Konten dari Pengguna

Meritokrasi Dalam Bayang-bayang Mediokrasi

Aulia Firmansyah
HR Practitioner, bekerja di perusahaan yang bergerak di bidang suku cadang otomotif. Lulusan S1 Hukum Universitas Padjadjaran dan Lulusan S2 Hukum Bisnis di Universitas Indonesia. Berpengalaman di Litigasi PPHI dan Memiliki Setifikasi BNSP MSDM
20 Agustus 2024 7:44 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aulia Firmansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi dari AI Art Generator, ChatGPT
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi dari AI Art Generator, ChatGPT
ADVERTISEMENT
Bayangkan sebuah dunia di mana seorang atlet diikutsertakan dalam Olimpiade bukan karena kompetensi yang teruji dari satu kompetisi kredibel ke kompetisi lainnya, tetapi karena kisah hidupnya yang mengharukan. Atau, seorang kontestan Miss America menang bukan karena standar lazim dalam tradisi panjang kontes kecantikan, tetapi karena dia memenuhi kriteria yang bias dan membingungkan. Inilah realitas yang kita hadapi ketika meritokrasi, sebuah sistem yang seharusnya menghargai kompetensi dan prestasi, tergelincir ke dalam krisis.
ADVERTISEMENT
Mediokritas yang Diangkat, Inovasi yang Ditinggalkan
Dalam praktik yang ideal, individu yang paling kompeten dan berprestasi mendapatkan kesempatan untuk bersinar dan memimpin. Namun, ketika meritokrasi mulai dikesampingkan, dan mediokritas (rata-rata yang biasa-biasa saja) menjadi pilihan, kita menyaksikan perubahan nilai yang meresahkan. Alih-alih mendorong yang terbaik untuk maju, kita menciptakan ruang bagi yang biasa-biasa saja untuk mendominasi, sering kali dengan alasan "hak untuk tampil" atau "kesetaraan kesempatan."
Contoh nyata dari fenomena ini dapat dilihat dalam kasus Raygun di Olimpiade. Raygun bukanlah atlet yang memiliki sederet prestasi dan kompetensi yang teruji. Meskipun secara akademis ia memiliki pengakuan keahlian, namun tidak teruji layaknya atlet yang berlaga di ajang internasional, yang jatuh bangun dari satu kompetisi ke kompetisi lain dan bersaing untuk membuktikan keandalannya. Alasan mengapa ia dimajukan ke panggung internasional adalah kisah hidupnya yang penuh empati. Alih-alih menghargai prestasi atletik, keputusan ini didasarkan pada narasi emosional, mengaburkan batas antara penghargaan untuk prestasi dan simpati. Akibatnya, atlet yang lebih kompeten tetapi tanpa latar belakang cerita yang memikat, kehilangan kesempatan untuk berkompetisi di level tertinggi.
ADVERTISEMENT
Kasus serupa tapi tak sama terjadi dalam kontes Miss America yang dimenangkan oleh Brian Nguyen, yang seorang transgender. Kemenangan Nguyen mengundang kontroversi karena standar penilaian yang bias dan membingungkan. Seorang transgender memenangkan kontes Miss America bukan karena keunggulan yang nyata, tetapi karena standar yang tidak konsisten. Ini menggarisbawahi bagaimana mediokritas bisa menang dalam sebuah kompetisi ketika standar umum dan meritokrasi diabaikan.
Mengapa Mediokritas Merusak?
Ketika mediokritas dipilih dan didahulukan tanpa melihat prestasi dan kompetensi, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh individu yang kalah bersaing, tetapi oleh seluruh masyarakat. Inovasi terpinggirkan karena orang-orang yang paling berpotensi untuk membawa perubahan tidak mendapatkan dukungan yang mereka butuhkan. Tanpa persaingan yang sehat, yang didorong oleh keinginan untuk mencapai keunggulan, kemajuan masyarakat melambat, bahkan berhenti.
ADVERTISEMENT
Lebih buruk lagi, budaya ini memicu ketidakpercayaan dan sinisme di antara masyarakat. Mereka yang bekerja keras dan berprestasi mulai merasa bahwa usaha mereka tidak dihargai, menciptakan iklim di mana kepuasan terhadap mediokritas menjadi norma. Pada akhirnya, kita melihat penurunan standar dalam berbagai bidang—dari pendidikan, bisnis, hingga politik—yang mengancam keberlanjutan jangka panjang masyarakat itu sendiri.
Kisah Raja Telanjang
Dalam kisah legendaris H.C. Andersen, "Raja Telanjang," seluruh kerajaan terjebak dalam kebohongan yang mereka tahu salah, tetapi tidak ada yang berani mengatakannya. Semua orang terlibat dalam penipuan kolektif, berpura-pura memuji pakaian raja yang sebenarnya tidak ada. Baru setelah seorang anak kecil dengan polosnya berkata, “Raja telanjang,” kenyataan menjadi jelas bagi semua.
Kisah ini relevan dalam konteks kita saat ini. Ketika meritokrasi tergeser oleh mediokritas, kita menjadi seperti warga kerajaan yang ragu mengkritik hal yang tidak benar karena takut menyimpang dari norma yang telah diterima. Kita terperangkap dalam ilusi bahwa semua orang berhak tampil terlepas dari kompetensi mereka, hingga lupa bahwa masyarakat yang sehat harus mendorong yang terbaik untuk maju.
ADVERTISEMENT
Seperti dalam kisah Raja Telanjang, kita membutuhkan keberanian untuk melihat kenyataan apa adanya dan mengakui bahwa mengabaikan prestasi dan kompetensi demi kepentingan mediokritas adalah jalan menuju kemunduran. Kita harus kembali kepada prinsip-prinsip meritokrasi, di mana yang terbaik dan paling inovatif diberikan kesempatan untuk memimpin, mendorong kita semua ke depan. Hanya dengan demikian, kita dapat mencegah terjadinya "decaying society" dan memastikan bahwa masa depan kita dibangun di atas fondasi yang kuat dan berkelanjutan.