Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Kewenangan Rektor UKSW Kebablasan
28 Agustus 2017 18:52 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:15 WIB
Tulisan dari Mahasiswa Abadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
“Semua penguasa tirani harus ditumbangkan.”
“Rektor memiliki tugas dan wewenang yakni menunjuk, mengangkat dan memberhentikan dekan dan pejabat di bawahnya.”
ADVERTISEMENT
Kutipan di atas merupakan salah satu isi dari statuta UKSW (Universitas Kristen Satya Wacana) terbaru yaitu tahun 2016. Berada di dalam pasal 18 yang berisi mengenai Pimpinan Universitas dan ayat 4 (i) yang khusus membahas perihal tugas dan wewenang Rektor. Statuta sebagaimana pengertiannya merupakan peraturan dasar pengelolaan perguruan tinggi yang digunakan sebagai landasan penyusunan peraturan dan prosedur operasional di perguruan tinggi. Sedangkan Rektor merupakan pimpinan Universitas. Dalam tulisan ini saya akan menyoroti perihal perubahan mencolok yang terjadi dalam Statuta UKSW.
Dalam sejarahnya, Universitas Kristen Satya Wacana sudah melakukan 5 kali perubahan statuta, yaitu tahun 1973, 1988, 1996, 2000,[1] serta yang terbaru, statuta UKSW tahun 2016. Penetapan dan perubahan yang dilakukan merupakan cara untuk tetap mendapatkan relevansi sesuai perkembangan zaman dan juga menyesuaikan dengan peraturan penyelenggaraan perguruan tinggi yang dikeluarkan pemerintah. Saya menyoroti salah satu perubahan mencolok pada isi statuta UKSW tahun 2000 ke statuta tahun 2016, yakni kewenangan rektor dalam menunjuk dekan atau pimpinan fakultas.
ADVERTISEMENT
Selain khawatir nepotisme, saya juga prihatin ketika tampaknya statuta UKSW tahun 2016 seperti melanggengkan dominasi pihak penguasa. Dalam statuta UKSW tahun 2000, mengenai wewenang rektor termuat di dalam pasal 16 dengan penjabaran sebanyak 6 ayat. Di dalamnya tidak disebutkan mengenai penunjukan dekan atau pimpinan fakultas oleh rektor. Dalam statuta tahun 2000, hal tersebut diserahkan kepada Senat Fakultas sebagaimana termuat dalam pasal 37 ayat 1 dan ayat 2 yang berbunyi: “Calon Dekan dipilih oleh Rapat Senat Fakultas yang khusus diadakan untuk itu” dan “Calon Dekan diusulkan kepada rektor oleh Dekan”.
Lain hal dalam statuta 2016, isi seperti ayat 1 dan 2 pada statuta UKSW tahun 2000 tidak lagi ditemukan. Dalam statuta UKSW 2016, kewenangan menunjuk dekan dan pimpinan fakultas kini diserahkan pada rektor. Saya merasa khawatir dengan perubahan ini, karena kepemimpinan sentralistik seperti ini rawan nepotisme. Kedekatan calon dekan pada rektor menjadi peluang besar untuk kemudian dipilih menjadi pimpinan fakultas. Kriteria yang dibuat hanyalah formalitas belaka dan tidak terlalu diperhatikan, yang punya hubungan dekat dialah yang mendapat kursi dekan.
ADVERTISEMENT
Selain khawatir nepotisme, saya juga prihatin ketika tampaknya statuta Universitas tahun 2016 seperti melanggengkan dominasi pihak penguasa. Bau busuk rezim orde baru tampaknya menjiwai isi statuta. Bagaimana tidak, banyak ayat dalam pasal terkhusus mengenai pemilihan pimpinan yang tidak lagi menerapkan cara yang demokratis. Pelanggengan dominasi penguasa kampus juga kental sekali. Bagaimana mungkin pemilihan pimpinan fakultas dilakukan oleh rektor, bukan dipilih oleh senat fakultas yang bersangkutan?
Kewenangan senat fakultas yang merupakan badan tertinggi fakultas pun dikerdilkan dengan hanya menjadi pelaksana aturan yang sudah ditetapkan pihak universitas. [2] Yang lebih mengetahui persoalan di dalam fakultas adalah tenaga pendidik, pegawai ,dan mahasiswa yang ada di fakultas. Harusnya mereka inilah yang diberikan kewenangan tinggi untuk memilih dekan atau pimpinan fakultas. Masa mereka (baca: tenaga pendidik, pegawai, mahasiswa) ini hanya sebagai penonton penetapan pimpinan mereka yang dilakukan oleh rektor? Padahal yang kemudian akan merasakan efek kepemimpinan dekan tersebut adalah mereka.
ADVERTISEMENT
Jika mau dibandingkan dengan universitas lain yang juga bernafaskan kekristenan, maka akan tampak jelas perbedaannya. Saya mengambil contoh dari tata cara pemilihan dekan dan pimpinan fakultas di Universitas Kristen Maranatha, Bandung. Dalam Surat Keputusan Rektor No 006/SK/ORG/UKM/III/2016 mengenai “Pedoman Pembentukan dan Pengangkatan Panitia Penjaringan, Seleksi dan Pemilihan Dekan dan Wakil Dekan, Ketua dan Sekretaris Program Studi Periode 2016-2020”. Dari judulnya saja sudah terlihat bahwa mengenai pergantian pimpinan fakultas dibentuk panitia tersendiri yang khusus bekerja untuk itu. Demokrasi sangat dijunjung tinggi, yang mana dari tenaga pendidik, pegawai dan mahasiswa di fakultas turut serta dalam memilih pimpinan fakultasnya.
Suara mereka amat diperhatikan dengan pembagian persentase suara (termuat dalam pasal 5 —red) yaitu dosen biasa dan dosen khusus (50%), dosen luar (5%), pegawai fakultas (5%) dan suara mahasiswa (5%), sisanya sebesar 35 % diberikan pada rektor. Artinya persentase terbesar masih diberikan pada fakultas yang bersangkutan.
ADVERTISEMENT
Melalui perbandingan di atas saya tidak ingin berpretensi untuk membanding-bandingkan antara UKSW dan Maranatha, tetapi saya ingin memperlihatkan bahwa tata cara dalam pemilihan pimpinan fakultas di Maranatha demokratis. Sedangkan di UKSW terkesan seperti orde baru, seakan-akan tidak demokratis dan sentralistik.
Baiknya UKSW harus berbenah terutama dalam menyusun aturan perihal pergantian kepemimpinan universitas dan fakultas. Jangan sampai celah nepotisme dan kekuasaan otoriter diberlakukan di kampus yang berslogan menyegani Tuhan ini. Pemilihan pimpinan harus dilakukan dengan demokratis dengan memperhatikan semua suara sivitas akademika, jangan hanya memperhatikan suara golongan tertentu. Universitas harus jadi tempat yang sangat demokratis, jangan menjadi tempat berebut dan mempertahankan kekuasaan.
Martin Dennise Silaban, mahasiswa Fakultas Teologi angkatan 2014.
Disadur dari www.scientiarum.com
ADVERTISEMENT