Reisverhaal: Crowdfunding, Ambon dan Asa untuk Kembali

Audrey Marianne
Unexpected
Konten dari Pengguna
12 Mei 2020 20:27 WIB
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Audrey Marianne tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Saya orang Ambon, tapi belum pernah ke Ambon. Kurang lebih itu yang kebanyakan orang tahu soal saya. Di kantor, saya dicengin oleh beberapa orang, termasuk Mas Catur (dulu), karena belum pernah ke Ambon. Sementara dia, sudah pernah. Kenapa saya belum pernah ke Ambon? Ada alasan di balik itu, mungkin bisa ditulis di lain story (kalau ga malas). Untuk yang sudah pernah ke Ambon, mereka berkisah kalau tanah Maluku adalah tanah yang indah. Cerita-cerita yang sama persis dilagukan oleh beberapa orang di keluarga besar saya, yang pernah kesana. Pantai yang indah, suasana kekeluargaan, dan hari-hari yang indah di kampung halaman. Saya, yang belum pernah ke Ambon, tak disangka mendapat kesempatan untuk pergi kesana. Bagaimana ceritanya? Ini semua bermula dari seorang tukang becak. Ada yang masih ingat soal Pak Rasilu? Seorang tukang becak yang tertimpa musibah, mengakibatkan penumpangnya meninggal saat perjalanan ke rumah sakit. Kisah naasnya dibuatkan campaign crowdfunding untuk membantu sang anak, Aisa, bersekolah lagi, di saat ayahnya mendekam di penjara di Ambon. Campaign ini berhasil mengumpulkan Rp 700 juta dalam waktu 7 hari saja. Dengan uang sebesar ini, bukan hanya Aisa yang bisa kuliah, tapi biaya pendidikan keempat adiknya terjamin. Wow! Setelah donasi terkumpul, saya ditugaskan mengawal penyerahan donasi dari Jakarta ke Pulau Buton. Bukan itu saja, saya ditugaskan mengawal istri Pak Rasilu untuk menjenguk beliau, di Ambon. Reaksi pertama, senang banget. Saya bisa mengerjakan campaign ini sampai selesai, sekaligus menyaksikan pertemuan keluarga yang telah lama tak jumpa. Saya langsung membayangkan potongan adegan yang nantinya akan terjadi, dan bagaimana bisa dituangkan ke dalam cerita. Reaksi yang selanjutnya datang, bingung. Entah perasaan apa yang hinggap, sampai-sampai saya bingung menjelaskan perasaan akan singgah di Ambon. Kota itu tidak pernah menjadi bagian hidup saya hingga saat itu, tapi satu yang pasti, saya dan segenap leluhur yang merantau adalah bagian dari tanah itu. Day 1: Bau-Bau Tak usah saya ceritakan betapa bosannya transit 9 jam di Bandar Udara Sultan Hasanudin dan menegangkannya naik pesawat ATR. Sampai di Bau-Bau, kami langsung memanfaatkan waktu dengan mencari makanan khas Bau-Bau. Seperti kota pesisir pada umumnya, makanan hanya terdiri dari ikan, ikan dan ikan. Ada sih, rumah makan padang, tapi makanannya ga pedas sama sekali.
Saat transit di Makassar. Dok: pribadi
Sunset di Bau-Bau. Dok: pribadi
Day 2: Buton Kami menyeberang dengan kapal feri, dilanjutkan dengan perjalanan darat dengan mobil selama kurang lebih 2 jam. Jalan berkelok khas perbukitan membuat kami semua mual.
Pemandangan di geladak kapal fery menuju Pulau Buton. Dok: pribadi
Airnya biru, jernih. Dok: pribadi
Sampai di rumahnya, hanya ada Ibu Wa Oni dengan anak-anaknya. Aisa, sang penerima bantuan, masih sekolah. Saya menjelaskan beberapa hal seputar mekanisme penyerahan dana, dilanjutkan dengan Darin, si reporter, yang menggali lebih dalam cerita kehidupan keluarga sederhana ini. Irfan membidik momen-momen dengan kamera kecilnya. Tak lama, Aisa pulang. Kami juga mewawancarai Aisa dan mengambil beberapa foto untuk dokumentasi laporan penyerahan dana.
On duty. Dok: pribadi
Setelah selesai, kami sampaikan bahwa Ibu Wa Oni akan ikut kami ke Ambon untuk mengunjungi sang suami. Ibu Wa Oni sempat speechless, tapi kemudian bersiap untuk pergi ditemani iparnya. Day 3: Ambon Menjelang naik pesawat ke Ambon, saya tidak sadar kalau saya gugup. Mixed feeling, mungkin itu tepatnya. Saya orang Ambon, belum pernah sama sekali ke Ambon, sama sekali tidak bisa bicara dengan bahasa tanah. Niat hati ingin bilang saya dari India saja (karena banyak yang bilang saya mirip JP Millenix) tapi physical appearance saya Ambon banget. Hitam, rambut keriting, badan besar, suara lantang.
Mama-mama di Pantai Natsepa yang mirip deng tante saya. Dok: pribadi.
Begitu keluar pesawat di Bandar Udara Pattimura, gugup saya hilang. Saya ga pernah sangka, Ambon tidak seasing yang saya pikir. Justru semuanya terlihat... familiar. Saya merasa di rumah, melihat orang-orang dengan raut muka yang sama seperti saya, bicara lantang seperti tante-tante saya di rumah, punya kebiasaan seperti oma saya. I was saying, man, it's good to be home. Ga pernah menyangka saya akan bilang begitu untuk sebuah kota yang begitu asing. Sisa hari itu menyenangkan. Kami mencari makan malam di pasar, makan ikan segar. Day 4: Ambon Pagi hari kami standby di depan lapas untuk menjenguk Pak Rasilu. Ini juga pengalaman pertama saya masuk ke penjara, sementara Darin dan Irfan pasti sudah sering dapat tugas liputan seperti ini. Saya yakin, pertemuan hari ini akan emosional. Dan benar saja. Saya mengusap mata berkali-kali saat Pak Rasilu bertemu dengan keluarganya. Padahal saya sedang ditugaskan Irfan memegang kamera untuk keperluan video.
Menunggu jadwal besuk di lapas. Dok: Irfan
Day 5: Last day Setelah mengantar Ibu Wa Oni jam 6 pagi kembali ke Buton, saya mengajak supir untuk mencari tempat oleh-oleh. Saya memborong sagu lempeng, roti kenari, roti bagea, dan minyak kayu putih khas Ambon. Sebelum ke bandara, kami memutuskan untuk pergi ke pantai Natsepa. Karena saya ingat kata mas Catur," Kalo nanti kamu ke Ambon, jangan lupa makan rujak disana. Makan rujak di pinggir pantai, enak banget lho. Pakai kenari, lagi." ujarnya. Maka, berkunjunglah kami kesana. Hanya 30 menit, hanya foto-foto. Kami tidak sempat makan rujak karena kios masih tutup, dan akhirnya pulang karena buru-buru mengejar pesawat.
Pantai Natsepa. Dok: pribadi
Darin dan Irfan, tim liputan crowdfunding yang minimalis dan gercep. Dok: pribadi.
Pantai Natsepa. Dok pribadi.
Sebagian hati rasanya tak ingin pulang, masih ingin di Ambon. Untuk mengobati kangen saya akan Ambon, saya bawa beberapa penganan ke rumah. Membawa secuil Maluku ke meja makan, ada sagu lempeng, ikan asar, dan ubi rebus. Lalu, ngemil teh manis panas dan roti kenari. Haha, Ambon banget!
Secuil Ambon di meja makan. Dok. pribadi
Perjalanan saya ini terjadi karena sebuah pekerjaan, yang saya lakukan setiap hari selama kurang lebih 3 tahun belakangan. Saya bersyukur pernah mengawal campaign ini, memberi harapan bagi Aisa untuk kembali sekolah. Campaign ini memberi harapan bagi keluarga Pak Rasilu bahwa selalu ada hikmah di balik semua cobaan. Perjalanan ini juga memberi makna tersendiri bagi saya, si orang Ambon rantau, yang belum pernah datang ke tanah leluhurnya. Tapi kali ini, Ambon tidak lagi se-asing itu. Dan saya harap, saya bisa kembali mengunjungi kota itu lagi.
ADVERTISEMENT