Konten dari Pengguna

Ekspansi NATO ke Asia: Kesalahan Fatal Strategi Barat?

Adrian Aulia Rahman
Mahasiswa S1 Ilmu Sejarah Universitas Padjajaran - Politik, Sastra, dan Sejarah
22 Juli 2024 15:16 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Adrian Aulia Rahman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Aliansi militer terbesar dalam sejarah merayakan 75 tahun eksistensinya di Washington DC. Tepat 75 tahun lalu di kota yang sama, para pemimpin trans-atlantik menandatangani Washington Treaty yang menandai berdirinya NATO, North Atlantic Treaty Organization. NATO sebagai aliansi militer, secara eksistensial dimaksudkan guna membendung ancaman Komunisme Soviet yang saat itu menjadi ancaman geostrategis dan ideologis bagi Barat. Kebijakan containment Amerika dan pidato Iron Curtain Churchill tentang ancaman Soviet, menjadi jalan pembuka bagi terbentuknya aliansi militer terbesar dan terkuat dalam sejarah ini.
Sumber: Encyclopedia Britannica (Sumber: Kumparan - Sejarah dan Sosial)
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Encyclopedia Britannica (Sumber: Kumparan - Sejarah dan Sosial)
Namun ternyata sejarah tak mengizinkan Uni Soviet -sumber ketakutan Barat- untuk mempertahankan eksistensinya lebih dari tahun 1991. Uni Soviet bubar dan Barat tenggelam dalam euforia kemenangan, yang secara percaya diri digambarkan oleh Francis Fukuyama sebagai akhir dari sejarah (the end of history) dengan menangnya kapitalisme liberal Barat. Kendati ancaman yang menjadi sebab eksistensinya telah runtuh, NATO justru semakin mengepakkan sayap dominasinya ke Timur. Ancaman terbesar yang menjadi sebab eksistensinya hilang, namun NATO justru semakin kuat dan melebarkan cakupan keanggotaannya.
ADVERTISEMENT
Tak puas dengan cakupan dominasinya di Eropa, NATO berusaha menjajaki peluang mengibarkan benderanya di Asia. Mengguritanya tentakel kekuasaan NATO ke Asia akan menimbulkan beberapa implikasi yang akan berpeluang menciptakan ketidakstabilan kawasan bahkan krisis internasional.
Pangkal Tolak Ekspansi NATO ke Asia
Tantangan terbesar yang menakutkan bagi NATO di Asia adalah semakin menguatnya Tiongkok. Sebagaimana Rusia yang telah menjadi rival tunggal NATO di Eropa, Tiongkok berada dalam posisi dan status yang serupa dalam konteks geopolitik Asia. Dalam KTT Madrid 2022, negara-negara NATO menyebut Tiongkok-Rusia sebagai dua kekuatan yang akan melemahkan tatanan internasional berbasis aturan. Dua kekuatan besar yang kontra-Barat tersebut secara definitif sudah menjadi musuh aliansi trans-Atlantik. Dalam Komunike Brussel 2021 -sebagai pernyataan bersama anggota NATO- ditegaskan bahwa ambisi dan perilaku Tiongkok menjadi ancaman sistemik terhadap tatanan berbasis aturan dan keamanan aliansi.
Ilustrasi NATO. Sumber foto: Pixabay (Sumber: Kumparan -Sejarah dan Sosial)
Dalam pandangan para pemimpin NATO, Tiongkok tak ubahnya seperti monster Leviathan yang akan memporak-porandakan tatanan dunia yang dikuasai oleh Barat, kendati Barat secara eufemistik menyebutnya sebagai tatanan internasional yang berbasis aturan. Khotbah tentang keteraturan internasional, demokrasi, dan HAM menjadi basis legitimasi kecurigaan Barat terhadap Tiongkok. Namun sejatinya, ketakutan Barat terhadap Tiongkok adalah sepenuhnya persoalan geopolitik yang nir-moralitas. Kampanye moralistik tentang demokrasi, hak asasi manusia, dan aturan hukum hanya bungkus yang membalut kepentingan yang sejati: mengkerdilkan global power Tiongkok.
ADVERTISEMENT
Pengaruh geopolitik dan geoekonomi Tiongkok yang semakin meluas di Asia terutama, membuat Barat akan kehialangan hegemoninya di Asia, dan karenanya harus dicegah. Jepang menjadi negara yang paling khawatir akan ambisi ekstrateritorial Tiongkok. Oleh karenanya negara matahari terbit itu merasa perlu memiliki payung pengaman militer yang akan bisa membendung ambisi Tiongkok di kawasan. Pada 2023 lalu, Perdana Menteri Jepang, Fumio Kishida dan Sekretaris Jenderal NATO, John Stoltenberg dalam pernyataan bersamanya menegaskan bahwa keamanan Euro-Atlantik dan Indo-Pasifik saling terkait erat.
Pernyataan Kishida dan Stoltenberg tersebut mengindikasikan langkah awal ekspansi NATO di Asia. Menurut seorang peneliti China Institute of International Studies yang dikutip oleh Global Times, peningkatan kerjasama Jepang-NATO adalah untuk melawan ambisi Tiongkok di kawasan dan meningkatkan militerisme Jepang. Namun cara Jepang melihat Tiongkok sebagai ancaman strategis kawasan menjadi sebab dominan yang membuat Jepang membuka negaranya untuk menjadi ruang kepakan sayap kekuasaan NATO di Asia.
ADVERTISEMENT
Konektivitas kawasan juga akan melibatkan Korea Selatan, Australia, dan Selandia Baru dalam upaya ekspansi dan pelebaran NATO. Pengaruh NATO yang semakin kuat di Asia tidak akan membawa keamanan yang lebih mapan, justru sebaliknya akan meningkatkan ancaman ketidakstabilan kawasan karena posisi Tiongkok yang merasa terancam dengan ‘kepungan’ strategis rivalnya dengan kibaran bendera biru NATO yang menantang.
Langkah Strategis atau Langkah Tragis?
Rencana menancapkan pengaruh NATO di Asia telah memantik respon curiga dan penolakan lantang dari Tiongkok. Melalui juru bicara kementerian luar negerinya, Lin Jian, Tiongkok menyatakan keberatan atas gagasan pelebaran sayap kekuasaan NATO di Asia. Menurut Jian, ekspansi NATO di Asia hanya akan memprovokasi konflik dan konfrontasi yang akan merusak stabilitas kawasan. Pernyataan sang jubir menandai sinyal awal perlawanan sengit yang akan digalakkan Tiongkok apabila NATO berhasil melebarkan pengaruhnya ke Asia.
Ilustrasi Peta Jepang. Sumber: Pixabay (Sumber: Kumparan -Sejarah dan Sosial)
Ekspansi NATO ke Asia hanya akan memantik kecurigaan dan rasa tidak aman Tiongkok. Perimbangan kekuasaan Asia tak akan tercapai apabila NATO menghimpun negara mitranya -Jepang, Korsel, Australia, dan Selandia Baru- dalam satu payung pakta pertahanan di bawah NATO. Rasa terancam hanya akan membuat Beijing semakin agresif dalam menangkis setiap entitas yang dianggapnya sebagai sebuah ancaman nyata. NATO yang semakin hyperpower akan menihilkan balance of power di kawasan dan resiko perang menjadi nyata.
ADVERTISEMENT
Para pemimpin NATO tak belajar dari perang di Timur Eropa yang masih berkecamuk antara Rusia-Ukraina karena ambisi mereka melebarkan sayap kekuasaanya ke Timur. Rasa terancam membuat Moskow menyerang Ukraina untuk mengamankan kepentingan strategisnya. Mungkin casus belli yang menjadi alasan serangan Moskow tidak legitimate dalam kacamata hukum internasional modern, namun dalam logika raison d'etat ala Richelieu, tindakan Rusia sah untuk kepentingan nasionalnya. Ironi memang, namun inilah realita hubungan internasional yang menuntut kita menjadi seorang realis betapapun enggannya.
Tiongkok akan melakukan langkah yang serupa seandainya NATO melebarkan sayap kekuasaanya ke Asia. Konflik terbuka akan membuat kawasan menjadi tidak stabil dan berbagai kompleksitas akan menjadi implikasi dari konflik tersebut. Karenanya ekspansi NATO ke Asia tidak akan menjamin keamanan dan stabilitas kawasan, justru sebaliknya akan menambah resiko konflik kawasan. Karenanya ada beberapa catatan penulis terkait realita yang tersuguh ini.
ADVERTISEMENT
Pertama, pelebaran sayap kekuasaan NATO ke Asia adalah langkah kontra-produktif yang akan meruncingkan rivalitas dengan Tiongkok. Tiongkok akan merasa terancam secara geopolitik dan besar kemungkinan akan memilih kebijakan yang lebih agresif untuk menghalau ancaman yang nyata terpampang di depan pintunya itu. Negara-negara di sekitar Tiongkok yang berpeluang menjadi pijakan kekuasaan NATO di Asia tidak menutup kemungkinan akan bernasib sama seperti Ukraina.
Kedua, ekspansi NATO tiada lain adalah kepanjangan tangan dari dominasi Amerika Serikat di Asia. Tak bisa disangkal bahwa AS memiliki ambisi geopolitik di kawasan Asia, lebih lebar lagi di Indo-Pasifik. Kepentingan ini membuat Washington harus mengamankan dan memperkuat kedudukan pengaruhnya di Asia dengan memperlemah pengaruh rivalnya yaitu Tiongkok. AS menjadikan NATO sebagai salah satu media mengukuhkan dominasinya, dimana secara de facto AS adalah pemimpin aliansi trans-Atlantik. Logika raison d’etat sangat dominan memotivasi ambisi ini, kendati selalu dibalut dengan berbagai narasi ideal tentang demokrasi, HAM, dan hukum internasional.
ADVERTISEMENT
Ketiga, keseimbangan kekuasaan (balance of power) harus mengikat ambisi setiap pihak. Ditengah disfungsi tatanan internasional ideal Wilsonian, kita dipaksa untuk menjadi seorang realis. Perimabangan kekuasaan adalah jantung politik internasional dalam pandangan realis. Tidak salah mengikuti logika ini, daripada kita terhipnotis narasi idealisme moralistik yang sejatinya adalah cangkang yang membungkus politik kekuasaan semata. Keseimbangan antara kekuatan, dalam hal ini NATO yang menjadi simbol entitas kekuatan Barat di satu pihak dengan Rusia dan Tiongkok di pihak lain, harus tercapai. Ambisi ekstrateritorial dari para kekuatan besar ini harus dibendung untuk menjaga keseimbangan kekuasaan. Prinsip ini tidak hanya untuk Amerika dan sekutu-sekutunya dalam NATO, namun juga untuk Tiongkok dan Beijing.
Kesimpulan
Perluasan NATO ke Asia bukanlah langkah strategis yang menguntungkan bagi para anggotanya, bahkan berpeluang besar menjadi langkah tragis dari sebuah ambisi kekuasaan. Bukan pula untuk mencapai keamanan global. Tidak sama sekali. Sebaliknya, ambisi ini hanya akan memantik kecurigaan dan perlawanan sengit dari Tiongkok, sebagaimana yang dilakukan Rusia di Eropa Timur. Ditengah disfungsi idealisme tatanan global Wilsonian, penulis cenderung realis dalam hal ini dengan keyakinan bahwa: keseimbangan kekuasaan (balance of power) diperlukan untuk mencegah perang terbuka yang destruktif dan nihil manfaat.
ADVERTISEMENT