Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Persija Seharusnya Mencontoh Branding Pemain Naturalisasi Timnas
13 Mei 2024 11:58 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Atif Kasful Haq tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Musim reguler serie Liga 1 2023/2024 baru saja selesai. Empat tim teratas klasemen telah ditentukan dan nama-nama yang terdegradasi juga telah dipastikan. Tak lupa, layaknya musim-musim sebelumnya, klub-klub di dalamnya selalu punya posisi yang cenderung kurang stabil di klasemen.
ADVERTISEMENT
Persija salah satunya. Di musim 2023/2024 ini, tim berjuluk “Macan Kemayoran” ini tampil bak pesakitan. Padahal di musim sebelumnya, langkah fantastis mereka untuk mendatangkan eks pelatih Borussia Dortmund, Thomas Doll, sebagai nahkoda klub terasa sebagai ancaman sekaligus angin segar di Liga 1. Ditambah, manajemen Persija juga turut mendatangkan empat pemain dengan pengalaman di kasta tertinggi kompetisi Eropa, Ondrej Kudela; Michael Krmenčík; Abdullah Yusuf Helal; dan Hanno Behrens.
Hanya saja, upaya ini cenderung gagal karena para pemain mengalami ketidakcocokan dengan iklim maupun sepak bola Indonesia itu sendiri. Behrens mengalami tifus selama berada di Indonesia, Yusuf harus menjalani operasi batu ginjal dan dikabarkan oleh Arab News bahwa dirinya tidak begitu nyaman bermain di Indonesia, sementara alasan kepergian Krmenčík sendiri masih sebatas rumor.
ADVERTISEMENT
Selain permasalahan pemain asing mereka yang tak begitu betah, sesungguhnya ada satu lagi yang luput diperhatikan kebanyakan orang. Yakni dengan materi pemain dan pelatih yang luar biasa, Persija melewatkan kesempatan dalam membangun branding terbaik bagi komposisi yang dimiliki.
Padahal branding pemain ini seharusnya menjadi senjata yang ampuh dalam menaikkan nama Persija, syukur-syukur beserta Liga 1 itu sendiri.
Persib dan Essien
Sebelum melangkah lebih jauh. Saya ingin menilik ke tim rival, Persib Bandung. Mengapa Persib? Sebab di musim 2017, tim ini pernah melakukan langkah yang bisa dibilang hampir serupa yakni berupa mendatangkan pemain berkualitas tinggi untuk liga Indonesia.
Para pemain itu adalah Carlton Cole dan Michael Essien. Kedua nama itu tentu tidak asing di telinga penikmat sepak bola nasional, khususnya Essien yang merupakan mantan pemain Real Madrid dan Chelsea.
ADVERTISEMENT
Meskipun pada akhirnya kedua pemain itu juga tak berhasil nyetel dan tak memberikan dampak signifikan bagi klub, tapi tak dapat dipungkiri bahwa keduanya juga menjadi magnet yang menarik masyarakat untuk lebih banyak menonton liga Indonesia, khususnya Persib Bandung. Efek kesuksesan transfer Essien juga saya rasakan kala itu, dengan teman-teman saya banyak menjadi pendukung dadakan Persib Bandung.
Jika kembali ke permasalahan awal, maka kita akan menemui bahwa meski langkah yang diambil cenderung sama, tapi Persija tampak tak begitu berhasil dalam mengangkat namanya hingga sesukses Persib. Lebih-lebih hingga mengangkat nama liga Indonesia.
Belajar dari Branding Pemain Naturalisasi
Mungkin kita bisa berdalih bahwa para pemain yang didatangkan Persija musim lalu tak setenar Essien. Tidak salah juga bila disebut demikian.
ADVERTISEMENT
Namun ada satu kasus menarik lagi yang bisa jadi pelajaran untuk masalah branding pemain asing Persija. Yakni pemain naturalisasi timnas.
Seperti yang banyak diketahui bahwa timnas sepak bola Indonesia tengah gencar melakukan naturalisasi para diaspora yang memiliki keturunan Indonesia. Hasilnya, nama-nama seperti Jay Idzes, Sandy Walsh, Jordi Amat, hingga Thom Haye pun kini telah menjadi tumpuan utama timnas. Bahkan kedepannya, ada nama-nama lain lagi yang akan dinaturalisasi.
Secara permainan, para pemain naturalisasi ini memang berhasil tampil menonjol di atas lapangan. Contoh terbaru dengan Nathan Tjoe A Oen yang mampu menjadi tumpuan bagi permainan timnas selama turnamen Piala Asia U-23.
Namun bila kita melebarkan pandangan kita, sebenarnya para pemain naturalisasi kita ini masih berada di level “biasa saja” untuk level Eropa. Sebut saja Ragnar Oratmangoen yang sebetulnya belum bisa memberikan sumbangsih gol di Fortuna Sittard, Rafael Struick yang jadi andalan di timnas senior juga hanya mampu tampil prima di tim U-21 Ado Den Hag, Jordi Amat yang sudah “turun level” ke liga Malaysia, hingga Nathan sendiri yang sebetulnya tak banyak dimainkan selama menjalani masa pinjaman di SC Heerenveen.
ADVERTISEMENT
Namun hal itu tertutupi, selain karena performa yang lebih menonjol dari pemain lokal, juga karena adanya upaya gigih untuk menaikkan nama mereka baik dari jajaran PSSI maupun akun-akun pendukung timnas di media sosial.
Para akun itu bisa dengan mantap meyakinkan para pengikutnya bahwa Viking FK, klub yang menjadi tempat bernaung Shayne Pattynama kala itu, memiliki level permainan tinggi. Lalu Jupiler Pro League , liga tempat Sandy Walsh bermain, juga tak boleh diremehkan karena Belgia sendiri berada pada 5 besar peringkat FIFA. Ivar Jenner pernah beberapa kali dipanggil untuk latihan bersama skuad senior Utrecht. Justin Hubner jadi kapten di Wolverhampton U-21.Jordi Amat pernah berduel melawan Messi dan Ronaldo.Hingga paling minimal, mereka akan mengatakan bahwa setidaknya pemain-pemain ini lebih bagus dari pemain Liga 1.
ADVERTISEMENT
Berbekal narasi-narasi di atas pula, para jajaran PSSI juga berhasil meyakinkan anggota DPR tiap kali diadakan sidang perkara pemain naturalisasi. Dan berbekal narasi yang sama juga para penggemar timnas mulai percaya bahwa pemain naturalisasi kita memang begitu hebat.
Memunculkan harapan tiap kali ada nama baru yang hendak dipindah kewarganegaraanya dan menciptakan banyak atensi baru kepada pertandingan timnas kedepannya
Sekarang mari kembali lagi pada permasalahan utama. Bagaimana dengan Persija musim lalu? Narasi yang dimunculkan tak semilitan yang ditulis oleh akun-akun timnas. Paling mentok, para akun pemerhati Liga 1 atau Jakmania hanya akan sampai pada narasi bahwa “mereka pernah bermain di UCL dan satu lagi pernah bermain di kasta teratas Bundesliga”. Selesai.
ADVERTISEMENT
Padahal bila kita coba terapkan cara penulisan yang sama, akan terlihat bahwa sebetulnya para pemain asing Persija punya kualitas yang tak kalah bagus bila dibandingkan pemain naturalisasi.
Tidak percaya? Mari kita coba.
Hanno Behrens, dijuluki sebagai Fußballgott (dewa Sepak Bola) oleh sejumlah fans FC Nurnberg; pernah berhadapan Mbappe yang berseragam PSG; dan menjadi kapten untuk tim Nuremberg tersebut. Ondrej Kudela, masih membela Ceko dua tahun lalu saat berhadapan dengan Portugal; musim 2021 lalu, dia terpilih sebagai bek terbaik di Liga Republik Ceko; dan menjadi legenda hidup Slavia Praha. Abdullah Yusuf Helal, menjadi striker andalan timnas Bahrain hingga sekarang dan menjadi pemain Bahrain pertama yang mencetak gol di kompetisi UEFA. Michael Krmenčík, pernah beberapa kali menjadi andalan lini depan Cekoslovakia; sempat merepotkan Sergio Ramos, bahkan keduanya sampai bertukar jersei; dan pernah menjadi top skor Liga Republik Ceko.
ADVERTISEMENT
Dari satu paragraf di atas saja, keempatnya langsung tampil jauh lebih menarik daripada sekadar “pernah bermain di Eropa”.
Kesempatan Menaikkan Liga 1 yang Tersia-siakan
Di waktu bersamaan, tengah muncul diskursus baru di kalangan suporter sepak bola Indonesia yang kurang lebih menghasilkan anggapan bahwa sepak bola di liga Indonesia memiliki kualitas permainan buruk secara keseluruhan.
Anggapan ini kerap berdiri secara in absentia dengan para penggugatnya yang tak banyak menonton Liga 1 itu sendiri. Bahkan, salah satu pundit Indonesia, (lagi-lagi) Justinus Lhaksana, juga tak ragu untuk mengatakan bahwa dirinya tak pernah menonton Liga 1. Padahal dirinya kerap secara vokal menyatakan bahwa permainan Liga 1 tidak menarik baginya.
Bila demikian, bukankah anggapan tentang Liga 1 ini cenderung tidak masuk akal?
ADVERTISEMENT
Meski saya sendiri tidak menafikan bahwa anggapan ini juga punya unsur kebenaran di dalamnya, tetapi ia cenderung terlalu menggeneralisir.
Pada akhirnya, anggapan ini tak ubahnya ungkapan generalisir lainnya macam “film Indonesia cuman horor dan drama” yang tentu tidak benar.
Namun nasi sudah menjadi bubur dan pandangan sinis terhadap liga Indonesia sudah terlanjur muncul. Dan upaya untuk meyakinkan orang bahwa suatu hal tidak seburuk itu adalah dengan memperbaiki dan memberitahukannya ke khalayak yang lebih luas. Layaknya industri film Indonesia, yang meski masih meraba perlahan, mulai mendapatkan kepercayaan masyarakat dengan judul-judul seperti “Mencuri Raden Saleh” atau “Pengabdi Setan” yang bagus secara kualitas dan berhasil dalam branding.
Maka sekali lagi, sangat disayangkan ketika Persija di musim 2022/2023 sudah bagus secara kualitas, tetapi kurang baik dalam melakukan branding atas komposisi yang dimilikinya.
ADVERTISEMENT
Adakah ini disebabkan karena kesadaran para penonton Liga 1 sekadar bersifat kedaerahan? Bahwa mereka hanya menonton untuk klub mereka sendiri sehingga tak peduli bahwa liganya sedang mengalami ketidakpercayaan dalam skala besar?
Atau sebenarnya kesadaran menonton Liga 1 hanya sebatas untuk ajang taruhan, parlay lewat situs dan grup WhatsApp judi yang banyak berseliweran di media sosial?
Masih Bisa Diupayakan
Meski begitu, saya percaya bahwa upaya-upaya untuk menunjukan bahwa materi Liga 1 juga cukup baik belumlah tamat.
Layaknya, bunga layu yang kemudian tumbuh kembali, ada banyak nama-nama baru yang cukup harum untuk diberitakan kepada orang-orang. Bahkan mereka kini bermekaran di tempat-tempat lain, tak hanya Persija. Sehingga sesungguhnya kesempatan ini juga dimiliki oleh klub-klub Liga 1 yang lain. Maka saya sarankan kepada para klub maupun basis suporternya, sudah sepatutnya kalian angkat nama pemain-pemain berkualitas yang kini kalian miliki. Belajarlah untuk tidak mengulang kesalahan Persija dan jadikan ini fasilitas, alih-alih beban.
ADVERTISEMENT
Belum bisa? Mari saya ajarkan.
Thomas Doll, sang pelatih yang pernah menjuarai Intertoto Cup bersama SV Hamburg dan menjuarai liga Hungaria bersama Ferencváros itu masih menjadi pelatih Persija. Dimitris Kolovos, penyerang klub Sheriff Tiraspol yang pernah mengalahkan Real Madrid itu kini menjadi pemain Dewa United. Maciej Gajos, mantan punggawa timnas Polandia dan kapten Lechia Gdansk itu kini juga bermain di Persija. Jan Olde Riekerink, pelatih yang pernah meraih gelar juara bersama Galatasaray itu kini juga menjadi menukangi Dewa United. Pieter Huistra, pelatih yang telah berpengalaman di Eredivisie dan berhasil meraih juara di liga Uzbekistan itu juga sekarang menjadi pelatih Borneo FC dan siap menghadapi championship series.