Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Paradok Keseteraan Gender di Grammy 2018
1 Maret 2018 22:21 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:11 WIB
Tulisan dari Award News tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pengumuman penghargaan Grammy ke-60 tahun 2018 yang dilaksanakan di New York pada akhir Januari lalu secara khusus membawa tema perlawanan pada pelecehan seksual yang dialami para artis wanita saat memulai karirnya. Pelecehan itu, celakanya, dilakukan oleh nama-nama besar di industry film Amerika.
ADVERTISEMENT
Dalam gerakan Time's Up dan tagar #MeToo, Grammy menegaskan bahwa penghargaan music terbesar di dunia itu mendukung para korban dan menyatakan sudah saatnya pelecehan pada para perempuan, siapapun itu, harus dihentikan.
Ini saatnya wanita setara dengan laki-laki. Dan para musisi dan selebritas yang hadir dalam malam penghargaan membawa mawar putih sebagai simbol perlawanan mereka terhadap kekerasan seksual kepada perempuan dan keseteraaan gender.
Tapi celaka bagi Grammy 2018 : Time’s NOT YET up. Grammy masihlah milik para lelaki. Di saat mayoritas penghargaan lain, seperti PEN Amerika, Berlin Film Festival, Nebula Award, dan sebagainya, telah dimenangkan oleh para perempuan, tapi hanya satu perempuan yang memenangkan penghargaan Grammy.
Kucing Garong Tetap Berkuasa
ADVERTISEMENT
Ini adalah paradok untuk Grammy 2018. Di satu sisi mendukung gerakan Time’s Up dan #MeToo dan di sisi lain, para lelaki masih terus menguasai kategori bergengsi.
Alessia Cara menjadi satu-satunya perempuan yang mendapat penghargaan mayor, memenangkan Best New Artist, dari 17 penghargaan (dari total 86) yang mempertarungkan lelaki dan perempuan. Perempuan yang paling banyak mendapatkan niominasi, SZA, gagal meraih satupun gelar; artis terkenal macam Lady Gaga, Kesha, dan Lorde juga gagal.
Time’s Up masih menjadi topik yang diperbincangkan sangat ramai di acara ini. Sementara tamu undangan Golden Globes memakai pakaian hitam untuk mendukung gerakan tersebut, Grammy memilih mawar putih.
Kesha menyanyikan Praying, didedikasikan untuk korban kekerasan seksual. Lagu tersebut adalah lagu yang menandai rilis pertamanya sejak berani melawan tuduhan melakukan serangan seksual terhadap produser Dr. Luke di tahun 2014.
ADVERTISEMENT
Janelle Monae, yang mengantar penampilan Kesha, menegaskan, "Bagi orang-orang yang berani membungkam kami, kami menawarkan dua kata, Time's Up. Kami mengatakan Time's Up untuk ketidaksetaraan bayaran, diskriminasi, atau pelecehan dalam bentuk apapun, dan penyalahgunaan kekuasaan. "
“Mari berkerja bersama, lelaki dan perempuan, sebagai kesatuan industri musik untuk menciptakan lingkungan kerja yang mendukung, kesetaraan bayaran, dan kemudahan akses bagi seluruh perempuan.”
Tahun 2018 –tahun gerakan #MeToo, Time’s Up dan perlawanan terhadap serangan seksual di lingkungan kerja- Grammy Award malah memberikan penghargaan Best Pop Solo Performance kepada Ed Sheeran untuk Shape of You mengalahkan Khesa dengan lagunya, Praying. Perlu dicatat, Ed Sheeran adalah satu-satunya pria yang menjadi nominator di kategori yang sebenarnya sudah dikuasai perempuan itu.
ADVERTISEMENT
Tapi keberatan terbesarnya adalah lagu kebesaran Khesa yang menceritakan pengalamannya soal dugaan pelecehan seksual itu dikalahkan oleh Shape of You yang liriknya bercerita tentang segerembolan pria yang pergi ke bar dan langsung ngajak mesum perempuan yang ditemuinya. Kucing Garong, Keong Racun, LU!.
Dengan pengecualian Cara yang meraih penghargaan sebagai Artis Pendatang Baru Terbaik, tidak ada perempuan lain yang meraih penghargaan utama.
Lorde, satu-satunya nominator perempuan untuk Album of The Year, kalah oleh Bruno Mars. Cardi B atau Rapsody bisa mencetak sejarah menjadi perempuan pertama yang memenangkan Best Rap Song, andai saja mereka menang. Tapi Kendrick Lamar yang menang. Sepertinya Grammy benar-benar memang cuma omong kosong dengan gerakan Time’s Up.
ADVERTISEMENT
Produser Grammy Ken Ehrlich berkeras bahwa "tidak mungkin kita benar-benar bersepakat dengan semua orang." Tapi cara Grammy memperlakukan Kesha, Lorde, dan nominator perempuan lainnya menunjukan siapa prioritas utama dari industri ini.
Grammy sepertinya takut untuk berdiri sungguh-sungguh di belakang para korban pelecehan seksual, karena jika hal itu dilakukan, maka tidak hanya lelaki yang Kesha maksud telah melecehkannya, yang sedang dilawan, tapi keseluruhan sistem yang membuat MEREKA tetap berkuasa.
Sepertinya Grammy juga pura-pura saja untuk tidak bisa menyadari posisi penting Kesha dalam perjuangan melawan kekerasan seksual yang terjadi di seluruh industri musik.
Menjelaskan apa maksud Kesha, sebenarnya berarti menjelaskan tentang memberantas keseluruhan sistem yang telah mengecewakannya dan begitu banyak penyanyi wanita lainnya - sebuah sistem yang tampaknya tidak ingin diubah oleh Grammy dan industri musik.
ADVERTISEMENT
Kesha menuduh industri musik telah gagal melindungi perempuan –ini adalah sebuah fakta tentang industri musik yang tidak diakui.
Tapi kebenaran yang menyedihkan adalah bahwa Praying akan selalu berbicara tentang zaman kita kecuali jika industri musik menunjukkan tanda-tanda ingin melakukan perubahan nyata selain hanya memberi dukungan moral melalui hashtag media sosial. (Anasiyah Kiblatovsky)