Konten dari Pengguna

Musik Mengkritik: Ada yang Terusik

Atef Fahrudin
Dosen Tetap di Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran Kampus Pangandaran
23 Februari 2025 17:03 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Atef Fahrudin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
pexels.com
zoom-in-whitePerbesar
pexels.com
ADVERTISEMENT
Musik adalah medium universal yang melampaui batas bahasa dan budaya. Lebih dari sekadar hiburan, musik telah lama menjadi alat yang efektif untuk menyuarakan kritik sosial, politik, dan ekonomi. Di Indonesia, musik memiliki sejarah panjang sebagai cerminan keresahan masyarakat. Dari lirik-lirik tajam Iwan Fals hingga aksi panggung Slank yang sarat pesan, musik sering kali menjadi suara mereka yang termarjinalkan atau kecewa dengan sistem yang ada. Namun, apa yang terjadi ketika musik sebagai bentuk kritik justru dianggap mengancam? Baru-baru ini, kasus Band Sukatani dengan lagu mereka “Bayar Bayar Bayar” memberikan gambaran nyata bagaimana kritik melalui musik dapat menjadi sumber kontroversi di negeri ini.
ADVERTISEMENT
Lagu “Bayar Bayar Bayar” menjadi viral karena liriknya yang berani menyoroti isu sensitif—yang banyak ditafsirkan sebagai sindiran terhadap institusi kepolisian. Lagu ini dengan segera menarik perhatian publik, mendapatkan respon luas di media sosial. Namun, alih-alih diterima sebagai kritik yang sah, band ini justru mendapat tekanan hingga akhirnya meminta maaf secara terbuka kepada institusi terkait. Kejadian ini menimbulkan pertanyaan penting: apakah kritik melalui seni, khususnya musik, tidak lagi memiliki tempat di negeri ini? Atau, apakah kritik yang disampaikan dengan cara kreatif seperti ini selalu dianggap sebagai ancaman?

Kritik Musik di Berbagai Negara

Fenomena ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Di banyak negara lain, musik juga menjadi alat penting untuk mengkritik ketidakadilan. Misalnya, di Amerika Serikat, lagu-lagu rap dan hip-hop sering digunakan untuk menyuarakan realitas keras di masyarakat perkotaan, termasuk isu rasisme dan kekerasan polisi. Lagu seperti “Fight the Power” oleh Public Enemy atau karya-karya Kendrick Lamar adalah contoh bagaimana musik dapat menjadi alat perlawanan. Di Inggris, genre punk pada era 1970-an, dengan band seperti The Clash dan Sex Pistols, menjadi simbol perlawanan terhadap pemerintah dan institusi yang dianggap tidak adil. Bahkan di negara-negara dengan kebebasan berekspresi terbatas seperti Iran atau Tiongkok, musisi-musisi underground terus menyuarakan kritik meski menghadapi risiko besar.
ADVERTISEMENT
Namun, perbedaan mencolok muncul ketika kita membandingkan bagaimana kritik melalui musik diterima di negara-negara tersebut dengan situasi di Indonesia. Di beberapa tempat, kritik melalui musik dianggap sebagai bagian penting dari dialog sosial. Lagu-lagu yang menyuarakan keresahan masyarakat dijadikan landasan untuk diskusi dan refleksi, meskipun terkadang memicu perdebatan sengit. Sementara di Indonesia, kritik yang disampaikan melalui musik sering kali direspons dengan tekanan atau bahkan sensor. Hal ini menunjukkan bahwa kebebasan berekspresi, meskipun dijamin oleh undang-undang, sering kali terhambat oleh sensitivitas pihak-pihak tertentu.

Dilema Para Musisi

Kasus Band Sukatani menunjukkan bahwa kritik melalui musik masih dianggap sebagai “zona abu-abu”. Di satu sisi, musik adalah bentuk kebebasan berekspresi yang dijamin oleh konstitusi. Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 jelas menyebutkan bahwa setiap orang memiliki hak untuk menyatakan pendapat. Musik, sebagai salah satu bentuk seni, seharusnya termasuk dalam hak ini. Namun, di sisi lain, sensitivitas sosial dan politik di Indonesia sering kali membuat kritik yang disampaikan, terutama terhadap institusi tertentu, dianggap melampaui batas. Ketegangan ini menciptakan dilema bagi para musisi: apakah mereka tetap berani menyuarakan kritik, atau memilih untuk diam demi menghindari risiko?
ADVERTISEMENT
Kritik melalui musik sebenarnya bukanlah ancaman, melainkan masukan yang seharusnya diapresiasi. Ketika sebuah lagu mengangkat isu yang dianggap sensitif, itu adalah tanda bahwa ada keresahan yang dirasakan oleh masyarakat. Mendiamkan kritik, apalagi dengan cara represif, hanya akan membuat keresahan tersebut semakin dalam. Sebaliknya, menjadikan kritik ini sebagai bahan refleksi dapat membuka ruang dialog yang lebih sehat. Sayangnya, ruang untuk dialog semacam ini masih sangat terbatas di Indonesia. Ketika kritik dianggap sebagai ancaman, maka kesempatan untuk belajar dan berkembang pun ikut terhambat.

Pentingnya Kebebasan Berekspresi

Sebagai masyarakat, kita perlu memahami bahwa seni, termasuk musik, adalah cerminan dari kondisi sosial kita. Ketika ada lagu yang mengkritik, itu berarti ada sesuatu yang perlu diperbaiki. Kritik tidak semestinya dilihat sebagai permusuhan, melainkan sebagai bentuk kepedulian. Dalam kasus Band Sukatani, tekanan yang mereka hadapi hingga harus meminta maaf secara terbuka menunjukkan bahwa keberanian untuk bersuara masih sering dibungkam oleh rasa takut. Padahal, seni yang kritis justru dapat menjadi alat untuk mendorong perubahan positif.
ADVERTISEMENT
Di negara-negara lain, kritik melalui musik sering kali menjadi katalisator untuk perubahan sosial. Lagu-lagu yang mengkritik perang, ketidakadilan, atau korupsi telah menginspirasi gerakan-gerakan besar sepanjang sejarah. Di Indonesia, potensi ini sebenarnya juga ada. Musik memiliki kemampuan untuk menyatukan orang-orang, menyampaikan pesan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata biasa. Namun, agar potensi ini dapat terwujud, diperlukan ruang yang lebih besar bagi kebebasan berekspresi, serta sikap yang lebih terbuka terhadap kritik.

Refleksi dan Harapan

Pada akhirnya, seni adalah jiwa dari kebebasan itu sendiri. Ketika seni dibungkam, maka kebebasan juga ikut terenggut. Kasus Band Sukatani seharusnya menjadi refleksi bagi semua pihak: apakah kita benar-benar menghargai kebebasan berekspresi, ataukah kita hanya mendukungnya sejauh itu tidak menyentuh zona nyaman kita? Kritik melalui musik tidak seharusnya dianggap sebagai ancaman, melainkan sebagai suara yang perlu didengar. Ketika musik mengkritik, dan ada yang terusik, mungkin itu adalah tanda bahwa kritik tersebut memang memiliki kebenaran yang perlu direnungkan.
ADVERTISEMENT