Ada Apa dengan Hak Asasi Manusia (HAM)?

Asti Tyas Nurhidayati
Sekretaris Komunitas Indonesia di Islandia. Tim Komunikasi, Hubungan Masyarakat dan Media, Perhimpunan Eropa untuk Indonesia Maju yang kini eksis di 19 negara di Eropa. Transformasi dari gerakan Eropa Tetap Jokowi saat Pilpres 2019.
Konten dari Pengguna
14 Desember 2020 7:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asti Tyas Nurhidayati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) pada 10 Desember mengingatkan kembali pada perlindungan HAM di Indonesia yang masih mengalami banyak tantangan. Sejumlah insiden terjadi akhir-akhir ini, misalnya kekerasan di Papua, Sigi, Poso, maupun bentrokan antara aparat polisi dan laskar Front Pembela Islam (FPI) di Tol Jakarta-Cikampek.
ADVERTISEMENT
Perhimpunan Eropa untuk Indonesia Maju (PETJ) Dewan Pimpinan Wilayah Jerman bersama MERPATI (Merah Putih Sejati) di Frankfurt, Jerman, menyelenggarakan Sarasehan Online bertajuk ”Ada Apa dengan HAM?” pada Minggu, 13 Desember 2020, pukul 14.00-16.00 waktu Eropa Tengah atau pukul 20.00-22.00 waktu Indonesia Barat. PETJ menghimpun masyarakat Indonesia di 19 negara di Eropa untuk mengawal pemerintahan yang sah mewujudkan Indonesia Maju dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. ”Pemerintah Indonesia harus serius menjamin perlindungan HAM yang situasinya memburuk akhir-akhir ini,” ujar Arie Purwanto, Wakil Sekjen I PETJ saat membuka sarasehan.
Perhimpunan Eropa untuk Indonesia Maju (PETJ) Dewan Pimpinan Wilayah Jerman menyelenggarakan Sarasehan Online bertajuk ”Ada Apa dengan Hak Asasi Manusia (HAM)?” pada Minggu, 13 Desember 2020 menampilkan M. Chairul Anam dari Komnas HAM sebagai nara sumber.
Puisi ”Seorang Buruh Masuk Toko” karya Wiji Tukul dibacakan oleh Aryani Wilems, diaspora Indonesia yang tinggal di Hannover, Jerman,untuk mengawali sarasehan. Wiji Tukul merupakan sastrawan dan tokoh HAM Indonesia yang melawan rezim Orde Baru dan dinyatakan hilang sejak 1998, dengan dugaan diculik oleh militer. Puisi ini bercerita tentang jeritan hati masyarakat ekonomi lemah akibat kemiskinan, ketimpangan sosial dan ketidakadilan.
ADVERTISEMENT
Narasumber pertama ialah Mohammad Chairul Anam, Komisioner Pemantauan/Penyelidikan, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. “Komnas HAM mencatat pelanggaran HAM di Indonesia saat ini, kasus yang paling menonjol berbasis infrastruktur. Problem pertanahan, masyarakat adat. Kedua, akses kepada keadilan. Bagaimana bekerjanya proses keadilan. Masyarakat melapor kepada polisi, namun tidak ditindaklanjuti sebagaimana mestinya. Ketiga, soal intoleransi. Misalnya saat ini Makasar dan Ciamis bergejolak akibat segregasi sosial sangat menganga. Juga kasus yang berhubungan dengan kejahatan digital misalnya syiar kebencian, doxing atau menyebarluaskan informasi pribadi seseorang di dunia maya, dll. Pelakunya banyak. Siapapun melakukan propaganda kebencian harus ditindak tegas secara hukum,” kata M. Chairul Anam menanggapi kondisi pelaksanaan HAM di Indonesia saat ini yang dinilai Amnesti Internasional mengalami kemunduran. “Setiap kali bertemu dengan Presiden Jokowi, Komnas HAM selalu menagih janji menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu. Direspon Presiden Jokowi akan diselesaikan dengan baik. Sayangnya hal ini belum ditindaklanjuti,” tambahnya.
ADVERTISEMENT
“Komnas HAM bekerja secara impartialitas, independen, tidak mau terpengaruh oleh tekanan oleh siapapun.“Chairul Anam menjawab pertanyaan Arief Imanuwarta, diaspora Indonesia di Frankfurt, Jerman tentang kerja Komnas HAM. “Saya pastikan Komnas HAM tidak tebang pilih. Banyak kasus pelanggaran HAM yang tidak dapat dimunculkan di permukaan karena berpotensi memunculkan konflik berikutnya. Saat ini Komnas HAM masih berat aksesnya untuk memastikan perlindungan terhadap korban. Banyak pelaporan kasus diterima oleh Komnas HAM setiap minggunya. Tidak semua kasus dipublikasikan. Namun ada metodologi kasus mana yang perlu dimunculkan. Banyak orang tidak suka syiar kebencian di Indonesia, namun perlakuan kepada mereka juga tidak boleh melanggar HAM,” tukasnya.
“Dukung Komnas HAM sebagai palang pintu kerja perlindungan HAM di Indonesia. Update terkini kinerja Komnas HAM dapat dilihat di Twitter Komnas HAM atau di media terpercaya dengan kredibilitas tinggi. Jangan percaya dengan berbagai isu di media abal-abal ataupun media sosial yang tidak dapat dipercaya sumbernya,” ujar Chairul Anam menjawab pertanyaan Jofi Puspa, diaspora Indonesia di Gießen, Jerman, tentang kritik santer media terhadap kinerja Komnas HAM dan ketiadaan update terkini di website resmi Komnas HAM yang bisa diakses oleh masyarakat.
ADVERTISEMENT
“Untuk Papua, kompleksitas sangat tinggi. Komnas HAM mendorong tata kelola keamanan yaitu Zona Humaniter dikedepankan untuk menghindari tembak-menembak antara TNI dan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Ini untuk menghindari masayarakat kena sasaran tembak,“ jawab Chairul Anam terhadap pertanyaan tentang kekerasan di Papua yang dilontarkan oleh Shandy Adiguna, diaspora Indonesia di London, Inggris.
M. Chairul Anam, Komnas HAM, sebagai nara sumber Sarasehan Online "Ada Apa dengan Hak Asasi Manusia (HAM)?" yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Eropa untuk Indonesia Maju pada Minggu, 13 Desember 2020.
Narasumber kedua ialah Dr. Willy Wiranta Prawira, pengamat politik dan kemasyarakatan, diaspora Indonesia tinggal di Frankfurt, Jerman. Dia merupakan korban HAM, eks mahasiswa dinas Indonesia di era Presiden Soekarno sekitar tahun 1960-an. Saat dikirim belajar di Uni Soviet, dia dianggap mendukung Partai Komunis Indonesia (PKI) dan dicabut paspor Indonesianya oleh pemerintahan Presiden Soeharto. Beruntung ijazahnya diakui oleh Pemerintah Jerman sehingga dia dapat bekerja menerapkan ilmunya di Max Planck Institute for Comparative Public Law and International selama 25 tahun. Dia merasa lebih beruntung daripada teman-teman senasib yang harus bekerja serabutan menyambung hidup karena ijazahnya tidak diakui. Christiana Streiff Siswijana, diaspora Indonesia di Zurich, Swiss, menanyakan kepad Willy, bagaimana tanggapan KBRI di Jerman saat itu menanggapi kondisi statelessnya. “Saya tetap Warga Negara Indonesia namun paspor saya tidak berlaku. Bisa pulang ke Indonesia namun tidak bisa keluar lagi. Banyak teman senasib yang telah pulang ke Indonesia, namun akhirnya dibuang ke Pulau Buru. Terpaksa saya menjadi warga Negara Jerman supaya saya bisa pulang mengunjungi keluarga di Indonesia dan kembali ke Jerman untuk mencari penghasilan,” terangnya.
ADVERTISEMENT
Narasumber ketiga ialah Yanto Mangundap, pengurus Perhimpunan Eropa untuk Indonesia Maju, Dewan Pengurus Wilayah Jerman. Dia menceritakan kembali kronologi kasus pembunuhan Munir hingga keputusan Mahkamah Agung yang memerintahkan Kementerian Sekretariat Negara untuk mempublikasikan dokumen laporan kasus Munir yang semula dinyatakan hilang. “Menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), masa kedaluwarsa kasus pidana ialah 18 tahun. Kasus pembunuhan Munir genap 18 tahun pada 2022 nanti. Bila Komnas HAM menetapkan kasus pembunuhan Munir sebagai pelanggaran HAM berat, maka delik kasus pembunuhan ini tidak memiliki masa kedaluwarsa. Sayangnya hingga saat ini belum dilakukan,” ujar Yanto Mangundap. Menanggapi hal ini, Chairul Anam menegaskan, ”Ya, kasus pembunuhan Munir masuk dalam pelanggaran HAM berat. Komnas HAM terus memproses kasus ini, dipimpin oleh Sandrayati Moniaga, Komisioner Pengkajian dan Penelitian.“
ADVERTISEMENT
Bedjo Untung, korban Tragedi 1965 mengingatkan kasus pelanggaran HAM di tahun 1965 merupakan babon, the mother of human violence. Bila tidak diselesaikan akan beranak-pinak kasus pelanggaran HAM selanjutnya. “Keadaan korban 1965 saat ini tidak ada perubahan. Hingga saat ini masih mengalami persekusi, diskriminasi, ancaman, teror. Pemerintah harus mengkaji ulang tindakan represif terhadap korban 1965. Buktinya saat Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) '65 melakukan kegiatan di Pati, terkait lokasi kuburan massal orang-orang yang dituduh simpatisan PKI, teman saya didatangi oleh intel tentara dan polisi. Korban 1965 merupakan patriot sejati, cinta tanah air, bukan teroris. Kami ingin mendarmabaktikan waktu, tenaga, kemampuan bagi Tanah Air. Membuang waktu jika terus melakukan monitoring kepada korban 1965 tua renta seperti kami ini,” ujarnya. “Kami memanfaatkan kesempatan sekecil apa pun untuk melakukan kampanye publik supaya penelitian kasus 1965 dapat dilakukan. Kami minta Presiden Jokowi segera mencabut atau membatalkan Keppres No. 28 Tahun 1975 tentang Perlakuan Terhadap Mereka yang Terlibat G30S/PKI Golongan C. Pemerintah Orde Baru menjadikan Keppres tersebut sebagai pijakan membuat klasifikasi terhadap tahanan politik melawan hukum, memberhentikan Pegawai Negeri Sipil, Guru dan Tentara karena dugaan terlibat G30S/PKI. Meski telah dibatalkan Mahkamah Agung, praktiknya di lapangan, kami masih diperlakukan diskriminatif, penuh stigma, selalu diancam dan diteror. Kami berjuang untuk memperoleh hak yang terampas. Kami minta dukungan masyarakat Indonesia di luar negeri mendesak Presiden Joko Widodo segera selesaikan pelanggaran HAM 65,” tambahnya.
ADVERTISEMENT
Andi Tinellung, jurnalis Metro TV di Jerman, sebagai moderator, menutup sarasehan dengan mengutip Eleanor Roosevelt. Dimana hak asasi manusia dimulai? Dari sebuah tempat sederhana, dekat rumah kita. Tempat di mana pria, wanita, serta anak-anak mendapat perlakuan sama, kesempatan sama, kehormatan sama, tanpa diskriminasi. Setiap manusia dilahirkan merdeka, punya hak sama tanpa pengecualian. Stop penindasan dan perampasan hak secara sewenang-wenang. Mari desak Presiden Joko Widodo segera menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Indonesia untuk mewujudkan Indonesia Maju yang berkeadilan dan sejahtera untuk semua.