Kura-kura Endemik Sulawesi dan Konservasinya

Awal Riyanto
Ahli Peneliti Madya Herpetologi di Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi BRIN
Konten dari Pengguna
5 Mei 2024 8:44 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Awal Riyanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Individu jantan dewasa Indotestudo forstenii dari perbukitan Lembah Palu, Sulawesi Tengah (Foto: Awal Riyanto)
zoom-in-whitePerbesar
Individu jantan dewasa Indotestudo forstenii dari perbukitan Lembah Palu, Sulawesi Tengah (Foto: Awal Riyanto)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa negara kita mempunyai tiga kawasan biogeografi yaitu kawasan Sunda, Sahul, dan Wallacea. Bagian barat Indonesia yang meliputi Sumatra, Jawa, Kalimantan dan Bali termasuk dalam kawasan Sunda atau kawasan Oriental bersama wilayah Asia Selatan dan Asia Tenggara.
ADVERTISEMENT
Kawasan biogeografi Sahul meliputi bagian timur Indonesia yaitu Papua dan kepulauan Aru. Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Maluku membentuk kawasan biogeografi transisi antara Sunda dan Sahul, yang disebut sebagai Kawasan Wallacea dengan total luas daratan kurang lebih 347.000 km2. Sebagai kawasan transisi, wilayah ini mempunyai tingkat endemisitas yang tinggi.
Sulawesi pulau dengan bentuk huruf ‘K” ini merupakan pulau terbesar di kawasan Wallacea dan merupakan pulau yang paling unik dan menarik dalam proses pembentukannya baik secara geologi maupun geografis. Di pulau yang memiliki luas hingga 174.600 km2 ini terdapat dua spesies kura-kura yang langka yang hanya terdapat disini. Kedua spesies tersebut adalah baning hutan Sulawesi (Indotestudo forstenii) dan kura-kura hutan sulawesi (Leucocephalon yuwonoi).
ADVERTISEMENT

Bangsa Testudinata

Sebelum membahas lebih jauh tentang kedua spesies kura-kura tersebut, perlu disampaikan di sini bahwa secara ilmu taksonomi kura-kura termasuk bangsa (ordo) Testudines atau Testudinata. Secara awam bangsa ini dikelompokkan berdasarkan bentuk tubuh dan tempat hidupnya menjadi 4 kelompok yaitu baning, kura-kura, labi-labi dan penyu.
Baning adalah kura-kura yang mempunyai tempurung (karapas dan plastron) yang keras dan hidup di darat, tungkai teradaptasi untuk kehidupan di darat. Bila kita perhatikan dengan saksama, bentuk tungkai baning menyerupai kaki binatang yang sangat besar dengan telinga lebar yaitu gajah. Baning Sumatra (Manouria emys) dan baning Sulawesi merupakan dua contoh kelompok ini yang ada di Indonesia.
Kura-kura biasa atau kura-kura air tawar adalah kelompok yang mempunyai tempurung keras dan hidup di perairan darat, oleh karenanya tungkai teradaptasi untuk mampu berenang yaitu dengan adanya struktur pelebaran kulit disela jamari yang disebut selaput renang. Anggota kelompok ini di antaranya adalah kuya batok (Cuora amboinensis), Bajuku (Orlitia borneensis), Biuku (Batagur affinis) dan Beluku (Batagur borneoensis).
ADVERTISEMENT
Selain kura-kura air tawar tersebut, di perairan darat juga hidup kura-kura dengan tempurung lunak. Kelompok ini dikenal sebagai labi-labi atau di Jawa disebut bulus dan di Kalimantan disebut bidawang. Contoh spesies dari kelompok ini adalah labi-labi super (Amyda cartilaginea), moncong babi (Carettochelys insculpta), labi-labi pasir (Dogania subplana) dan bulus taiwan (Pelodiscus sinensis).
Kelompok keempat adalah yang disebut penyu, kelompok ini hidup di laut dan tangkai beradaptasi menjadi bentuk seperti dayung. Di dunia terdapat tujuh spesies dan enam di antaranya terdapat di Indonesia, keenam spesies tersebut merupakan satwa yang dilindungi. Contoh spesies penyu di antaranya adalah penyu hijau (Chelonia mydas), penyu sisik (Eretmochelys imbricata) dan penyu belimbing (Dermochelys coriacea). Selanjutnya mari kita kembali kepada dua spesies endemik Sulawesi.
ADVERTISEMENT

Baning Sulawesi (Indotestudo forstenii)

Spesies ini pertama kali dideskripsikan oleh Schlegel dan Muller pada tahun 1844 dengan nama Testudo forstenii dan lokasi tipe “Gilolo” atau Halmahera. Lokasi tipe dan persebaran di Halmahera ini menjadi perdebatan, karena hingga saat ini belum pernah ada laporan keberadaan kura-kura ini di Halmahera dan oleh Kelompok Kerja Taksonomi Kura-kura (Turtle Taxonomy Working Group) tahun 2021 ditetapkan mempunyai sebaran terbatas Sulawesi.
Indotestudo forstenii menjadi istimewa karena selain langka, endemik, satu dari tiga spesies yang ada dalam genusnya dan juga merupakan satu-satunya baning yang ditemukan di garis Wallacea dan terdistribusi dari Sulawesi Tengah hingga Sulawesi Utara.
Baning ini hidup dalam hutan perbukitan di Sulawesi Tengah hingga Utara. Spesies ini semula diduga terdiri atas beberapa spesies kriptik. Dugaan ini didasarkan pada variasi hadir tidaknya keping nuchal, hingga pada tahun 2008 dibuktikan oleh Ives et al. bahwa sesungguhnya masih satu spesies.
ADVERTISEMENT
Penampakan Baning Sulawesi sangat menarik oleh karenanya menjadi komoditas perdagangan satwa untuk piaraan. Kini pemerintah telah menetapkan tidak ada lagi kuota pengambilan dari alam, sehingga diperjualbelikan hanya dari hasil produksi penangkaran. Kepala kuning tanpa adanya garis-garis atau bercak, tempurung dengan keping kuning dan di tengahnya berwarna hitam. Garis pertumbuhan setiap keping biasanya tampak jelas. Baning ini bersifat vegetarian.
Status keterancaman baning Sulawesi adalah kritis (Critically Endangered) dalam daftar merah IUCN dan appendiks II oleh CITES. Berbagai ancaman mengintai kelestarian spesies ini, seperti aktivitas ilegal pemanenan dari alam dan hilangnya habitat. Mengenai kehilangan habitat, Riyanto et al. (2020) telah melakukan evaluasi terhadap data landsat dalam kurun waktu lima tahun (2002 hingga 2005) pada habitat baning sulawesi di kawasan Semenanjung Santigi. Terungkap adanya kehilangan habitat hutan mencapai 2.096,23 ha (60,04%) atau dengan laju kehilangan mencapai 419,25 ha/tahun. Selanjutnya dengan membandingkan data vegetasi tahun 2007, disimpulkan bahwa hutan bukit Sologi di Semenanjung Santigi tersebut merupakan habitat yang tersisa.
ADVERTISEMENT
Hal ini dibuktikan dari masih ditemukannya individu baning sulawesi pada hutan bukit tersebut, sedangkan pada habitat yang sudah beralih fungsi menjadi lahan perkebunan coklat sudah tidak ditemukan satupun individu.

Kura-kura hutan Sulawesi (Leucocephalon yuwonoi)

Berbeda dengan baning Sulawesi, kura-kura hutan Sulawesi baru dideskripsi pada tahun 1995 oleh McCord, Iverson dan Boeadi pada tahun 1995 dengan nama Geoemyda yuwonoi dan lokasi tipe Gorontalo. Sebelum dideskripsi pada tahun tersebut, sesungguhnya spesies ini sudah marak diperdagangkan dengan nama spesies lainnya.
Leucocephalon yuwonoi juga istimewa karena selain langka dan endemik, merupakan spesies tunggal dalam genusnya. Kura-kura ini mempunyai sebaran terbatas mulai dari perbatasan kebun kopi Sulawesi Tengah hingga Gorontalo.
Kura-kura ini hidup di perairan jernis dan mengalir dengan substrat berpasir dan bebatuan dalam hutan dataran rendah, namun beberapa populasi di sepanjang pantau barat Sulawesi Tengah juga beberapa ditemukan di aliran air dekat pemukiman. Kemungkinan individu-individu tersebut adalah hasil hanyutan dari dalam hutan ketika terjadi banjir, mengingat sungai di wilayah pantai barat sering mengalami banjir.
Individu jantan dewasa Leucocephalon yuwonoi ditemukan di parit dekat kebun di pantai barat Sulawesi Tengah (Foto: Awal Riyanto)
Sebelum tahun 2002, kura-kura ini diekspor secara legal sebagai sumber daya perikanan dan tidak diberikan status perlindungan khusus. Semenjak tahun 2002 Indonesia menerapkan zero quota, dengan demikian sejak tahun tersebut eksploitasi kura-kura ini diasumsikan sudah tidak ada lagi.
ADVERTISEMENT
Kemampuan reproduksi L. yuwonoi di alam liar belum diketahui secara pasti, namun para ahli kura-kura menyakini spesies ini mempunyai kemampuan reproduksi yang sangat rendah. Beberapa laporan penelitian menyebutkan bahwa betina hanya bertelur 1 atau 2 butir per clutch. Kematangan seksual betina pada ukuran panjang karapas yang bervariasi dari 17,5 cm hingga 18–20 cm. Tingkat pertumbuhan anakan juga tergolong lambat.
Penelitian yang dilaporkan Simms et al (2022) berdasarkan pengamatan mereka terhadap luas area semacam home range yang ditempati L. yuwonoi dibandingkan dengan spesies lain dalam suku Geoemydidae menunjukkan bahwa L. yuwonoi menempati wilayah terkecil.
L. yuwonoi mempunyai panjang karapas yang mencapai 25 cm berwarna merah coklat dengan bercak-bercak besar dan kecil, tidak teratur berwarna coklat tua. Kepala berbentuk triangular. Pada individu dewasa, ukuran kepala jantan lebih besar dan berwarna kuning, sedangkan individu betina lebih kecil hitam dengan bercak putih di dagu. Perisai punggung merah coklat dengan bercak-bercak besar dan kecil, tidak teratur berwarna coklat tua.
ADVERTISEMENT
Kura-kura hutan Sulawesi berstatus kritis (Critically Endangered) dalam daftar merah IUCN dan appendiks II oleh CITES. Spesies ini juga mendapat ancaman akan kelestariannya dari eksploitasi dan hilangnya habitat.

Usulan Konservasi

Paparan kedua spesies di atas tentunya menggugah kita untuk mendorong pemerintah agar segera menetapkan mereka sebagai satwa yang dilindungi undang-undang, sembari lebih giat menggalakkan penangkaran yang efektif baik untuk komersil maupun tujuan pengawetan.
Di samping konservasi dengan pendekatan tersebut, tentunya perlu perlu pula dikembangkan program Ekowisata Kura-kura Endemik dengan partisipasi masyarakat setempat.
Banyak pendapat ahli yang bahwa kegiatan ekowisata dapat diterapkan dalam upaya konservasi karena dapat menjadi alat pembangunan karena memberikan manfaat baik dalam konservasi maupun ekonomis.
Secara teori dalam kegiatan ekowisata terjadi distribusi beberapa manfaat kepada masyarakat lokal yang memberi mereka insentif untuk melindungi kawasan alami yang menarik wisatawan menjadi lebih banyak. Kegiatan ekowisata mempunyai hubungan sinergis antara pariwisata, keanekaragaman hayati dan masyarakat lokal, yang difasilitasi oleh strategi manajemen yang tepat.
ADVERTISEMENT
Marilah kita jaga bersama sumberdaya hayati tersebut agar tak punah dan selalu bermanfaat, salah satunya dengan kegiatan ekowisata.