada umumnya adalah masyarakat yang menjunjung tinggi nilai patriarki, menempatkan laki-laki sebagai pemimpin dan kepala rumah tangga. Konsepsi ini didasari oleh pemahaman agama yang kemudian menjadi dasar utama, ada anggapan bahwa seorang suami memiliki derajat yang lebih tinggi dari seorang istri. Tapi dalam pemaknaannya terjadi salah kaprah karena terdapat hubungan yang timpang antara derajat dan kemuliaan.
Sedangkan istri lebih diasosiasikan sebagai pelayan yang harus menjaga kesucian dirinya dan patuh pada suami. Karenanya seorang istri yang berselingkuh sering diasosiasikan sebagai wanita yang tidak terhormat dan tidak suci, bahkan ‘menjijikkan’. Sedangkan suami yang selingkuh lebih sering dipersepsikan sebagai ‘kewajaran’ dari perilaku yang menyimpang (khilaf).
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu pula hukuman sosial yang berlaku pada perempuan lebih berat ketimbang hukuman sosial kepada laki-laki. Suami yang berselingkuh pun lebih sering dan lebih mudah dimaafkan ketimbang istri yang berselingkuh. Sehingga kecenderungan perceraian juga lebih tinggi menimpa istri yang selingkuh daripada suami.
Penyebab Perselingkuhan
Padahal kalau mau ditilik secara rasional, seharusnya tidak ada perbedaan perlakukan dan beban moral antara laki-laki dan perempuan, karena pada hakikatnya perbuatan tersebut menghasilkan nilai dismoralitas yang sama. Bahkan pada prinsip dasar, pemicu perselingkuhan memiliki kesamaan, baik untuk perempuan maupun laki-laki. Anggapan yang menganggap bahwa laki-laki selingkuh hanya karena faktor sexual pun tidak serta merta benar. Menurut Kenneth Paul Rosenberg dalam bukunya, Infedility: Why men and women cheat, mengungkapkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan antara angka perselingkuhan laki dan perempuan.
ADVERTISEMENT
Ini disebabkan karena tiga determinan yang membuat orang selingkuh, masing-masing terdapat pada pria dan perempuan. Ketiga faktor tersebut, yakni pertama: Struktur neurologi atau struktur kimiawi otak yang dibentuk dari evolusi ilmiah.
Kedua, faktor psikologis juga memiliki pengaruh yang sangat besar terutama bagaimana otak memproses pengalaman yang terbentuk dari persepsi orang tersebut terhadap kasus perselingkuhan. Faktor psikologis tersebut termasuk narsisme atau perasaan ingin selalu menjadi pusat perhatian, kekurangan empati atau tidak bisa merasakan penderitaan orang lain, keinginan untuk memvalidasi bahwa dia diinginkan, kurangnya kemampuan untuk menganalisis akibat dari keputusan yang diambil, tidak suka berkomitmen, dan suka dipuja.
Dan faktor yang terakhir adalah budaya. Budaya yang membentuk perbedaan konsep mengenai cinta, hubungan fisik yang membentuk opini seseorang tentang perselingkuhan.
ADVERTISEMENT
Konsep Feminisme
Feminisme di Indonesia sering dianggap sebagai menu bahasan yang tidak penting. Hal ini sebenarnya wajar kalau kita menilik dari kuatnya konsep patriarki yang dianut. Bahkan konsep ini kerap dianggap bertentangan dengan nilai budaya yang dianut oleh masyarakat lokal karena merupakan nilai yang dibawa dari luar. Penolakan ini juga tidak lepas dari anggapan bahwa paham feminisme menuntut kesamaan hak secara ilmiah dan manusia, seperti misalnya pandangan poligami dan poliandri.
Padahal kalau ditilik dari kajian teori, feminisme sebenarnya mengusung kesamaan dalam hak tanpa menafikan perbedaan alamiah dan fisik dari wanita dan laki-laki. Perbedaan tersebut seperti misalnya melahirkan atau pun mengalami haid. Perbedaan tersebut menuntut diselaraskan dengan kondisi alam yang memang menciptakan perbedaan secara alamiah.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, perbedaan pemahaman dan hukuman sosial bagi pelaku perselingkuhan yang tidak didasari pada nilai etika, moralitas, dan keluhuran menjadi bumerang bagi masyarakat itu sendiri. Ini seperti ingin mengatakan bahwa laki-laki yang berselingkuh mudah diterima sedangkan perempuan yang berselingkuh dianggap sebagai manusia yang layak dicaci maki.
Terlebih lagi konsepsi pemahaman ini tidaklah menyelesaikan masalah karena akar permasalahan dari tindakan asusila tersebut bisa saja berakar dari rendahnya fundamen moral pada masing-masing individu yang terlibat. Pada intinya, baik pelakor atau pun pebinor (perebut bini orang), sama-sama memiliki derajat moralitas yang rendah.