Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Penanganan Bencana bersama Kaum Milenial di Era Digital
27 Januari 2019 17:06 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
Tulisan dari Avianto Amri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merekam telah terjadi sebanyak 2.436 kejadian bencana sepanjang tahun 2018, yang menyebabkan lebih dari 4.200 orang meninggal dan lebih dari 3 juta warga mengungsi. Kejadian bencana bukanlah hal yang asing di wilayah Indonesia. Berdasarkan data BNPB , hampir dalam 10 terakhir terjadi lebih dari 1.000 kejadian bencana tiap tahunnya.
ADVERTISEMENT
Kejadian beruntun dimulai dari serangkaian gempa di Lombok, diikuti dengan gempa-tsunami-likuifaksi di wilayah Sulawesi Tengah (Sulteng), serta diakhiri dengan tsunami di pesisir Selat Sunda di pengujung tahun. Tentunya, kejadian-kejadian bencana ini memberikan tantangan yang cukup besar pada sumber daya dan kapasitas yang dimiliki oleh Indonesia.
Kenapa? Sebab, terakhir kali Indonesia mengalami kejadian sebesar ini adalah lebih dari satu dekade lalu. Hal ini menyebabkan adanya kesenjangan ilmu pengetahuan (knowledge gap) yang besar, di mana banyak lembaga serta pekerja kemanusiaan baru yang sebelumnya belum memiliki pengalaman dalam menangani kejadian bencana dalam skala besar, terutama dari kalangan milenial.
Terakhir Indonesia mengalami kejadian bencana berskala besar adalah di sekitar tahun 2009-2010, di mana terjadi gempa di Tasikmalaya dan sekitarnya (2009) , yang kemudian diikuti dengan gempa besar di Sumatera Barat (2009) , dan meletusnya Gunung Merapi di Yogyakarta (2010) .
ADVERTISEMENT
Beberapa tahun sebelumnya, Indonesia juga menghadapi bencana tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) (2004) dan gempa di Yogyakarta (2006) , sehingga peningkatan ilmu terkait penanganan tanggap darurat bencana sangat pesat, bahkan Indonesia diakui sebagai Global Champions dalam hal Pengurangan Risiko Bencana.
Beberapa tantangan yang muncul saat penanganan darurat bencana di Lombok, Sulteng, dan Selat Sunda, antara lain ruwetnya koordinasi antar-lembaga, rendahnya pemahaman para pekerja kemanusiaan terhadap standar-standar kemanusiaan yang ada, serta pemilihan intervensi yang tidak sesuai di lapangan.
Hal ini cukup disayangkan karena merupakan tantangan serupa yang pernah terjadi pada saat penanganan bencana yang lampau, mengindikasikan bahwa bangsa kita masih perlu meningkatkan lagi upaya dalam mengingat sejarah dan mendokumentasikan pembelajaran-pembelajaran yang telah diperoleh dari pengananan bencana sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Koordinasi masih menjadi tantangan besar pada operasi penanganan darurat bencana. Di Lombok, setidaknya, terdapat lebih dari 2.400 relawan dan pekerja kemanusiaan dari sekitar 240 LSM, ormas, dan organisasi relawan yang terlibat penanganan gempa Lombok.
Itu hanyalah angka yang didapat berdasarkan mereka yang melapor ke BNPB, di mana jumlah lembaga sesungguhnya diperkirakan jauh lebih besar karena banyak lembaga yang tidak melapor termasuk kelompok dari Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan, partai politik, dan LSM-LSM lainnya. Padahal, tantangan ini sudah pernah kita hadapi saat menghadapi tsunami di NAD pada 2004 dan sistem koordinasi antar-lembaga yang digunakan semakin membaik saat penanganan gempa di Yogyakarta pada 2006 .
Setiap lembaga kemanusiaan mesti memiliki kesadaran yang tinggi untuk melakukan koordinasi dan memahami sistem komando penanganan darurat bencana yang berlaku di wilayah tersebut. Hal ini penting untuk menghindari terjadinya tumpang tindih bantuan, untuk mengetahui kemungkinan kesenjangan yang perlu diatasi segera, serta memastikan bantuan yang diberikan berkualitas dan menjaga martabat warga yang terkena dampak bencana.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, banyak pekerja kemanusiaan baru yang bekerja tanpa pemahaman yang lengkap terkait standar kemanusiaan dan peraturan yang berlaku , misalnya Standar Sphere .
Pemberian bantuan mesti sesuai dengan peraturan serta standar-standar yang ada, seperti misalnya bagaimana spesifikasi tenda yang sebaiknya diserahkan kepada para pengungsi? Berapa jumlah air bersih yang perlu disediakan kepada para pengungsi, sehingga kebutuhan untuk memasak, minum, dan kebersihan diri cukup? Seberapa besar kalori makanan yang perlu disiapkan bila akan membangun dapur umum atau memberi nasi bungkus?
Hal-hal seperti ini sudah ada standar dan panduan yang berlaku yang setiap lembaga kemanusiaan perlu untuk memahami dan menerapkan. Seperti misalnya, pemahaman bahwa susu formula dilarang dibagikan kepada para pengungsi secara bebas karena dapat meningkatkan kasus diare dan penyakit lainnya yang justru bisa membahayakan bayi-bayi di pengungsian. Bahkan, kejadian maraknya diare yang terjadi saat penanganan bencana gempa di Yogyakarta sudah dipublikasi di jurnal internasional dan menjadi acuan di kancah internasional.
ADVERTISEMENT
Tantangan terakhir adalah pemilihan intervensi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Saat ini, di Sulawesi Tengah, banyak lembaga yang sedang gencar membangun kawasan hunian sementara (huntara) dengan model seperti barak untuk ditinggali para pengungsi. Namun, pengalaman dalam penerapan model barak pada masa lalu menunjukkan masalah besar dalam mengelola tempat dan juga menutup barak untuk orang-orang yang terkena dampak bisa kembali ke rumah yang layak.
Catatan dari pengalaman pemulihan tsunami di NAD menunjukkan bahwa orang yang tinggal di barak memiliki insiden tinggi penyakit yang mematikan karena masalah kebersihan yang buruk, korupsi, konflik sosial, dan juga meningkatnya kekerasan domestik dan seksual , terutama bagi perempuan dan anak-anak. Bahkan setelah 10 tahun tsunami menerjang NAD, masih ada orang yang tinggal di barak.
ADVERTISEMENT
Barak-barak atau kawasan huntara yang sudah dibangun perlu didukung dengan fasilitas, sumber daya manusia, dan sistem untuk memastikan layanan dasar, seperti hunian, air bersih, sanitasi, kesehatan, pendidikan, dan layanan perlindungan, akan selalu tersedia untuk warga penghuni huntara hingga mereka kembali ke rumah.
Langkah Antisipasi
Tantangan-tantangan ini perlu dipahami dan kemudian diantisipasi ancaman yang bisa muncul di kemudian harinya. Kita perlu menggali pengalaman-pengalaman yang lampau untuk mengetahui solusi yang terbaik untuk saat ini dan masa depan.
Para pekerja kemanusiaan yang sudah berpengalaman perlu duduk bersama dengan para pekerja kemanusiaan yang baru meniti karier, sehingga terjadi transfer ilmu inter-generasi, dan melahirkan solusi-solusi inovatif yang bisa diterapkan sesuai dengan konteks dan situasi yang ada saat ini. Hal penting lain yang perlu dilakukan adalah merekam pengalaman-pengalaman yang kita dapat saat ini, untuk digunakan kembali saat penanganan bencana di masa mendatang.
ADVERTISEMENT
Ada beberapa program menarik yang bisa diikuti oleh para kaum milenial saat ini yang tertarik terkait penanganan bencana. Program U-INSPIRE merupakan sebuah komunitas yang terdiri dari anak muda dan professional dari berbagai bidang, di mana salah satu kegiatannya adalah untuk melakukan kampanye pendidikan mitigasi bencana ke masyarakat, termasuk ke murid sekolah dan mahasiswa.
Ada pula jejaring Indonesian Youth on Disaster Risk Reduction (IYDRR ) yang merupakan platform berbagi ilmu untuk pengurangan risiko bencana di Indonesia. Jejaring IYDRR ini juga sudah melakukan beberapa kali kuliah Whatsapp (kulwap), mengundang narasumber untuk berbagi terkait ilmu dan pengalamannya terkait penanggulangan bencana kepada para pengguna Whatsapp yang mendaftar di kulwap tersebut.
Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia (MPBI ) juga saat ini merintis Gerakan Nasional Literasi Bencana yang bertujuan untuk menyebarluaskan pemahaman dan pengetahuan tentang penanggulangan bencana. Salah satu programnya adalah melakukan kajian rutin, mulai dari kebijakan nasional terkait penanggulangan bencana, koordinasi sipil dan militer, pelatihan untuk para pekerja kemanusiaan, hingga diskusi terkait upaya-upaya pengurangan risiko bencana dan kesiapsiagaan di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pihak Pusat Data dan Informasi BNPB juga sudah mulai membangun bank dokumen yang dikumpulkan pada pascabencana, salah satunya adalah database penanganan gempa-tsunami-likuifaksi untuk Sulawesi Tengah. Saat ini, telah terkumpul data sekitar 2,6 GB, yang terdiri dari lebih dari 750 dokumen.
Dokumen-dokumen itu berisikan laporan-laporan dari berbagai lembaga dan dokumen regulasi. Ada pula panduan-panduan yang berguna sebagai referensi untuk berbagai sektor, misalnya air bersih dan sanitasi, kesehatan, hunian, pendidikan, dan sektor-sektor lainnya. Menariknya, dilengkapi pula dengan gambar-gambar dan video. Database ini bebas diakses oleh siapa pun, kapan pun, di mana pun tempatnya asal memiliki koneksi internet.
Bangsa yang maju adalah bangsa yang tidak melupakan sejarahnya dan selalu memikirkan inovasi untuk menghadapi ancaman bencana berikutnya. Sebab, penanganan bencana besar berikutnya akan sangat mungkin terjadi dalam skala yang lebih besar, lebih luas, dan lebih kompleks dibandingkan kejadian-kejadian bencana yang sudah kita alami.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, kolaborasi antar-lembaga, antara pemerintah-swasta-LSM, antara peneliti-praktisi-pembuat kebijakan, baik yang sudah berpengalaman dan yang baru berkecimpung, tua dan muda, sangat diperlukan untuk memastikan Indonesia yang tangguh terhadap ancaman bencana.