Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Fenomena Menikah Muda dan Tren Ambisi Romantis
17 Juni 2023 13:39 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Aura Intannia Faqih tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ketika menjalin hubungan dengan seseorang—apalagi sudah memantapkan hati dan pilihan—pasangan biasanya bertujuan membawa hubungan mereka ke jenjang yang lebih serius, yaitu pernikahan. Namun belakangan ini menikah menjadi fenomena sebab dilakukan di usia yang masih terbilang sangat muda. Apakah itu tren ambisi romantis atau solusi?
ADVERTISEMENT
Pernikahan dianggap suci dalam setiap agama dan harus dijalankan dengan penuh kesakralan. Karena itu, penting bagi kita dan pasangan untuk mempertimbangkan keputusan menikah dengan serius. Selain itu, tujuan menikah adalah untuk menjalani kehidupan bersama seseorang agar tidak merasa kesepian.
Namun, tujuan ini bukan hanya sebatas mencari teman untuk bersenang-senang, melainkan juga memiliki teman yang siap mendampingi dalam segala aspek kehidupan, baik dalam keadaan bahagia maupun sulit.
Selanjutnya, menikah juga memiliki tujuan untuk saling melengkapi dan menyempurnakan satu sama lain. Setiap individu memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri. Ketika pasangan saling mencintai, mereka akan saling melengkapi dan menerima satu sama lain apa adanya, tanpa berusaha mengubah satu sama lain.
ADVERTISEMENT
Memiliki keturunan yang sehat juga merupakan tujuan lain dalam pernikahan. Para pasangan perlu memastikan kesehatan masing-masing, karena anak-anak yang lahir dari orang tua yang sehat memiliki kesempatan lebih besar untuk tumbuh dan berkembang dengan baik.
Selain itu, menciptakan kebahagiaan dalam rumah tangga juga menjadi tujuan menikah. Meskipun tantangan mungkin muncul, pasangan yang saling mencintai dan berusaha memahami satu sama lain akan memperkuat ikatan pernikahan mereka.
Menikah juga memiliki dampak positif terhadap kesehatan fisik dan mental. Pasangan yang menikah dan bahagia cenderung memiliki sistem kekebalan tubuh yang lebih kuat dan tingkat stres yang lebih rendah.
Kesehatan mental juga cenderung lebih baik pada mereka yang sudah menikah karena adanya dukungan dan perhatian dari pasangan. Selain itu, hubungan pernikahan yang sehat juga dapat memperpanjang usia kita dan pasangan. Ini terjadi karena adanya kebiasaan hidup sehat serta menjaga kesehatan fisik dan mental dengan baik.
ADVERTISEMENT
Saling melindungi antara suami dan istri juga merupakan tujuan menikah. Suami memiliki tanggung jawab untuk mengasihi istri, sementara istri bertugas melindungi rumah tangga. Pasangan juga menjadi tempat untuk saling berbagi cerita dalam suka dan duka.
Mereka menjadi sahabat dan kekasih yang selalu dapat diandalkan dalam segala situasi. Dengan semua tujuan ini, menikah menjadi perjalanan yang dijalani dengan komitmen, cinta, dan kesungguhan untuk mencapai kehidupan yang penuh makna dan bahagia bersama pasangan.
Menikah tentu tidak bisa dilakukan secara sembarangan, banyak persyaratan yang tentu harus dilakukan dan diperhatikan, terutama soal usia. Hal ini diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019, yang merupakan aturan terbaru yang mengatur pernikahan.
Melalui perubahan ini, terjadi revisi pada ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Pernikahan Nomor 1 Tahun 1974 terkait batas usia minimal untuk menikah, khususnya bagi wanita. Sebelumnya, batas usia minimal yang ditetapkan adalah 16 tahun. Namun, dengan perubahan tersebut, batas usia minimal bagi wanita maupun pria yang ingin menikah ditingkatkan menjadi 19 tahun.
ADVERTISEMENT
Dengan adanya peraturan ini, diharapkan pernikahan akan berlangsung dalam kondisi yang lebih matang dan mempertimbangkan faktor-faktor penting, seperti kematangan emosional dan persiapan yang memadai.
Meski begitu, saat ini pernikahan dini atau pernikahan di bawah umur marak terjadi. Beberapa faktornya antara lain kondisi ekonomi yang kurang stabil, tingkat pendidikan yang rendah, dorongan dari keinginan pribadi, pengaruh dari pergaulan bebas, serta faktor adat istiadat yang mempengaruhi. Dalam konteks ini, terdapat kemungkinan bahwa hubungan seksual pertama kali terjadi sebelum atau setelah pernikahan dilangsungkan.
Dalam hal ini juga, pernikahan pada usia muda kerap menjadi tren yang timbul sebagai ambisi hubungan romantis antar pasangan, bahkan tak dapat dipungkiri pernikahan kini seolah menjadi ajang kesuksesan seseorang, padahal menikah bukan hanya sekadar mengucap janji pernikahan saja, tapi juga butuh kesiapan mental dan biaya yang tidak didapatkan secara instan.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data yang diperoleh dari pengadilan agama mengenai permohonan dispensasi perkawinan usia anak, tercatat bahwa pada tahun 2021 terjadi sekitar 65 ribu kasus, sedangkan pada tahun 2022 terdapat sekitar 55 ribu pengajuan.
Permohonan untuk menikah pada usia anak lebih banyak disebabkan oleh beberapa faktor, seperti pemohon perempuan yang sudah hamil sebelumnya, serta dorongan dari orang tua yang ingin anak mereka segera menikah karena telah memiliki pasangan dekat atau pacar.
Pada tahun 2022, di seluruh Indonesia tercatat sekitar 52 ribu kasus dispensasi perkawinan yang diajukan ke peradilan agama. Dari jumlah tersebut, sekitar 34 ribu permohonan didorong oleh faktor cinta, di mana orang tua meminta kepada pengadilan agar anak-anak mereka segera dinikahkan.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, sekitar 13.547 pemohon mengajukan permohonan menikah karena sudah hamil terlebih dahulu, dan 1.132 pemohon mengaku telah melakukan hubungan intim sebelumnya. Terdapat juga faktor lain seperti alasan ekonomi dan perjodohan, di mana anak-anak tersebut sudah mencapai usia dewasa, mengalami menstruasi, dan pertumbuhan rambut di daerah kemaluan pada anak laki-laki.
Data tahun 2022 menunjukkan bahwa jumlah dispensasi perkawinan terbesar terjadi di peradilan tinggi agama (PTA) Jawa Timur, khususnya di Surabaya, dengan tingkat yang paling tinggi terjadi di wilayah Malang karena faktor putus sekolah. Selain itu, pengajuan juga banyak terjadi di PTA Semarang, PTA Bandung, dan PTA Makassar.
Tentu hal ini sangat disayangkan mengingat generasi mudalah yang akan meneruskan keluhuran generasi sekarang, namun pernikahan yang dilakukan di usia muda dapat menjadi penghambat terbesar dalam proses pembelajaran, pekerjaan, bahkan pertumbuhan masyarakat yang akan datang.
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa kasus, menikah muda mungkin bisa menjadi solusi. Namun dalam banyaknya kasus, menikah muda seolah menjadi hukuman atau jeratan para remaja yang masih labil, terbawa emosi sesaat, dan hanya memikirkan cinta tanpa tahu bahwa pernikahan dan kehidupan pernikahan tidak sesederhana saling mencintai satu sama lain. Karena hal ini juga jumlah kasus perceraian di Indonesia melonjak.
Tingkat perceraian di Indonesia kembali mengalami peningkatan yang signifikan. Menurut laporan dari Badan Pusat Statistik Indonesia, jumlah kasus perceraian di negara ini mencapai 447.743 pada tahun 2021, meningkat sebesar 53,50 persen dibandingkan tahun 2020 yang mencatatkan 291.677 kasus.
Laporan tersebut juga menunjukkan bahwa sebagian besar gugatan perceraian diajukan oleh pihak istri. Terdapat sebanyak 337.343 kasus atau sekitar 75,34 persen dari total perceraian yang terjadi merupakan kasus cerai gugat, di mana gugatan tersebut diajukan oleh pihak istri dan telah diputuskan oleh pengadilan.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, sekitar 110.440 kasus atau sekitar 24,66 persen dari total kasus perceraian merupakan kasus cerai talak, di mana pengajuan cerai tersebut dilakukan oleh suami dan telah mendapatkan keputusan dari pengadilan.
Dilihat dari segi provinsi, jumlah kasus perceraian tertinggi pada tahun 2021 terjadi di Jawa Barat, dengan total 98.088 kasus. Provinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah juga mengalami angka perceraian yang tinggi, masing-masing dengan total 88.235 kasus dan 75.509 kasus.
Salah satu faktor yang menjadi penyebab tingginya permohonan cerai dari pihak istri ini adalah pernikahan yang dilakukan pada usia muda. Pernikahan yang dilakukan pada usia yang relatif muda seringkali membuat suami dan istri belum memiliki kematangan dalam menghadapi berbagai permasalahan keluarga secara bijaksana.
ADVERTISEMENT
Untuk itu, sebelum menikah pasangan diharapkan telah matang secara mental dan emosional, perlu juga dilakukan pelatihan dalam menghadapi masalah sebelum menikah sehingga pernikahan bisa terjalin lebih erat antar pasangan.