Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.1
Konten dari Pengguna
3 Konsekuensi No-Deal Brexit Bagi Indonesia
7 April 2019 8:48 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
Tulisan dari Atu Yudhistira Indarto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Mendung kelabu yang sering menghiasi langit Inggris tampaknya juga menyelimuti Pemerintah Inggris saat ini. Pada 29 Maret 2019, proposal kesepakatan Brexit (British Exit – Brexit) dengan Uni Eropa (UE) kembali ditolak parlemen Inggris untuk ketiga kalinya.
ADVERTISEMENT
Kesepakatan itu seyogyanya akan mengatur hubungan Inggris dengan UE setelah meninggalkan Uni Eropa. Dengan terus ditolaknya proposal kesepakatan oleh parlemen Inggris, Inggris terancam meninggalkan UE tanpa perjanjian apapun (no-deal).
Proses Brexit menuju No-Deal
Referendum untuk memutuskan status masa depan Inggris di UE pada 23 Juni 2016 telah menghasilkan Inggris akan keluar dari UE (Brexit). Guna menjembatani proses Brexit, Pemerintah Inggris dan UE telah memulai proses negosiasi perjanjian pada 29 Maret 2017.
Perjanjian tersebut akan menjadi dasar hukum proses peralihan di berbagai sektor kehidupan yang terdampak sebagai konsekuensi keluarnya Inggris dari UE.
Proses negosiasi perjanjian seharusnya berlangsung paling lama 2 tahun hingga 29 Maret 2019. Namun sampai batas akhir waktu, secara internal, pihak Inggris gagal menyetujui proposal kesepakatan Brexit untuk diajukan ke UE.
ADVERTISEMENT
Parlemen Inggris tiga kali menolak usulan yang diajukan pemerintah, yaitu pada 15 Januari 2019, 12 Maret 2019, dan 29 Maret 2019. Saat penolakan parlemen yang kedua, Pemerintah Inggris telah mengajukan perpanjangan tenggat waktu Brexit menjadi 12 April 2019 yang disetujui oleh pihak UE.
Atas penolakan parlemen yang ketiga, pada 5 April 2019, PM Inggris, Theresa May, menyurati Presiden Konsil UE, Donald Tusk , untuk meminta perpanjangan deadline kedua hingga 30 Juni 2019. Permohonan ini akan dibahas dalam Pertemuan Tingkat Tinggi (Summit) UE pada 10 April 2019.
PM Inggris menegaskan akan berusaha maksimal untuk memastikan Inggris meninggalkan UE dengan perjanjian. “Saat ini pilihan kita hanya meninggalkan UE dengan kesepakatan atau tidak keluar sama sekali. Jawaban saya jelas, kita harus menjalankan pilihan Brexit dan untuk itu kita harus menyetujui sebuah kesepakatan. Saya akan ke Brussels minggu ini guna meminta perpanjangan tenggat waktu untuk raih kesepakatan,” terang PM May.
Namun, hingga tulisan ini dibuat, belum ada tanggapan positif dari pihak UE. Seperti diberitakan media CNN, dalam pertemuan persiapan Summit oleh Duta Besar negara anggota UE, tanggapan negara-negara sangat beragam namun minim dukungan atas permintaan Inggris. Dengan demikian, kemungkinan no-deal Brexit masih terbuka lebar.
ADVERTISEMENT
Konsekuensi apabila kondisi no-deal Brexit terjadi akan sangat berat bagi Inggris maupun UE secara umum. Salah satu dampaknya adalah terkendalanya arus lalu lintas barang dan orang antara UE dan Inggris.
Terhambatnya arus lalu lintas barang tersebut akan membawa dampak negatif tidak hanya bagi produsen Inggris atau UE yang memasarkan produknya, namun juga bagi kedua produsen yang membutuhkan bahan baku baik dari wilayah Inggris atau UE.
Konsekuensi No-Deal Brexit bagi Indonesia
Bagi Indonesia, ketiadaan perjanjian keluarnya Inggris dari UE akan menimbulkan setidaknya 3 konsekuensi.
Pertama, Otoritas perekonomian Indonesia harus mewaspadai dampak negatif no-deal Brexit bagi perekonomian Indonesia. Jika skenario no-deal Brexit terjadi, Bank Sentral Inggris memperkirakan Produk Domestik Bruto (PDB) Inggris dapat turun 8%, tingkat pengangguran naik menjadi 7,5%, inflasi naik ke 6,5%, harga rumah naik 30%, dan mata uang poundsterling terdepresiasi hingga 25%.
ADVERTISEMENT
Sejumlah studi lainnya seperti yang dilakukan Center for European Reform, IMF, dan JP Morgan juga menunjukkan hal senada yang memprediksikan PDB Inggris akan melemah sekitar 1%-2%. Menurut Bank Sentral Inggris, situasi ini dapat memicu resesi ekonomi Inggris yang lebih buruk jika dibandingkan dengan krisis keuangan tahun 2008.
Dengan posisi Inggris sebagai ekonomi terbesar ke-5 di dunia, situasi no-deal Brexit potensial mengancam kestabilan perekonomian regional Eropa dan pada akhirnya perekonomian dunia.
Perekonomian Indonesia juga dapat turut terdampak mengingat Inggris merupakan salah satu mitra utama perdagangan dan investasi asing Indonesia. Untuk itu, Pemerintah Indonesia perlu menyiapkan dan mengambil langkah-langkah mitigasi agar dampak negatifnya tidak terlalu dirasakan oleh perekonomian Indonesia.
ADVERTISEMENT
Kedua, Pemerintah Indonesia perlu melakukan peninjauan menyeluruh atas berbagai kesepakatan antara UE dan Indonesia serta Inggris dan Indonesia. Hal ini dibutuhkan guna menyesuaikan kekosongan kerangka hukum akibat dampak no-deal Brexit.
Langkah ini sudah dimulai oleh kedua pihak dengan ditandatanganinya the Forest Law Enforcement, Governance and Trade Voluntary Partnership Agreement (FLEGT-VPA) oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, Siti Nurbaya; dan Duta Besar Inggris untuk Indonesia, Moazzam Malik, pada 29 Maret 2019.
Perjanjian FLEGT VPA adalah perjanjian antara Indonesia dengan UE yang mengatur tentang ekspor kayu legal Indonesia ke negara Eropa termasuk Inggris. Menurut Dino Kusnadi, Direktur Eropa 1 Kementerian Luar Negeri RI, perjanjian FLEGT dengan Inggris merupakan replikasi perjanjian yang sama dengan UE guna memastikan agar ekspor kayu ke Inggris tidak terganggu setelah Brexit.
ADVERTISEMENT
"Sekiranya Inggris keluar dari Brexit, agar tidak ada hambatan-hambatan dalam proses penyaluran kayu legal, maka kita lakukan replikasi perjanjian," jelas Dino.
Konsekuensi ketiga adalah Pemerintah Indonesia harus proaktif untuk mengambil peluang yang ditimbulkan no-deal Brexit. Langkah ini juga sekaligus memanfaatkan momentum 70 tahun hubungan bilateral Indonesia-Inggris yang jatuh pada tahun 2019.
Kemunculan Inggris sebagai pasar tersendiri yang terpisah dari pasar UE membuka peluang bagi Indonesia untuk menegosiasikan kesepakatan perdagangan yang lebih menguntungkan, serta mendorong peningkatan investasi Inggris.
Di samping itu, kemunculan Inggris sebagai pasar yang mandiri harus dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh produsen Indonesia untuk secara langsung mengekspor produknya ke Inggris, tanpa transit dulu di wilayah UE lainnya.
ADVERTISEMENT
Saat acara inaugurasi peringatan 70 tahun hubungan Indonesia-Inggris, Wakil Menteri Luar Negeri (Wamenlu) RI, A.M. Fachir, menyampaikan bahwa di masa 70 tahun hubungannya, kedua negara sedang mencoba membangun hubungan perdagangan yang saling menguntungkan, meningkatkan investasi dan ekspor, serta memperluas kerja sama di bidang lainnya.
Pada kesempatan yang sama, Duta Besar Inggris untuk Indonesia, Moazzam Malik, juga menegaskan prospek hubungan kedua negara yang tetap baik setelah Brexit. Walau mengakui akan ada dampak Brexit dalam jangka pendek, namun hubungan dengan Indonesia dipastikan akan terus baik.
“Untuk jangka pendek pasti ada beberapa ketidakpastian. Pasti ada beberapa dampak ke perekonomian. Tapi hubungan Indonesia-Inggris adalah prospek untuk jangka panjang,” tegas Malik.
ADVERTISEMENT
Dengan bersiap-siap mengantisipasi efek negatif no-deal Brexit serta proaktif memanfaatkan peluang baru yang terbuka akibat no-deal Brexit, apapun hasil final dari negosiasi Inggris dengan UE, Indonesia dapat tetap mengambil keuntungan.