Konten dari Pengguna

Pluralisme sebagai Katalis Multikulturalisme

Asyani Rahayu Simatupang
Mahasiswa Konsentrasi Jurnalistik Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Andalas. Jurnalis di Unit Kegiatan Pers Mahasiswa Genta Andalas.
29 Mei 2024 16:38 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asyani Rahayu Simatupang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Studi Kasus Tragedi Sampit

Ilustrasi masyarakat. Sumber: iStock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi masyarakat. Sumber: iStock
ADVERTISEMENT
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk atau "plural society", (Nasikun, 1989: 31) bahkan ada yang menyebut "dual society". Kemajemukan masyarakat Indonesia disebabkan oleh keadaan intern tanah air dan bangsa Indonesia sendiri. Faktor-faktor penyebab pluralitas masyarakat Indonesia adalah : (1) keadaan geografis, yang merupakan faktor utama terciptanya pluralitas suku bangsa. Wilayah Indonesia terdiri dari kurang lebih 3000 mil dari Timur ke Barat dan lebih dari 1000 mil dari Utara ke Selatan. (2) Indonesia terletak antara samudera Indonesia dan Samudera Pasifik, sangat mempengaruhi terciptanya pluralitas agama di dalam masyarakat Indonesia. Pengaruh pertama kali yang menyentuh masyarakat Indonesia berupa pengaruh kebudayaan Hindu dan Budha dari India sejak 400 tahun sesudah Masehi". Pengaruh agama Hindu, Budha, Islam dan Kristen mempengaruhi kebudayaan Indonesia yang pluralistic (Ichtiyanto, 2005: 47-48).
ADVERTISEMENT
Multikulturalisme adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan pandangan seseorang tentang ragam kehidupan di dunia, ataupun kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap realitas keragaman, dan berbagai macam budaya (multikultural) yang ada dalam kehidupan masyarakat menyangkut nilai-nilai, sistem, budaya, kebiasaan, dan politik yang mereka anut (M. Atho Mudzhar, 2005: 174). Pluralisme merupakan salah satu ciri dari multikulturalisme. Dua ciri lainnya ialah adanya cita-cita mengembangkan rasa kebangsaan yang sama dan kebanggaan untuk terus mempertahankan kebhinekaan itu. Secara konstitusional, Indonesia bercita-cita mewujudkan masyarakat multikultural. Faktanya, masih banyak tantangan yang harus dihadapi, baik berkait dengan soal-soal kebangsaan maupun keagamaan. (Azzuhri, 2012:14).
Masyarakat plural-multikultur seperti Indonesia memang rawan konflik dan sewaktu-waktu dapat terjadi di setiap tempat dan waktu, konflik terjadi tentu saja disebabkan oleh masing-masing perbedaan itu mempertahankan eksistensinya. Hal inilah yang dapat melahirkan kerawanan-kerawanan, walaupun pada awalnya konflik adalah karena perbedaan sosio-ekonomi dan politik namun perbedaan etnis dan isu agama sering kali muncul sehingga menjadi tajam dan sensitif, akhirnya berubah menjadi konflik etnis dan agama. Kerena perbedaan antara etnis dan agama selalu menjadi faktor ampuh untuk melegitimasi suatu tindakan atau suatu kepentingan. (Imron Rosyidi, 2009:5)
ADVERTISEMENT
Salah satu peristiwa yang pernah terjadi akibat perbedaan pandangan antaretnis di Indonesia adalah Tragedi Sampit di Kalimantan Tengah pada tahun 2001. Konflik ini terjadi antara suku Dayak asli dan transmigran asal Madura yang dirasa berpotensi mendominasi populasi Kalimantan Tengah. Dominasi tersebut memungkinkan warga Madura memperoleh kontrol terhadap industri komersial. Hal tersebut menimbulkan permasalahan ekonomi yang kemudian menjalar menjadi pemicu kerusuhan antarkeduanya. Konflik Sampit juga terjadi karena ada perbedaan nilai dan budaya antar suku Dayak dan Madura yang berstatus sebagai pendatang. Seperti adat orang Madura yang membawa parang atau celurit ke manapun, membuat orang Dayak merasa tamunya ini siap untuk berkelahi. Tendensi utama tragedi ini adalah benturan budaya perasaan superioritas yang begitu kentara antar dua belah etnis. Orang Madura sebagai pendatang dianggap tidak mau memahami budaya orang Dayak sehingga tidak sesuai dengan peribahasa, “Dimana langit dijunjung, disitu bumi dipijak.”
ADVERTISEMENT
Adanya konflik tersebut membawa dampak yang sangat riskan. Orang-orang harus kehilangan keluarganya, rumahnya, kehancuran matapencaharian dan menipisnya rasa toleransi akibat teguhnya sifat etnosentrisme. Dalam kasus ini, ada beberapa teori sosiologis yang dapat digunakan untuk menjabarkan disosiasi sosial konflik Sampit. Salah satunya adalah teori konflik yang punya perspektif bahwa masyarakat sebagai arena kesenjangan yang dapat menimbulkan konflik dan perubahan sosial. Dalam hal ini, masyarakat merujuk pada suku Dayak dan suku Madura di sampit pada 2001 silam. Benturan budaya dan persaingan sumber daya menjadi faktor penyelenggara konflik Sampit. Selain itu, terdapat teori pengelompokan sosial dalam kasus ini. Bagaimana individu cenderung membentuk kelompok berdasarkan etnis mereka sendiri, dan ini dapat menimbulkan konflik jika perbedaan antaretnis dibatas-batasi.
ADVERTISEMENT
Untuk menyikapi kasus serupa terjadi dimasa yang akan datang, diperlukan adanya pendidikan multikultural yang mampu memupuk nilai-nilai keanekaragaman budaya. Pendidikan multikultural harus ditanamkan agar masyarakat sadar pentingnya menjaga kerukunan antar individu, dan memahami bahwa kita dan budaya kita sendiri bukan sentral peradaban, sehingga arti penting ilmu multikultural dapat diperluas. Dalam pendidikan multikultural, setiap budaya berada pada posisi setara dan kelas yang sama. Tidak ada satu budaya yang lebih tinggi, tidak ada pula yang lebih rendah. Pentingnya pembentukan karakter yang multikultural merupakan suatu urgensitas, kesadaran bersama berdasarkan implikasi pola pikir, tingkah laku, karena level tertinggi dalam multikultural adalah tidak memperumit budaya, ras, etnik, bahasa, serta agama dan bersedia untuk menerima segala perbedaan sebagai satu kesatuan. Jika siswa tidak memiliki nilai toleransi yang tinggi, maka siswa tidak akan mampu meresolusi konflik yang akan memperparah perpecahan. Tanpa kesadaran pribadi, perbedaan bagaikan “api dalam sekam” yang mampu melumpuhkan semua sendi-sendi persatuan dan membingkai kita dalam kemasan yang bernama intoleran, sedangkan tanpa pendidikan multikultural, perberdaan akan menyeret kita ke dalam pusaran malapetaka seperti konfrontasi antargolongan atas dasar agama dan etnis.
ADVERTISEMENT
Lalu, sebagai konklusi, apakah multikultural adalah sebuah anugerah yang patut dibanggakan atau malah malapetaka yang menjadi akar perseteruan. Kembali lagi pada hakikatnya, multikultural serupa bumerang bagi suatu bangsa. Segregasi yang berujung pengucilan tidak boleh dinormalisasi. Keberagaman bangsa Indonesia bisa menjadi anugerah maupun malapetaka. Akan menjadi anugerah jika Indonesia sebagai entitas negara majemuk mampu memelihara kebhinnekaan, dengan pendidikan multikultural salah satunya. Di sisi lain bisa menjadi malapetaka jika masyarakat Indonesia terus memeluk etnosentrisme, hingga terwujud disharmonisasi yang mencerminkan negara kita sedang berada pada situasi darurat kesadaran keberagaman. Perbedaan ada untuk dijadikan pembelajaran. Seperti semboyan negara kita yang tertulis dalam kitab Sutasoma “Bhinneka Tunggal Ika” yang jika diibaratkan dengan bawang merah, setiap lapisannya terdiri dari beragam suku, agama, ras, budaya dan menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan.
ADVERTISEMENT