Konten dari Pengguna

Menyoal Pidato Politik Luar Negeri David Cameron

Adrian Aulia Rahman
Mahasiswa S1 Ilmu Sejarah Universitas Padjajaran - Tertarik dengan isu-isu hubungan internasional, politik domestik dan sejarah
28 Mei 2024 11:12 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Adrian Aulia Rahman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Menteri Luar Negeri Inggris David Cameron berjalan dari Kantor Luar Negeri, Persemakmuran dan Pembangunan (FCDO) untuk menghadiri rapat kabinet di 10 Downing Street di pusat kota London pada 5 Desember 2023. Foto: Ben Stansall / AFP (Sumber: Kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Luar Negeri Inggris David Cameron berjalan dari Kantor Luar Negeri, Persemakmuran dan Pembangunan (FCDO) untuk menghadiri rapat kabinet di 10 Downing Street di pusat kota London pada 5 Desember 2023. Foto: Ben Stansall / AFP (Sumber: Kumparan)
ADVERTISEMENT
Partai Konservatif masih berkuasa di Inggris. Setelah pengunduran diri Perdana Menteri Liz Truss, Rishi Sunak -mantan menteri keuangan kabinet Boris Johnson- menjadi pemimpin partai sekaligus Perdana Menteri Inggris. Sunak menduduki jabatan perdana menteri di tengah situasi domestik Inggris yang dibelit ragam problematika, pun situasi internasional yang semakin penuh tantangan. Untuk menghadapi berbagai tantangan internasional dan segala dinamikanya, Perdana Menteri Sunak pada November 2023 menunjuk pendahulunya -mantan perdana menteri- David Cameron untuk menjadi menteri luar negeri. Cameron mengikuti langkah pendahulunya yakni Lord Balfour yang sempat menjadi perdana menteri, namun kemudian ditunjuk menjadi menteri luar negeri kabinet perang David Lloyd George.
ADVERTISEMENT
Kapasitas David Cameron tentu tak bisa diragukan. Kemampuan memimpin, pengetahuan strategis, dan penguasaanya terhadap isu-isu internasional membuat ia tepat menduduki jabatan menteri luar negeri. Rasa-rasanya, keberadaan Cameron di kabinet membuat Rishi Sunak sedikit besarnya terbantu, terutama dalam menangani masalah-masalah internasional dan kebijakan luar negeri. Pada 9 Mei 2024 lalu, David Cameron menyampaikan pidato tentang kebijakan luar negeri Inggris di National Cyber Security Center di London. Pidato tersebut berjudul Out-compete, out-cooperate, out-innovate. Tulisan ini akan mengulas serta memberikan catatan terhadap pidato yang disampaikan Cameron tersebut.
Inggris Mencari Posisi
Sejarah Eropa dibubuhi catatan kedigjayaan Inggris. Paling tidak sejak berkembangnya Revolusi Industri, Inggris telah muncul sebagai kekuatan adidaya dunia. Selain di bidang perdagangan dan inovasi teknologi, kekuasaan Inggris mencakup penguasaan atas lautan. Pada masanya, Inggris menjadi raja lautan yang sukar ditandingi -bahkan oleh orang-orang se ambisius Napoleon, Wilhelm II, ataupun Hitler. Namun sejak memasuki abad 20 -penghabisan era Victoria- kekuasaan Inggris mulai mengalami kemunduran. Krisis politik-militer yang berturut-turut saat Perang Dunia I dan II membuat kedigdayaan Inggris semakin terpupus waktu dan menjadi puing historis.
Menteri Luar Negeri Inggris David Cameron berbicara saat konferensi pers dengan Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken di Departemen Luar Negeri di Washington, DC, pada 7 Desember 2023. Foto: Saul Loeb/AFP ) (Sumber: Kumparan)
Kini, kita sedang terkurung dalam jeruji ruang dan waktu Abad 21. Dunia sudah demikian berubah. David Cameron di National Cyber Security Center mengakui bahwa Inggris bukan lagi kekuatan adidaya dunia. Ini menunjukkan pandangan realisme yang dimiliki Cameron. Ia tidak terjebak dalam suasana nostalgia kedigdayaan Inggris di masa lampau, melainkan melihat realita bahwa Inggris tak lagi sekuat dan se-powerfull dulu. Inggris saat ini bukanlah Inggris dengan kekuatan laut raksasa di bawah pimpinan William Pitt, bukan Inggris dengan ambisi ekstrateritorial masa Lord Palmerston dan Disraeli, juga bukan Inggris yang otoritatif membagi kawasan Timur Tengah sebagaimana yang dilakukan Churchill dahulu. Cameron sadar betul akan hal ini.
ADVERTISEMENT
Kendati demikian, ambisi dan optimisme tak luput diperlihatkan. Cameron menegaskan bahwa sejak lama orientasi kebijakan luar negeri Inggris adalah ke luar negeri (internasionalis). Inggris berusaha mencari posisi di dunia yang tak dikuasainya lagi. Cameron mengatakan -dengan percaya diri- “memiliki pengaruh yang lebih kecil dibandingkan negara adidaya global tidak berarti tidak memiliki pengaruh sama sekali.” Ini membuktikan bahwasannya Inggris tetap berusaha mempertahankan peran dan pengaruh globanya, kendati bukan lagi sebagai penguasa dan adidaya dunia.
Pidato Cameron tersebut menegaskan bahwasannya -kendati tak lagi berstatus adidaya dunia- Inggris tidak akan melepaskan peran internasionalnya. Kebesaran masa lalu Inggris -walaupun dengan bobot kuantitas dan kualitas yang tak lagi sama- akan berusaha dibangkitkan. Cameron dengan tegas menekankan perlunya peran aktif Inggris dalam percaturan politik global, karena menurutnya, dalam dunia yang lebih kompetitif dan penuh persaingan, Inggris perlu tampil dan bersaing. Sekali lagi, Inggris sedang berusaha mencari posisi di dunia yang tak dikuasainya lagi.
ADVERTISEMENT
Narasi Konfrontasi
David Cameron menekankan pada semakin kompleksnya tantangan yang dihadapi Inggris dalam percaturan politik global. Karenanya, kemampuan adaptif dan keberanian bertindak menjadi suatu keharusan yang ditekankan Cameron. Sang menlu membingkai ancaman yang ada tersebut dalam sebuah narasi bipolaritas dan konfrontasi khas Perang Dingin. Bahkan ada semacam roh pidato Iron Curtain Winston Churchill dalam metafora yang disajikan Cameron. Ia berbicara mengenai perang di jantung Eropa, dari Taliin hingga Warsawa, Praha hingga Bukares. Mudah dipahami, ungkapan itu ditujukan kepada ancaman Moskow, terlebih dengan penegasan Cameron tentang komitmen dukungan Inggris kepada Ukraina.
Narasi konfrontasi juga jelas tergambar saat Cameron menyebut ancaman poros negara otoriter -hampir serupa dengan narasi poros setan (Axis of Evil) yang dicetuskan George W. Bush- yang terdiri dari Rusia, Iran, Korea Utara, dan Tiongkok, yang menurutnya semakin solid dan bersatu. Ini memperlihatkan bahwa Cameron memandang dunia dalam arsitektur yang bipolar antara koalisi Barat -yang menurutnya membela kebebasan, aturan hukum, hak asasi manusia, dan tatanan internasional yang terbuka- dengan negara yang menurutnya menjadi antitesa Barat, yang olehnya disebut poros negara otoriter tadi.
ADVERTISEMENT
Ilustrasi Inggris. Foto: Tomas Marek/Shutterstock (Sumber: KumparanBISNIS)
Narasi konfrontasi ini, kendati bisa dipahami sebagai upaya antisipasi terhadap eksistensi ancaman, sejatinya cukup berbahaya. Cameron membawa kita kembali pada labirin politik Perang Dingin yang menjebak dunia dalam dua blok yang saling berkonfrontasi. Keyakinan bahwa Barat menjadi pemilik kebenaran mutlak bisa terbaca dalam narasi ini. Belum lagi narasinya tentang tatanan internasional memantik pertanyaan kritis. Tatanan internasional apa yang dimaksudnya? apakah tatanan internasional yang dirumuskan oleh Franklin D. Roosevelt dan Churchill di Newfoundland tahun 1941? atau tatanan dunia pasca Konferensi San Francisco tahun 1945? entahlah, yang jelas, saya berkeyakinan bahwa tatanan internasional yang dimaksudnya itu adalah tatanan dimana Barat -dengan peran Inggris tentunya- memiliki superioritas tanpa tanding yang jelas tak relevan lagi dipertahankan di dunia saat ini.
ADVERTISEMENT
Menjaga Relasi Trans-Atlantik dan Eropa Kontinental
Hubungan trans-atlantik -relasi dengan Amerika Serikat- juga hubungan dengan Eropa daratan pasca-Brexit tak luput dari perhatian Cameron dalam pidatonya tersebut. Cameron dengan besar hati mengakui eksistensi Amerika Serikat sebagai kekuatan adidaya dunia, dimana Inggris tak lagi mampu menduduki singgasana itu. Tak ada sinisme atau narasi konfrontasi terhadap kekuatan AS, yang ada justru Inggris menjadi penyokong dan pendukung supremasi Barat yang secara de facto adalah supremasi Amerika Serikat.
Hubungan AS-Inggris selalu spesial, terutama sejak Perang Dunia II. Hubungan Roosevelt-Churchill dan Ronald Reagan-Margaret Thatcher di era Perang Dingin, menjadi potret mesranya hubungan antara mantan negara adidaya dan suksesornya ini. Hubungan yang erat ini menandai solidaritas koalisi Barat, dimana Inggris dan AS tentu menjadi aktor utama yang memimpin, kendati Inggris sadar betul posisi dan kekuatannya tak sebanding dengan Amerika Serikat.
ADVERTISEMENT
Pengakuan Cameron atas supremasi kekuatan AS terdapat dalam ungkapannya bahwa Inggris tidak seperti Amerika yang setiap keputusannya akan bisa mengubah dunia. Hal ini menyiratkan dua hal. Pertama, Cameron memperlihatkan sikap ‘tahu diri’ bahwa Inggris bukan lagi negara yang memiliki signifikansi kekuatan dan pengaruh terhadap politik dunia, sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya. Kedua, superioritas AS didukung penuh oleh Inggris dengan komitmen persekutuan Barat yang solid dan menguntungkan dibawah pimpinan Washington DC.
Selain hubungan dengan AS, hubungan Inggris dengan Eropa daratan juga tak luput disinggung Cameron. Dalam sejarahnya, hubungan Inggris dengan Eropa kontinental memang menarik. Saat Napoleon masih bertahta di Prancis, ia memberlakukan sistem kontinental (Blocus Continental) melalui Dekrit Berlin yang memblokir akses Inggris ke Eropa daratan, terutama dalam soal ekonomi dan perdagangan. Kemudian pada tahun 1960-an, Charles de Gaulle menghalang-halangi upaya Inggris bergabung dengan Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE), walau kemudian Inggris berhasil mendapat akses masuk. Kemudian saat terbentuk Uni Eropa melalui Maastricht Treaty tahun 1993, Inggris turut tergabung didalamnya.
Ilustrasi tujuan uni eropa. Sumber: pixabay (Sumber: Kumparan)
Namun pada 2016, Inggris berupaya keluar dari Uni Eropa, yang dikenal dengan peristiwa Brexit (Britain Exit). Upaya ini merupakan akumulasi dari sikap euroskeptis yang dipupuk sejak era Margaret Thatcher dan mendapat momentum saat kepemimpinan Theresa May dan Boris Johnson. Kendati demikian, Inggris tetap berusaha menjaga hubungan baik dengan Eropa daratan. Cameron menegaskan itu dalam pidato luar negerinya. Secara politik, Cameron mengakui bahwa dirinya mendukung keanggotaan Inggris di Uni Eropa, namun nyatanya kini Inggris bukan lagi bagian dari UE. Karenanya, Cameron menekankan hubungan Inggris dengan Uni Eropa -kendati tidak terikat keanggotaan- haruslah menjalin hubungan terbaik sebagai teman, tetangga, dan mitra. Ini membuktikan bahwa Inggris tetap menjalin dan menjaga relasi mutualistik, baik dengan Amerika Serikat dalam relasi trans-atlantik maupun Uni Eropa.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan
David Cameron dalam pidato luar negerinya berusaha untuk memadukan antara realita dan cita-cita. Kekuatan Inggris yang tak lagi superior diakui dengan besar hati, tanpa menihilkan gagasan dan cita-cita atau nilai-nilai yang bertemali erat dengan kepentingan nasional Inggris yang patut diperjuangkan dalam kancah politik global. Tepat kiranya Cameron yang mengutip Ernest Bevin -menteri luar negeri Kabinet Clement Attlee- bahwa kebijakan luar negeri Inggris didasarkan pada prinsip moral yang kuat juga pragmatisme yang bijak untuk memilih kemungkinan terbaik ke depan.