Konten dari Pengguna

Doktrin Lammy dan Kebijakan Luar Negeri Partai Buruh Inggris

Adrian Aulia Rahman
Mahasiswa S1 Ilmu Sejarah Universitas Padjajaran - Tertarik dengan isu-isu hubungan internasional, politik domestik dan sejarah
9 Juli 2024 11:05 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Adrian Aulia Rahman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pemimpin partai Buruh Inggris Keir Starmer memberikan keterangan saat merayakan kemenangannya dalam Pemilu Inggris 2024 di Tate Modern, London, Inggris, Jumat (5/7/2024). Foto: Suzanne Plunkett/ REUTERS (KumaranNEWS)
zoom-in-whitePerbesar
Pemimpin partai Buruh Inggris Keir Starmer memberikan keterangan saat merayakan kemenangannya dalam Pemilu Inggris 2024 di Tate Modern, London, Inggris, Jumat (5/7/2024). Foto: Suzanne Plunkett/ REUTERS (KumaranNEWS)
ADVERTISEMENT
Tak seperti di Indonesia, narasi dan janji ‘perubahan’ disambut antusias di Inggris dengan kemenangan Partai Buruh sebagai buktinya. Narasi perubahan di Indonesia hanya direpresentasikan dengan 23 persen suara, sedangkan di Inggris Partai Buruh -yang mengusung ide perubahan- mendapatkan kemenangan telak atas rivalnya, Partai Konservatif. Sebuah pukulan yang begitu menyakitkan bagi Rishi Sunak dan seluruh anggota Tory. Ketua Partai Buruh, Keir Starmer, secara otomatis akan menjadi formatur kabinet dan membentuk pemerintahan. Sebuah kemenangan manis bagi Partai Buruh setelah menjadi oposan selama 14 tahun.
ADVERTISEMENT
Starmer, sebagai perdana menteri baru, menghadapi tantangan yang penuh kompleksitas. Baik tantangan domestik maupun tantangan internasional menanti pemerintahan Partai Buruh. Kita tinggalkan tantangan domestik dan fokus pada tantangan global yang akan dihadapi Starmer. Dalam kebijakan luar negeri, kemenangan Partai Buruh memantik satu pertanyaan: kemana dan bagaimana arah politik luar negeri Inggris pasca-Sunak? Pertanyaan ini menarik, mengingat tantangan global yang dihadapi Inggris sangat tidak mudah. Masalah Rusia, Eropa daratan, koalisi Trans-atlantik, ancaman Tiongkok, hingga konflik Timur Tengah tak akan henti-henti menyambangi Downing Street 10, kediaman sang perdana menteri.
Merumuskan Tantangan
Tak salah kiranya apabila penulis membayangkan -secara imajiner- menjadi penasihat Starmer yang diminta merumuskan dan mendeskripsikan tantangan apa saja yang dihadapi oleh perdana menteri baru tersebut di dunia kita saat ini. Apabila kita melakukan pemetaan regional dengan bentangan peta dunia di depan kita, maka dengan mudah kita akan menunjuk kawasan Eropa Timur, kawasan Timur Tengah, dan Asia sebagai tempat bersemayamnya tantangan terbesar bagi Inggris. Sebelah timur Eropa masih menjadi ajang konfrontasi militer Rusia-Ukraina dan secara simbolik adalah tantangan paling hebat bagi koalisi Barat. Di Timur Tengah, konflik Israel-Palestina masih menjadi pusat perhatian global. Sedangkan di Asia, ambisi Tiongkok semakin menguat dalam mengkonfrontasi hegemoni Barat.
ADVERTISEMENT
Konflik Rusia-Ukraina belum memperlihatkan tanda usainya. Konflik ini akan tetap menyedot perhatian para pemimpin Eropa -termasuk Inggris- yang secara langsung menguji komitmen dukungan mereka terhadap Kiev. Partai Buruh, diwakili oleh menteri luar negeri bayangan, David Lammy dan menteri pertahanan bayangan, John Healey, yang menjadi pembicara dalam London Defence Conference pada 22 Mei lalu, tetap menegaskan dukungannya terhadap Kiev dan mententang agresivitas Rusia. Dalam komitmen untuk mendukung Kiev, analisis Lawrence Freedman dalam tulisannya di The Statesman benar adanya. Freedman menulis, kendati kampanye Partai Buruh menekankan pada perubahan (change), namun kebijakan luar negerinya cenderung melanjutkan kebijakan Partai Konservatif (continuity), yang dalam konteks dukungan ke Ukraina adalah benar adanya.
Masalah lainnya adalah konflik Israel-Palestina yang berkepanjangan. Konflik Israel-Palestina seakan terjebak dalam titik beku yang bahkan proposal yang diajukan Joe Biden pun sukar melelehkannya. Inggris dibawah kepemimpinan Tory dan Perdana Menteri Sunak, cenderung mendukung Israel secara non-kompromi. Kebijakan yang khas dari kaum konservatif. Namun Partai Buruh secara politis berkomitmen dan mendukung pembentukan negara Palestina merdeka dan mendukung gencatan senjata untuk mengakhiri konflik. Kebijakan ini adalah sebuah padu padan antara pragmatisme diplomatis dan komitmen terhadap nilai tentang perdamaian (peace) dan keteraturan global.
Demonstran mengikuti aksi solidaritas dengan Palestina, di tengah konflik yang sedang berlangsung antara Israel dan kelompok Islam Palestina Hamas, di London, Inggris, Sabtu (14/10/2023). Foto: Toby Melville/REUTERS (KumparanNEWS)
Masalah lain yang tak kurang pentingnya adalah masalah Tiongkok dan Asia secara umum. Tiongkok tetap menjadi ancaman paling berbahaya bagi koalisi Barat. Ambisi dominasi ekonomi ekstra-teritorialnya telah menjadi momok yang nyata bagi hegemoni Barat di kawasan, termasuk bagi Inggris. Dalam pidatonya di Fabian Society pada Januari lalu, sebagaimana yang terangkum dalam tulisan Francis Shin di Atlantic Council, menlu bayangan David Lammy mengatakan bahwa pemerintahan Partai Buruh akan mendasarkan kebijakannya kepada Tiongkok dalam prinsip 3C yaitu bersaing (compete), menentang (challenge), dan bekerja sama (cooperate). Prinsip 3C tersebut merupakan perpaduan antara pragmatisme dan prioritas keamanan dan nilai ideologis.
ADVERTISEMENT
“Doktrin Lammy” Sebagai Prinsip Kebijakan
Tiga tantangan besar yang dihadapi pemerintahan Starmer tersebut akan berusaha dihadapi oleh Partai Buruh dengan doktrin kebijakan yang dirumuskan oleh David Lammy. Lammy adalah menteri luar negeri kabinet bayangan, yang besar kemungkinan akan diangkat oleh Starmer sebagai menteri luar negeri. Ia akan menduduki jabatan yang ditinggalkan David Cameron. Dalam tulisannya yang berjudul The Case for Progressive Realism yang terbit di Foreign Affairs pada April 2024 lalu, Lammy memperkenalkan apa yang disebutnya sebagai realisme progresif.
Realisme progresif adalah sebuah pandangan yang berusaha mensintesiskan antara realisme politik -yang memandang politik dunia sebagaimana adanya- dengan idealisme dan keluhuran nilai. Tokoh yang menjadi referensi kebijakan dan doktrinnya ini adalah dua menteri luar negeri dari Partai Buruh, yakni Ernest Bevin yang menjadi menlu dalam Kabinet Atlee dan Robert Kook yang menjadi menlu dalam kabinet Blair. Bevin sebagai realis -bahkan imperialis- melihat dunia dalam konflik persaingan kekuatan global yang nyata saat Perang Dingin, karenanya ia sangat berperan dalam mengkonsolidasikan Inggris dalam koalisi Barat dan bergabung dalam aliansi militer NATO. Sedangkan Kook cenderung internasionalis yang berkomitmen pada nilai-nilai luhur dan universal global, karenanya ia sangat mendukung Protokol Kyoto dan menentang perang Blair di Irak tahun 2003 yang berimplikasi pada berhentinya ia sebagai menteri luar negeri.
ADVERTISEMENT
Sintesis antara kebijakan Bevin terhadap politik prioritas keamanan dan kesimbangan kekuatan dan kebijakan Kook yang internasionalis dan berorientasi pada idealisme nilai, oleh Lammy dinamakan sebagai realisme progresif. Dalam tulisannya, Lammy menegaskan bahwa, realisme progresif menganjurkan penggunaan cara-cara realis untuk mencapai tujuan progresif. Realisme progresif tidak dimaksudkan untuk menggunakan logika dan taktik realis dalam mengakumulasi kekuasaan, melainkan untuk mencapai tujuan-tujuan adil seperti komitmen perubahan iklim dan demokrasi.
Ilustrasi Inggris. Foto: Tomas Marek/Shutterstock (Sumber: KumparanBISNIS)
Doktrin Lammy ini berusaha mengawinkan dua paradoks antara realisme dan idealisme. Upaya ini serupa dengan apa yang dituangkan oleh Henry Kissinger dalam bab pertama bukunya, Diplomacy, tentang paradoks Amerika Serikat yang terjebak dalam tarik menarik antara kepentingan nasional yang sangat realis dan komitmen globalnya yang sangat idealis terutama yang terakomodir dalam ide Wilsonianisme. Lammy berusaha mempertemukan ide yang selalu bertentangan itu. Ada beberapa catatan penulis atas Doktrin Lammy yang tentu akan menjadi dasar kebijakan luar negeri Partai Buruh.
ADVERTISEMENT
Pertama, paradoksi akan selalu membayangi Doktrin Lammy. Betapapun besar usaha yang dikeluarkan Lammy untuk mengawinkan antara realisme dan idealisme, kedua pandangan itu tetaplah saling bertentangan. Problem yang mengikuti setelahnya adalah inkonsistensi kebijakan luar negeri yang menjadi buah dari paradoks tadi. Komitmen internasionalis yang betapapun tingginya akan selalu terjegal oleh kepentingan nasional yang realis. Dan tentu saja, sebagaimana lazimnya, kepentingan nasional akan berada di atas komitmen internasional.
Kedua, nihilnya ketegasan dalam kebijakan luar negeri Inggris. Doktrin Lammy akan membawa Inggris terombang-ambing dalam ketidaktegasan menempuh kebijakan. Di satu sisi Inggris akan terikat dengan orientasi kepentingan nasionalnya, sedangkan di sisi lain komitmen internasionalnya tak bisa dilepaskan sebagaimana yang tertuang dalam Doktrin Lammy. Ketidaktegasan ini berpeluang mengancam strategi dan arah langkah kebijakan politik luar negeri Inggris, dan yang paling buruk akan berimplikasi pada nihilnya hasil yang berusaha dituju kabinet Starmer dalam kebijakan luar negeri.
ADVERTISEMENT
Namun bagaimanapun gagasan Lammy yang menjadi doktrin ini adalah sebuah eksperimen yang tiada salahnya untuk coba diimplementasikan. Apabila buahnya adalah keberhasilan yang brilian, Doktrin Lammy ini akan menjadi doktrin baru dalam politik luar negeri yang akan dicontoh negara-negara lain untuk diterapkan.