Konten dari Pengguna

Melihat Fenomena Flexing Melalui Lensa Sosiologi

Ayu Imtyas Rusdiansyah
Double degree student. Sociology at Universitas Brawijaya. PGSD at Universitas Terbuka. Master Teacher at Ruangguru. Founder and CEO of Ayrus Education. Author 50 books.
28 Juli 2023 7:35 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ayu Imtyas Rusdiansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Identitas, Kekuasaan, dan Eksklusi Sosial

Ilustrasi pamer kekayaan. Foto: Mallika Home Studio/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pamer kekayaan. Foto: Mallika Home Studio/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Fenomena flexing atau sering disebut juga sebagai "flex" adalah suatu praktik yang banyak ditemui dalam budaya populer dan media sosial, khususnya di platform seperti Instagram, TikTok, dan Twitter.
ADVERTISEMENT
Flexing ini merujuk pada tindakan atau perilaku seseorang yang menunjukkan kekayaan material, prestasi, atau kemampuan secara berlebihan dengan tujuan mendapatkan pengakuan, pujian, atau status sosial yang lebih tinggi dari orang lain.
Fenomena ini menarik perhatian banyak pihak, termasuk sosiolog, karena mencerminkan aspek-aspek penting dalam masyarakat modern terkait identitas, kekuasaan, dan eksklusi sosial.

Identitas Sosial dan Self-Presentation

Dalam perspektif sosiologi, identitas sosial adalah bagian dari self-concept individu yang terbentuk melalui interaksi sosial dengan orang lain dan lingkungannya. Flexing dapat dipahami sebagai bagian dari upaya individu untuk memperkuat dan mempertahankan identitas sosial mereka di hadapan orang lain.
Dengan menampilkan kekayaan dan prestasi secara berlebihan, individu yang melakukan flexing berusaha memperoleh pengakuan, apresiasi, dan penghargaan dari orang lain sebagai upaya untuk mengkonfirmasi identitas sosial mereka.
ADVERTISEMENT

Kekuasaan dan Hierarki Sosial

Fenomena flexing juga dapat dilihat sebagai refleksi dari struktur kekuasaan dan hierarki sosial dalam masyarakat. Individu yang memiliki akses lebih banyak kekayaan, sumber daya, atau prestasi cenderung memiliki posisi yang lebih tinggi dalam hierarki sosial.
Flexing berperan sebagai alat untuk mempertahankan atau meningkatkan posisi ini, sekaligus menciptakan kesenjangan antara mereka yang memiliki kemampuan untuk "ber-flex" dengan orang lain yang mungkin kurang beruntung secara ekonomi.

Peran Media Sosial dalam Penguatan Eksistensi

Kehadiran media sosial memainkan peran besar dalam memperkuat fenomena flexing. Platform seperti Instagram dan TikTok memberikan kesempatan bagi individu untuk memamerkan gaya hidup, barang-barang mewah, dan pencapaian mereka secara luas kepada audiens yang lebih besar.
ADVERTISEMENT
Namun, di balik tampilan glamor ini, terkadang ada sisi yang lebih kompleks, seperti tekanan untuk menjaga citra diri dan ketidakseimbangan antara citra yang diproyeksikan dan realitas sehari-hari.

Dampak Sosial dan Eksklusi

Fenomena flexing dapat mempengaruhi masyarakat dalam beberapa cara. Di satu sisi, flexing dapat memotivasi individu untuk mencapai lebih banyak dan mengembangkan aspirasi positif.
Namun, di sisi lain, flexing juga bisa menyebabkan perasaan rendah diri dan inferioritas pada orang-orang yang merasa tidak mampu bersaing dalam "perlombaan prestise" ini. Ini dapat menyebabkan eksklusi sosial dan memperkuat kesenjangan sosial antara kelompok yang memiliki dan tidak memiliki.
Fenomena flexing merupakan bagian dari dinamika sosial dalam masyarakat modern yang kompleks dan menarik perhatian para sosiolog. Melalui perspektif sosiologi, kita dapat memahami bahwa flexing berkaitan dengan identitas sosial, kekuasaan, dan eksklusi sosial.
ADVERTISEMENT
Fleksibilitas media sosial memperkuat dan memperluas fenomena ini, sekaligus membawa dampak sosial yang beragam. Sebagai masyarakat yang semakin terhubung dan global, pemahaman yang mendalam tentang fenomena seperti flexing membantu kita menghadapi berbagai tantangan sosial dan mencari solusi untuk mencapai kesetaraan dan kesejahteraan sosial yang lebih baik.