Konten dari Pengguna

Menimba Ilmu Gender dan Diplomasi di Swedia

Astari MD
Hidup sebagai negosiator 360: mother, daughter, diplomat.
18 Mei 2023 21:11 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Astari MD tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT

Artikel ini merupakan kelanjutan dari cerita sebelumnya....

Penulis di kampus University of Gothenburg, Juni 2019.
zoom-in-whitePerbesar
Penulis di kampus University of Gothenburg, Juni 2019.
Sebagai seorang diplomat karyasiswa S-3 yang meneliti tentang diplomat perempuan Indonesia, saya pernah kesulitan mendapatkan sumber informasi dari karya tulis akademis di bidang gender dan diplomasi. Walaupun subyek diplomasi dalam hubungan internasional sudah sering dibahas dari berbagai aspek penelitian, ternyata masih jarang yang melihatnya dari lensa gender. Selain itu, para akademisi yang melakukan riset mengenai gender dan diplomasi sebagian besar berasal dari dunia Barat, terutama dari negara-negara Nordik. Baru sedikit yang menulis tentang perempuan diplomat Asia, apalagi para diplomat perempuan dari Indonesia.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, betapa senangnya saya waktu menerima undangan workshop dari Profesor Ann Towns, seorang akademisi Swedia yang adalah pakar dalam studi gender dan diplomasi. Beliau meneliti norma-norma dalam hierarki internasional, terutama yang berkaitan dengan gender. Karya beliau sudah mendapatkan berbagai penghargaan seperti fellowship dari Knut and Alice Wallenberg Foundation dan Swedish Research Council. Pada tahun 2018, beliau juga mendapatkan Bertha Lutz Price dari International Studies Association. Salah satu karya tulis beliau yaitu Gendering Diplomacy and International Cooperation (2018, Palgrave MacMillan) telah menjadi referensi penting dalam studi gender dan hubungan internasional.
Penulis bersama Prof. Ann Towns di tengah-tengah kota Gothenburg.
Prof. Ann Towns mengundang saya untuk menjadi peserta dari Gender and Diplomacy Workshop yang diselenggarakan oleh program Gender in Diplomacy di University of Gothenburg, di kota Gothenburg, Swedia, tahun 2019.
ADVERTISEMENT
Beliau menyelenggarakan workshop tersebut bersama dengan Profesor Birgitta Niklasson, yang juga seorang akademisi Swedia. Beliau adalah pakar dalam isu norma-norma gender dalam birokrasi pemerintahan, terutama dalam bidang politik luar negeri. Melalui workshop ini, mereka berdua bertekad untuk mengumpulkan para peneliti mancanegara yang mempelajari cross-cutting issues antara studi gender dan diplomasi, dan berupaya mengisi research gap mengenai peran dan sejarah kaum perempuan dalam dunia diplomasi yang selama ini didominasi oleh kaum laki-laki.
Penulis bersama Prof. Birgitta Niklasson.
Selama tiga hari, saya bertemu dengan para peneliti dan pakar isu-isu diplomasi yang berkaitan dengan gender. Para peserta workshop datang dari berbagai bagian belahan dunia: Australia, India, Turki, Amerika Serikat, Inggris dan Norwegia. Kami berdiskusi seru mengenai penelitian kami masing-masing. Saya bercerita mengenai penelitian saya tentang para diplomat perempuan Indonesia dan bagaimana mereka bisa sukses dalam meniti karir mereka meskipun menghadapi berbagai tantangan berbasis gender. Sementara peserta lain berbagi mengenai penelitian mereka tentang diplomat perempuan India pertama, peran perempuan dalam Kementerian Luar Negeri Turki, sejarah diplomasi perempuan di Amerika Serikat, dan isu gender dalam birokrasi kementerian luar negeri di Inggris dan Australia.
Suasana diskusi dengan para peneliti gender dan diplomasi.
Menghadiri workshop tersebut merupakan suatu kesempatan yang berharga sekaligus bermanfaat bagi saya. Di satu sisi saya mendapat ilmu pengetahuan mengenai peran perempuan dalam diplomasi di berbagai benua, dan di sisi lain saya juga bisa memberikan pandangan mengenai peran para perempuan diplomat Asia terutama dari Indonesia.
ADVERTISEMENT
Tentu saya juga mengambil kesempatan untuk menikmati kota Gothenburg dan kuliner Swedia yang sangat lezat seperti salad udang khas Gothenburg, kue fika khas Swedia, ikan herring dan es krim Daim. Saya juga menemukan kopi Indonesia di salah satu kafe, dan ternyata biji kopinya berasal dari tanah leluhur nenek moyang saya, Sulawesi. Siapa tahu ini pertanda kalau satu waktu nanti saya akan kembali ke Gothenburg. Amiiinnn. ^^
Kuliner Swedia (dari kiri atas, searah jarum jam: salad udang Gothenburg, kue fika, ikan herring, kopi Sulawesi, es krim Daim).
Pemandangan kota Gothenburg dari atas.