Merayakan Perempuan, Feminisme, dan Indonesia

Atiyah Muthmainnah
Saya mahasiswi UIN Jakarta yang memiliki minat dalam kepenulisan serta memiliki antusiasme dalam mengembangkan diri.
Konten dari Pengguna
19 Desember 2023 14:25 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Atiyah Muthmainnah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumbef foto: AI Photo Generator
zoom-in-whitePerbesar
Sumbef foto: AI Photo Generator
ADVERTISEMENT
Merayakan perempuan adalah sebuah acara yang digelar 14 November 2023 di Istora Senayan yang dalam rangka untuk merayakan hari ibu nasional yang akan jatuh pada 22 Desember 2023. Tepat beberapa minggu lalu, acara ini dihadiri banyak tokoh perempuan berpengaruh seperti menteri PPPA yang kerap disapa ibu Bintang Puspayoga, Najwa Shihab, Rossa, Ayu Kartika Dewi, serta banyak perempuan hebat lainnya. Fokus dari acara merayakan perempuan ini tidak lain untuk memperlihatkan progres dan peran penting perempuan Indonesia sejauh zaman berkembang. Kata-kata berdaya, maju bersama, dan feminisme di Indonesia tidaklah jauh dari konsep acara ini.
ADVERTISEMENT
Merayakan perempuan tidak lain adalah sebuah bentuk feminisme yang mulai berkembang di Indonesia. Bashin dan Khan (2008:4) berpendapat bahwa feminisme didefinisikan sebagai suatu kesadaran akan penindasan terhadap perempuan dalam masyarakat, di tempat kerja dan di keluarga, serta tindakan sadar oleh perempuan untuk mengubah keadaan tersebut, sehingga bisa terjalin kehidupan yang harmoni atau setara antara laki-laki dan perempuan, tanpa adanya diskriminasi terhadap perempuan. Pendapat menurut Bashin dan Khan di atas adalah salah satu pengertian feminisme sebelum berkembang menjadi berbagai macam bentuk, teori, dan kegunaan dari feminisme sendiri. Dapat dikatakan, konsep awal dari feminisme adalah sebuah pemberdayaan perempuan untuk terlepas dari segala diskriminasi baik di sosial, budaya, ekonomi, agama, bahkan politik.
Sumber foto: AI Photo Generator
Di Indonesia sendiri, dinyatakan bahwa tokoh Raden Adjeng Kartini atau yang kerap dipanggil Ibu Kartini sebagai tokoh feminis pertama di Indonesia. Awal mulanya berasal dari surat-surat yang Kartini kirimkan kepada teman-temannya di Belanda. Surat-surat yang Kartini kirimkan tidak hanya mengeluhkan kondisi perempuan pribumi saat itu, tetapi juga mengenai kesetaraan gender dan kondisi sosial umum pada saat itu. Berkat surat-surat inilah, Kartini menerbitkan sebuah buku berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang” di buku ini berisikan surat-surat yang dikirimkan Kartini kepada teman-temannya di Belanda. Sekalipun surat-surat dari Kartini ini banyak yang dihancurkan untuk alasan dan kepentingan apapun itu. Harapan-harapan dan keluhan Kartini inilah yang menjadi pembuka untuk para perempuan di generasi selanjutnya, seperti tokoh Dewi Sartika. Dapat dikatakan bahwa para perempuan pada masa sebelum, semasa, dan sesudah dengan Kartini juga turut andil dalam pembebasan diskriminasi dan penjajahan.
Sumber foto: AI Photo Generator
Ketika jaman semakin berkembang, gerakan feminisme di Indonesia baru mulai didengar pada tahun 60-an yang mana pada masa orde lama, kemudian sempat meredup pada masa orde baru, dan mulai terdengar kembali saat awal reformasi. Gerakan-gerakan ini pun menjadi berkembang hingga saat ini dan kini feminisme Indonesia berarti gerakan yang hendak menghapuskan segala diskriminasi dan ketidakadilan yang tidak hanya untuk perempuan, tetapi juga laki-laki agar tercipta kondisi sosial yang damai. Perjuangan dari feminisme di Indonesia masih terus berjalan untuk mendapatkan apa yang hendak dicapai dari arti feminisme di Indonesia itu sendiri. Hal itu karena masih banyak tindak patriarki dan diskriminasi terhadap perempuan yang terjadi di lingkungan Indonesia. Isu feminisme di Indonesia sendiri masih berputar seperti kurangnya apreasiasi terhadap perempuan dalam berbagai aspek, perempuan yang masih sering dikaitkan sebagai objek hingga kondisi sosial yang masih banyak menyudutkan dan menekan perempuan. Masih banyak yang menganggap bahwa perempuan hanya dapat menjadi seorang ibu, menjadi sosok yang hanya dapat berdiri di belakang lelaki. Juga kurangnya kebebasan bagi seorang perempuan untuk melanjutkan pendidikan adalah hal yang krusial yang kerap kali terjadi dalam lingkungan sosial di Indonesia. Istilah-istilah bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi menekan generasi perempuan untuk berkembang, kemudian bahwa perempuan tidak boleh jauh dari rumah karena hanya akan merepotkan, dan kurangnya kepercayaan kepada sosok dari perempuan karena dipandang lemah, dipandang tidak bisa berpikir lurus, tidak bisa diandalkan adalah contoh-contoh pemikiran yang menekan pergerakan perempuan untuk berkembang.
Sumber foto: AI Photo Generator
Ketidakseimbangan yang terjadi dalam sebuah lingkup sosial jugalah yang dapat mendorong kepada kemunduran lingkup sosial tersebut. Perempuan perlu disekolahkan agar perempuan dapat bertumbuh, berkembang, dan menciptakan keseimbangan dalam sosial. Agar tidak ada lagi romantisme perempuan yang seutuhnya adalah perempuan yang sudah menikah, yang punya anak, yang memasak makanan lezat, yang cantik, dan yang lain sebagainya. Pendidikan menjadi hal yang amat-sangat diperlukan untuk mengedukasi tidak hanya perempuan, tetapi juga lelaki dan semua kalangan. Dewasa ini, sudah banyak program-program baik dari pemerintah maupun lembaga-lembaga lain yang menyuarakan dan merealisasikan bantuan pendidikan untuk anak-anak laki-laki dan perempuan. Juga berbagai penyuluhan yang dilakukan untuk mengedukasi masyarakat betapa pentingnya kesetaraan ini, seperti halnya kebebasan dalam meraih cita-cita, peran penting pengasuhan dari seorang laki-laki sehingga pengasuhan anak tidak hanya dipegang sepenuhnya oleh perempuan, dan juga peran kepemimpinan yang tidak hanya boleh dipegang oleh laki-laki saja.
ADVERTISEMENT
Perkembangan dari perempuan di Indonesia sendiri selain dari kekurangannya, munculnya tokoh-tokoh perempuan dahulu dan sekarang juga perempuan mulai bisa menjadi seorang pebisnis, guru, menteri bahkan presiden adalah bentuk bahwa pergerakan perempuan atau feminisme sudah mulai berjalan, walau belum sampai puncaknya. Masih banyak PR yang perlu dilaksanakan untuk mencapai di mana perempuan-perempuan mencapai kebebasan dan kesetaraan yang baik di masa depan nanti. Sekalipun sepertinya kesetaraan gender terdengar sangat utopis di Indonesia. Acara seperti “Merayakan Perempuan” dan hari ibu tanggal 22 Desember nanti yang dapat mengingatkan kembali bahwa perjuangan perempuan di Indonesia masih harus terus dilanjutkan. Diharapkan di era modern ini para perempuan dapat terus berjuang untuk kebebasan dan kesetaraannya dalam sosial, budaya, ekonomi dan berbagai aspek lain dalam kehidupan.
ADVERTISEMENT
Daftar Pustaka/Sumber:
Jangan Main-Main dengan Kelaminmu: Antara Wacana Seksualitas dan Feminisme. Mabasan, 9(No. 1).
ITK. (2023). Rangkaian Peringatan Hari Ibu Ke-95: Merayakan Perempuan untuk Berbagai Profesi dan Kalangan. https://www.mnctrijaya.com/news/detail/63433/rangkaian-peringatan-hari-ibu-ke-95-merayakan-perempuan-untuk-berbagai-profesi
Suhada, D. N. (2021). Feminisme dalam Dinamika Perjuangan Kesetaraan Gender di Indonesia. Indonesian Journal of Sociology, Education, and Development, 3(1), 15--27.
Yunazar, F. M. (2021). Perjalanan Feminisme Indonesia dan Tokoh Dibaliknya. https://communication.binus.ac.id/2019/01/03/perjalanan-feminisme-indonesia-dan-tokoh-dibaliknya/