Konten dari Pengguna

Kamala Harris dan Karpet Merah Sejarah

Adrian Aulia Rahman
Mahasiswa S1 Ilmu Sejarah Universitas Padjajaran - Tertarik dengan isu-isu hubungan internasional, politik domestik dan sejarah
5 November 2024 15:39 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Adrian Aulia Rahman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Calon presiden AS Kamala Harris dan Calon presiden AS Donald Trump saat debat kedua Pemilu AS di National Constitution Center di Philadelphia, Amerika Serikat, Rabu (11/9/2024). Foto: Brian Snyder/REUTERS (KumparanNEWS)
zoom-in-whitePerbesar
Calon presiden AS Kamala Harris dan Calon presiden AS Donald Trump saat debat kedua Pemilu AS di National Constitution Center di Philadelphia, Amerika Serikat, Rabu (11/9/2024). Foto: Brian Snyder/REUTERS (KumparanNEWS)
ADVERTISEMENT
Pemilihan presiden Amerika Serikat tinggal menghitung hari. Dunia begitu mananti siapa yang akan menerima mandat rakyat dan menjadi suksesor Joe Biden di Gedung Putih. Gerak pendulum sejarah sedang menanti waktunya untuk berlabuh. Ragam pertanyaan fundamental tersemat dalam benak. Apakah suksesi kepemimpinan akan dimenangkan oleh Donald Trump ataukah Wakil Presiden Kamala Harris? Apakah Partai Demokrat mampu tetap memegang tali kendali di Gedung Putih? Ataukah justru rakyat Amerika merindukan kepemimpinan kontroversial Trump? Dan yang terpenting, apa dampak terpilihnya Harris ataupun Trump terhadap percaturan politik dunia?
ADVERTISEMENT
Mundurnya Joe Biden dari pencalonannya kembali, membuat hampir seluruh petinggi Partai Demokrat bersatu mendukung Wakil Presiden Kamala Harris. Mulai dari mantan ketua House of Representative Nancy Pelosi, pemimpin mayoritas Senat Chuck Schumer, Mantan Presiden Obama dan Bill Clinton, Mantan ibu negara Michelle Obama dan Hillary Clinton, dan tentu saja Presiden Biden dan First Lady Jill Biden, semuanya kompak bersatu di belakang Kamala Devi Harris.
Kamala Harris menjadi wajah dari optimisme Demokrat, setelah skeptisisme terhadap Joe Biden meningkat, terutama setelah debat perdananya dengan Trump. Hillary Clinton, pendahulu Harris sebagai calon presiden wanita dari Partai Demokrat 2016, menunjukkan optimisme dan harapan besar kepada Harris. Dalam artikel opininya yang terbit pada 23 Juli 2024 lalu, Clinton memberikan judul: How Kamala Harris Can Win and Make History. Nyawa dari tulisan Clinton tersebut adalah harapan dan keyakinan bahwa Demokrat akan tetap memegang kendali Gedung Putih dengan kemenangan Kamala Harris.
ADVERTISEMENT
Berbagai isu telah menjadi api penyulut perang narasi antara Trump dan Harris. Mulai dari isu imigran, aborsi, kepemilikan senjata, hingga politik luar negeri menjadi medan persaingan sengit berebut simpati pemilih. Siapapun yang ingin memahami dan mengikuti jalannya pemilihan presiden Amerika Serikat tahun ini, tidak akan kesulitan menggalinya di media online ataupun berbagai aplikasi sosial media yang tersedia. Sampai tulisan ini dibuat, kurang lebih dua hari lagi rakyat Amerika akan menentukan presiden barunya, tepatnya pada 5 November 2024. Akankah Kamala Harris mendapatkan momentum historisnya saat ini dan menghindarkan Amerika dari kepresidenan Trump yang suram? Ada beberapa catatan pribadi sebagai berikut.
Calon presiden dari Partai Republik dan mantan Presiden AS Donald Trump saat kampanye di Lititz, Pennsylvania, AS, Minggu (3/11/2024). Foto: Eloisa Lopez/REUTERS (KumparanNEWS)
Pertama, Trump adalah ancaman demokrasi. Awal masa kepresidenan Donald Trump telah memotivasi dua profesor Harvard, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, menulis sebuah buku berjudul How Democracies Die. Sebuah buku yang amat laris, yang menganalisis dengan basis historis dan teoritis yang mumpuni mengenai bagaimana sebuah sistem demokrasi mengalami deklinasi atau kemunduran. Trump dan berbagai gaya dan retorika politik anti-demokrasinya telah menjadi contoh kontemporer dari kajian Levitsky dan Ziblatt tersebut. Kecenderungan anti-demokrasi Trump tercermin dari indikator Perilaku Otoriter yang seluruhnya ada dalam perilaku Trump. Mulai dari penolakan terhadap aturan main demokrasi, menyangkal legitimasi lawan politik, minimnya toleransi dan mengajurkan kekerasan, hingga kesediaan membatasi kebebasan sipil dan media. Bahkan kecenderungan anti demokrasi Trump semakin menguat setelah peristiwa di Capitol Hill pada 6 Januari 2021, saat para pendukung fanatik Trump menghina dengan telanjang monumen fundamental dari demokrasi Amerika yaitu Kongres.
ADVERTISEMENT
Pendukung Presiden AS Donald Trump berkumpul di depan Gedung Capitol AS di Washington. Foto: REUTERS / Leah Millis (KumparanNEWS)
Kedua, ancaman menguatnya isolasionisme-unilateral. Kembali terpilihnya Donald Trump sangat besar kemungkinan berdampak pada penarikan diri Amerika dari kancah politik dunia. Lazim disebut isolaisonisme, kendati sejatinya tidak lebih dan tidak kurang adalah upaya unilateral dalam membentuk lanskap dan kebijakan luar negeri Amerika di dunia. Perilaku isolasionis atau unilateralis Trump tercermin dalam kebijakan ‘sembrononya’ saat menjabat sebagaimana termaktub dalam buku Bob Woodward berjudul Fear, misalnya saja saat menarik diri dari Perjanjian Iklim Paris, rencana mengakhiri kerjasama dengan Korea Selatan, skeptisismenya terhadap lembaga internasional sepert Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), dan kecondongannya pada gagasan dan kebijakan proteksionisme ekonomi. Menguatnya isolasionisme AS akan berdampak pada terciptanya ketidakseimbangan dunia dan semakin terkikisnya tatanan internasional liberal (International Liberal Order).
ADVERTISEMENT
Ketiga, terpecahnya aliansi Trans-Atlantik. Rasa-rasanya, Trump adalah presiden Amerika yang paling skeptis terhadap aliansi trans-atlantik. Ia adalah presiden yang cenderung menganggap NATO (Pakta Pertahanan Atlantik Utara) adalah organisasi pertahanan yang tak lagi relevan, terlebih apabila komitmen dana Amerika Serikat kepada pakta pertahanan tersebut melebihi komitmen negara anggota yang lain. Retorika anti-NATO dan kegamangan sikapnya atas konflik Rusia-Ukraina membuat awan mendung perpecahan aliansi trans-Atlantik membayangi begitu gelap jika Trump kembali terpilih. Karenanya masuk akal jika para pemimpin Eropa cenderung tidak menginginkan Trump kembali ke Gedung Putih, karena khawatir komitmen aliansi AS-Eropa melemah, bahkan raib. AS sendiri akan membayar harga yang mahal sekali apabila ikatan aliansi yang sudah sekian lama terjalin dengan Eropa tiba-tiba terputus.
ADVERTISEMENT
Beberapa catatan di atas bermuara pada satu harapan bahwa Kamala Harris akan memenangkan pemilihan presiden. Harris diharapkan bisa meredam disintegrasi domestik dan membawa berbagai misi dan komitmen perdamaian global tanpa hipokrisi. Kita berharap, Amerika dan dunia akan lebih baik apabila Harris -dan bukan Trump- yang pada 20 Januari 2025 akan mengucapkan sumpah: I do solemnly swear that I will faithfully execute the Office of President of the United States, and will to the best of my ability, preserve, protect, and defend the Constitution of the United States. Apakah sejarah akan menggelar karpet merahnya untuk Kamala Harris sebagai presiden perempuan pertama Amerika Serikat? Rakyat Amerika Serikat yang akan memutuskan.
ADVERTISEMENT