Warisan Cleopatra bagi Feminis Modern

Award News
oleh : pandangan Jogja
Konten dari Pengguna
22 Oktober 2018 19:55 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Award News tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Warisan Cleopatra bagi Feminis Modern
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Sangat sedikit nama perempuan yang dikenal dalam sejarah yang menduduki posisi penting. Mesir kuno adalah perkecualian. Banyak nama yang bisa disebutkan, seperti Cleopatra dan Hapshepsut. Mereka bahkan menjadi raja dan beberapa di antaranya bergelar firaun.
ADVERTISEMENT
Cleopatra (69 SM-30 SM), sebagai perempuan yang dikenal dalam tulisan-tulisan kuno dan film-film yang belum sepenuhnya kuno, memiliki reputasi yang luar biasa. Ia keturunan terakhir dari dinasti Ptolomeus yang memerintah Mesir hampir 300 tahun lamanya.
Cleopatra mengamankan posisinya, juga kerajaannya, dengan memanfaatkan pengaruhnya atas pemimpin Romawi Julius Caesar dan Mark Antony, dua figur yang memiliki pengaruh kuat di Barat ketika itu. Mesir di masa Cleopatra bisa bertahan lewat hubungannya dengan Romawi.
Lantas bagaimana hubungan itu bisa terjalin kuat? Bagi manusia modern--atau yang ditunjukkan di dalam film-film Hollywood misalnya--sepertinya dengan politik ranjang. Seakan-akan Caesar mau melindungi karena Cleopatra, seksi!
Kara Coney, profesor dalam bidang seni dan arsitektur Mesir di UCLA Amerika Serikat beberapa waktu lalu berbagi hasil penelitiannya tentang sejarah kuasa perempuan di Mesir kuno untuk Time.
Eksotika Mesir  (Foto: ANTARA/Andika Wahyu)
zoom-in-whitePerbesar
Eksotika Mesir (Foto: ANTARA/Andika Wahyu)
Melihat kuota penguasa perempuan bukanlah satu-satunnya cara melihat respresentasi kekuasaan perempuan. Sebab di masa lalu, isu representasi perempuan di posisi strategis bukan hal yang utama sebagaimana di negara modern, termasuk Indonesia yang mewajibkan 30 persen dari anggota parlemen perempuan.
ADVERTISEMENT
Di Mesir kuno, kuota mereka tidak sebanding dengan para raja laki-laki, bahkan mungkin hanya satu atau dua setiap rentang panjang kepemimpinan.
“Kisah-kisah perempuan penguasa di era Mesir Kuno mengungkap aspek sulit dari kekuatan perempuan dalam sejarah, dan satu lagi yang perlu diingat hari ini: meskipun sejumlah besar perempuan dalam posisi kekuasaan sering dilihat sebagai penanda kemajuan dalam pemerintahan dan perusahaan, sejarah menunjukkan bahwa yang penting bukanlah berapa banyak perempuan yang naik ke tingkat itu, tetapi apa yang mereka lakukan begitu mereka sampai di sana,” papar Coney.
Maka, menurut Kara Coney yang bukunya tentang penelitian ini akan diterbitkan National Geographic dengan judul "When Women Ruled the World: Six Queens of Egypt," yang terpenting bukanlah melihat kuota namun apa yang para pemimpin perempuan itu kerjakan dan seberapa besar pengaruh mereka dalam kelangsungan Mesir.
ADVERTISEMENT
Tragedi Ratu Mesir
Warisan Cleopatra bagi Feminis Modern  (2)
zoom-in-whitePerbesar
Menurut Kara Coney, di Mesir kuno, setidaknya enam wanita bertahta sebagai pengambil keputusan tertinggi di negeri itu, ini tidak termasuk puluhan orang lain yang bertindak sebagai ratu-bupati atau pendeta tinggi atau istri berpengaruh. Mesir Kuno memungkinkan lebih banyak perempuan berkuasa di dunia kuno daripada tempat lain di bumi.
Perempuan di Mesir digambarkan oleh dua dewi: Bastet dan Sekhmet. Bastet adalah putri dari Ra, sang dewa matahari. Dia adalah dewi api, kucing, pelindung rumah dan wanita hamil.
Bastet seperti halnya kucing yang memiliki dua sisi kepribadian, jinak dan agresif. Dia jinak karena berada di dalam rumah, memelihara. Dia agresif ketika melindungi.
Sementara Sekhmet adalah perempuan berkepala singa betina. Nafasnya mampu menciptakan gurun pasir, dia dipercaya sebagai pelindung firaun dan pemimpin pertempuran.
ADVERTISEMENT
Dalam kedua model itu, dengan kelembutan dan agresivitasnya, perempuan ternyata tetap memegang peran sama: melindungi dan memelihara patriarki. Perempuan Mesir lebih berpikiran maju.
Mereka berada di posisi strategis hanya untuk menyelamatkan perempuan. Mereka hendak menyelamatkan keduanya, lelaki dan perempuan. Tujuannya, agar sistem pemerintahan berjalan, dinasi Mesir tetap kokoh.
Merneith dari Dinasti Pertama hanya memerintah sampai putranya tumbuh lebih dewasa dan bisa memimpin kerajaan. Dan itulah mengapa Den menjadi raja dinasti yang paling lama hidup dan paling sukses. Neferusobek dari Dinasti 12 memerintah hanya karena dialah satu-satunya yang tersisa dari dinasti.
Patung Cleopatra (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Patung Cleopatra (Foto: Wikimedia Commons)
Hatshepsut dari Dinasti 18 memerintah untuk mempertahankan kekuatan keponakannya yang masih muda, dan “ratu” yang mengajarinya kehidupan seksual.
ADVERTISEMENT
Kala itu, perempuan bangsawan sekali pun tidak diperbolehkan untuk menduduki takhta kerajaan. Maka Hatshepsut mengubah namanya, yang artinya wanita paling mulia, menjadi lebih maskulin, Hatshepsu. Bukan hanya nama, ia juga menggunakan pakaian laki-laki dan menggunakan janggut lancip khas firaun.
Nefertiti dari Dinasti 18 harus menyelubungi ambisi dan diri femininnya dengan nama-nama maskulin. Dia hanya membuka jalan bagi laki-laki berikutnya yang akan menjadi raja, Tutankhamun, Firaun yang paling dikenal hari ini karena mayatnya yang tetap utuh di Lembah Para Raja. Tawosret dari Dinasti 19 juga merebut takhta seorang raja laki-laki yang kemudian dibunuh oleh seorang panglima atas pemberontakan Tawosret.
Terakhir adalah Cleopatra yang memimpin pemberontakan melawan keluarganya sendiri. Dia memang berhubungan seksual dengan Julius Caesar dan Marc Antony, tetapi tidak pernah menjadikan mereka sebagai kepala keluarga kecuali hanya sebagai “penyumbang sperma".
ADVERTISEMENT
Tetapi bahkan Cleopatra, yang menyebut dirinya sendiri sebagai dewi cinta dan keindahan--Hathor-- tidak dapat berbuat lebih selain sebagai ibu dari putra Ptolemuse XV dan terakhir, Kaisarion. Pada akhirnya, jika dia hidup untuk memerintah Mesir, alih-alih dibunuh oleh Octavianus, dia juga akan bertindak sebagai penampung belaka untuk kelangsungan sistem patriarkal yang lebih besar.
Enam ratu yang kuat, lima dari mereka menjadi firaun dalam hak mereka sendiri. Namun, masing-masing dan setiap dari mereka harus menyesuaikan diri dengan sistem kekuasaan patriarkal di sekitar mereka, daripada membentuk sesuatu yang baru. Kisah kekuatan perempuan di Mesir kuno adalah sebuah tragedi.
Untuk Agenda Siapa ?
Warisan Cleopatra bagi Feminis Modern  (4)
zoom-in-whitePerbesar
Sarah Huckabee Sanders. Sumber foto: Yahoo.com
Ketika melihat kekuatan perempuan di dunia saat ini, tidak pernah diasumsikan bahwa perempuan itu sedang meletakkan dasar bagi perempuan lain untuk menduduki tempat-tempat strategis tersebut selanjutnya. Jadi, siapa yang benar-benar dilayani oleh mereka?.
ADVERTISEMENT
Ambil contoh Inggris, dengan sistem parlementernya yang telah memilih dua perdana menteri wanita selama empat dekade terakhir. Tanyakan apakah Margaret Thatcher dan Theresa May menantang atau melindungi agenda yang digerakkan oleh laki-laki di sekitar mereka.
India dan Pakistan sama-sama pernah melihat para pemimpin perempuan yang hebat selama setengah abad terakhir, tetapi para wanita ini telah masuk ke dalam ruang kekuasaan atas nama ayah dan suami serta saudara mereka.
Ivanka Trump memiliki posisi (informal) di Gedung Putih, sebagai influencer dari ayahnya, Presiden Trump, tetapi otoritas itu berasal dari perannya yang tidak mengancam: sebagai seorang anak perempuan.
Ketika seorang wanita secara langsung menantang hak istimewa pria kulit putih, dia menghadapi kemungkinan ancaman seperti yang dialami oleh Christine Blasey Ford (profesor psikologi Palo Alto University yang akhir September lalu bikin gembar Amerika karena pengakuannya pernah mendapat pecelehan seksual dari pengacara kondang Amerika, Brett Michael Kavanaugh).
ADVERTISEMENT
“Dan mungkin tidak ada simbol yang lebih baik untuk dinamika ini daripada Sarah Huckabee Sanders (juru bicara pers Donald Trump), yang kekuatannya berasal dari berbicara atas nama seorang lelaki,” tandas Kara Coney.
Kekuatan perempuan dibutuhkan pada saat-saat krisis besar seperti suksesi raja, perang sipil, atau agresi imperial, tetapi hanya ketika semua harapan untuk pemimpin laki-laki hilang. Untuk sistem kerajaan Mesir yang ilahi, perempuan sebenarnya adalah pilihan terbaik untuk mempertahankan status quo, karena pemeliharaan mereka pada garis keluarga merupakan perlindungan patriarki itu sendiri.
Dan itu adalah tragedi kekuatan perempuan yang raja-raja perempuan Mesir berbisik kepada perempuan hari ini. Mematahkan langit-langit kaca adalah satu hal, tetapi sampai perempuan dapat bertindak dengan agenda mereka sendiri, kebanyakan wanita yang berkuasa, hari ini seperti juga kemarin atau kemarin dulu, sejatinya hanyalah melayani status quo. (Muhammad Aswar/YK-1)
ADVERTISEMENT