Konten dari Pengguna

Tolak Eksploitasi dan Komersialisasi Hak Privasi

Asyani Rahayu Simatupang
Mahasiswa departemen Ilmu Komunikasi Universitas Andalas
21 September 2024 17:28 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asyani Rahayu Simatupang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Hak Privasi. Foto: iStock
zoom-in-whitePerbesar
Hak Privasi. Foto: iStock

Samuel D. Warren dan Louis D. Brandeis mendefinisikan hak privasi sebagai hak individu untuk melindungi kehidupan pribadi dari intrusi publik dan media, serta menekankan pentingnya perlindungan terhadap informasi pribadi.

ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Hak privasi merupakan salah satu aspek penting dalam jurnalisme yang seringkali terabaikan, meskipun perannya sangat krusial dalam menjaga martabat individu di tengah arus informasi yang semakin deras. Secara eksplisit, hak privasi dapat didefinisikan sebagai hak individu untuk menjaga informasi pribadi dan kehidupan pribadinya dari pengawasan, pengungkapan, dan pengambilan tanpa izin. Dalam konteks ini, jurnalis dihadapkan pada dilema etis antara kepentingan publik dan hak privasi individu.
ADVERTISEMENT
Walter Lippmann, seorang pemikir penting dalam dunia komunikasi, berargumen bahwa media harus berfungsi sebagai jembatan antara dunia nyat dan pemahaman publik. Dalam pandangannya, Lippmann mengkritik kemampuan media untuk membentuk opini publik yang seringkali tidak akurat, dan ia menyadari bahwa informasi yang disajikan oleh jurnalis dapat berpotensi merusak privasi individu jika tidak ditangani dengan bijak. Latar belakang pandangan Lippmann terkait hak privasi ini lahir dari kesadarannya akan tantangan yang dihadapi oleh individu dalam menghadapi representasi media yang dapat berujung pada stigma sosial dan pengucilan.
Di era globalisasi, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah mengaburkan batasan-batasan antara kehidupan pribadi dan publik. Kebebasan akses informasi yang seharusnya membawa dampak positif justru mengakibatkan kemerosotan hak privasi. Dalam konteks ini, jurnalisme sering kali beroperasi di luar batas etika, merilis informasi sensitif tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang bagi individu yang terlibat. Globalisasi telah menciptakan lingkungan di mana berita dan informasi dapat menyebar dengan cepat, membuat individu rentan terhadap eksposur publik yang tidak diinginkan. Di sinilah pentingnya menegaskan dasar hukum yang melandasi hak privasi, seperti Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) dan norma-norma hak asasi manusia yang mengakui hak individu untuk dilindungi dari pengungkapan informasi pribadi tanpa izin.
ADVERTISEMENT
Hak privasi juga diatur dalam hukum internasional, Pasal 12 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, “Tidak seorang pun dapat diganggu dengan sewenang-wenang urusan pribadinya, keluarganya, rumah tangganya, atau hubungan surat-menyuratnya, juga tak diperkenankan pelanggaran atas kehormatan nama baiknya.” Perlindungan terkait hak privasi dalam jurnalisme secara umum tertuang dalam Pasal 9 Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang menjelaskan bahwa “Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.” Dalam aturan ini, selama kepentingan umum tidak tersangkut, kehidupan pribadi anggota masyarakat tidak boleh dipublikasikan tanpa izin yang bersangkutan. Dalam buku landasan moral dan etika Jurnalis, Pasal 2 Kode Etik Jurnalistik, secara implisit menerangkan wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik, termasuk menghormati hak privasi.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks etika jurnalistik, tidak melanggar privasi adalah mematuhi hak untuk ‘sendiri’ yang dimiliki individu, baik yang menjadi objek pemberitaan maupun yang menjadi narasumber. Hal tersebut sejalan dengan perspektif Samuel D. Warren & Louis D. Brandeis mendefinisikan hak privasi dalam artikel mereka berjudul “The Right to Privacy” menerangkan bahwa individu memiliki hak untuk sendiri tanpa intrusi publik dan media. Hal tersebut masuk dalam kategori privasi fisik. Alan Westin mengidentifikasi privasi dalam kategori informasi, menyatakan bahwa individu memiliki hak mengontrol data pribadi mereka, termasuk privasi digital dunia maya. Westin juga menuangkan opininya dalam privasi kategori asosiasi, yaitu hak untuk berserikat tanpa intervensi pihak luar. Privasi asosiasi diperkuat oleh Pasal 28 UUD I945. Kemudian, privasi kategori intelektual deperkenalkan oleh Neil Richards, Ricards merumuskan sebuah hak privasi untuk berpikir dan berkreasi. Kategori yang terakhir adalah Privasi Informasi
ADVERTISEMENT
Hak privasi mencakup berbagai aspek, antara lain hak atas informasi, hak untuk tidak diungkapkan, serta hak untuk mengontrol siapa yang dapat mengakses dan menggunakan data pribadi. Dalam jurnalisme, hal ini menjadi semakin penting untuk dipahami agar peliputan berita tidak hanya fokus pada sensationalisme, tetapi juga menghormati martabat dan privasi individu. Misalnya, dalam konteks kasus pelecehan seksual di Indonesia, sering kali media tergoda untuk menyajikan detail-detail sensasional, menggunakan sudut pandang yang terlalu berorientasi pada segi-segi sensualitas daripada isu-isu kontroversial untuk memenuhi kepentingan komersialisasi.
Hak Privasi. Foto: iStock
Implementasi hak privasi dapat dianalisis dari kasus pembunuhan dan pelecehan seksual seorang gadis penjual gorengan berinisial NK (18) oleh pria inisial IS (26) di Padang Pariaman, Sumatera Barat. Kasus ini begitu ramai dibicarakan. Sejalan dengan viralitasnya, perlindungan terhadap privasi korban ternyata masih sangat rendah. Publikasi informasi pribadi, foto dan vidio korban semasa hidup, dan detail kehidupan sehari-harinya tersebar di berbagai pemberitaan media massa. Hal tersebut tentu sangat melanggar privasi korban dan memperburuk trauma yang dialami oleh keluarga dan orang-orang terdekat. Pers melalui media bertanggung jawab memberitakan kasus ini dengan teliti. Pemberitaan yang tidak etis dapat mengaburkan fokus pada isu-isu yang lebih penting, seperti penegakan hukum dan perlindungan terhadap perempuan.
ADVERTISEMENT
Kasus seperti ini menunjukkan betapa pentingnya etika jurnalisme dalam menghormati hak privasi korban, di mana pengungkapan identitas atau latar belakang korban tanpa izin dapat menyebabkan trauma lebih lanjut dan memperburuk stigma sosial. Jurnalis harus persisten menegakkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik, bagaimanapun situasi dan kondisinya, termasuk dalam memberitakan kasus pelecehan yang telah dijelaskan sebelumnya. Kode Etik Jurnalistik juga memberikan perlindungan terhadap hak privasi korban kejahatan dengan Pasal 5 yang menyatakan, “Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak anak yang menjadi perlaku kejahatannya.” Keinginan eksploitasi identitas dan informasi orang lain melatih orang-orang menjadi tidak bermoral, mengomersialisasi privasi untuk kepentingan keuntungan tertentu.
Satu hal yang perlu ditegaskan di sini, rasa keingintahuan khalayak tidak serta merta menjadi kepentingan umum yang dapat membenarkan pelanggaran privasi. Rasa ingin tahu masyarakat tidak memberikan hak kepadanya untuk mencampuri hidup orang lain. Sebagaimana yang Tubbs dan Moss (1994:463) katakan, “Journalist are repeadly faced with balancing concern with what is often called ‘the public’s right to know’ with concern about an individual’s right to privacy.” Para wartawan berulang kali menyeimbangkan apa yang disebut ‘hak publik untuk mengetahui’ dengan hak individu akan privasi. Misalnya, apakah publik punya hak untuk mengetahui nama seorang korban pemerkosaan dalam sebuah pengadilan yang disiarkan secara luas.
ADVERTISEMENT
Secara keseluruhan, hak privasi dalam jurnalisme harus dijaga dan dipertahankan agar tidak hanya menjaga kebebasan berekspresi, tetapi juga melindungi martabat individu. Jurnalis harus dapat menyeimbangkan kepentingan publik dengan hak privasi individu, terutama di era di mana informasi dapat menyebar dengan sangat cepat dan luas. Perusahaan pers seharusnya membekali basis etika sebelum jurnalisnya bekerja. Dengan demikian, pendidikan etika jurnalisme dan pemahaman yang mendalam tentang hak privasi menjadi sangat penting agar media dapat berfungsi dengan baik dalam masyarakat yang adil dan beradab.
Penulis:
Asyani Rahayu Simatupang, Mahasiswa Konsentrasi Jurnalistik Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Universitas Andalas.