Konten dari Pengguna

Indonesia Mencari Ayah

Ayuhanas Satyavani Megantara
Mahasiswi Hubungan Internasional Universitas Brawijaya yang tertarik dengan isu sosial, budaya, dan kuliner.
5 Oktober 2023 8:46 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ayuhanas Satyavani Megantara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi. Foto: Juan Pablo/Pexels
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi. Foto: Juan Pablo/Pexels
ADVERTISEMENT
Ramai dalam perbincangan media sosial, Indonesia menempati peringkat ketiga di dunia sebagai fatherless country. Istilah fatherless merujuk terhadap peran ayah dalam keluarga yang tidak hadir secara psikis atau fisik dalam tumbuh kembang anak.
ADVERTISEMENT
Namun, pemberian peringkat fatherless country Indonesia ini sulit ditelusuri dari lembaga mana serta indikator dalam penilaiannya. Bahkan dalam laporan kumparanNEWS, tidak ada riset yang menyebut RI jadi negara fatherless ketiga di dunia.
Meski demikian, perbincangan fatherless diaminkan oleh beberapa netizen yang mengalami langsung pengalaman tanpa peran ayah dalam hidupnya dari sudut pandang seorang anak maupun dari pengamatan masyarakat sekitar.
Karakteristik fatherless Indonesia berbeda dibandingkan dengan negara Barat di mana tidak menikahnya orang tua dapat membuat ayah atau ibu tidak hadir secara optimal menjalankan kewajibannya. Kontras dengan Indonesia justru pernikahan membuat peran fisik seorang ayah hadir bagi anaknya, namun secara psikis tidak ada sehingga berpengaruh terhadap ikatan emosional antara ayah-anak.
ADVERTISEMENT
Hal ini tidak terlepas dari konsep traditional parenting di mana peran laki-laki sebagai kepala keluarga sekaligus ayah dan suami berimplikasi terhadap hubungan ayah-anak identik dengan material saja.
Ironisnya, nilai patriarki ini berpotensi besar menjadi warisan generasi berikutnya mengingat pendidikan paling dekat dan manjur bagi seorang anak adalah melihat contoh dari orang tuanya dalam keseharian.
Psikoanalitik feminisme menggunakan sekaligus mengkritik prinsip psikoanalisis Freud untuk mengangkat urgensi pengalaman masa kanak-kanak terutama seksualitas dan pembentukan kepribadian di masa depan dimulai dari penerapan isu gender dalam lingkup terkecil yaitu rumah.
Peran orang tua berlandaskan kebudayaan maupun kepercayaan yang dianut oleh keluarga. Sebagaimana rumah tangga adalah sebuah kesepakatan termasuk bagaimana peran suami-istri, ayah-ibu, mertua-menantu, dan kompleksitas hubungan di dalamnya dapat mempengaruhi bagaimana seorang anak mendapatkan pemahaman tentang maskulinitas dan feminin sejak dini.
ADVERTISEMENT
Perkembangan manusia dari fase anak hingga dewasa bisa saja berubah seiring dengan pergantian lingkungan pendidikan dan pergaulan, namun menjadi catatan adalah perubahan membutuhkan proses dan upaya lebih dari satu orang yang memiliki persamaan persepsi.

Apa Sebenarnya Peran Ayah?

Ilustrasi ayah dan anak membuat prakarya Foto: Shutterstock
Hampir dalam tiap kebudayaan menampilkan peran ayah sebagai the protector, the provider and the disciplinarian sedangkan peran ibu bertanggung jawab dalam mendidik kepribadian dan pertumbuhan anak dalam aktivitas sehari-hari.
Sosok ayah menjalankan peran breadwinner atau pencari nafkah bertanggung jawab dalam kelangsungan kebutuhan hidup seluruh keluarga sedangkan sosok ibu mengelola tanggung jawab domestik sehingga lebih dekat dengan anak.
Menurut konsep parenting tradisional, maskulinitas identik dengan laki-laki dengan harapan lebih besar dibandingkan perempuan sekaligus tuntutan untuk sukses dan menjadi penopang keluarga inti bahkan keluarga besar.
ADVERTISEMENT
Demikian pula perempuan seolah dibatasi langkah dan pemikirannya agar mampu menjalankan tugasnya sebagai ibu rumah tangga dengan baik. Padahal, peran ayah tidak selalu berlandaskan maskulinitas dan ibu tidak selalu feminitas—terpenting adalah kehadiran keduanya dalam menunjukkan keseimbangan antara maskulinitas dan feminitas meskipun terdapat perbedaan namun sesungguhnya sifatnya saling melengkapi dan membutuhkan satu sama lain.
Kehadiran ayah-ibu tidak selalu bermakna positif bagi perkembangan anak. Berdasarkan data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) dari keseluruhan 18.261 aduan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sejumlah 16.745 (79,5 persen) di antaranya adalah korban dari pihak perempuan sedangkan sisanya 2.948 menimpa korban dari pihak laki-laki.
KDRT merupakan kasus yang dianggap aib dan akar permasalahannya tidak jauh dari relasi laki-laki dengan perempuan dalam lingkup rumah tangga di mana salah satu mengeksploitasi dan tidak adanya keseimbangan tercipta.
ADVERTISEMENT
Masalah umum adalah salah satu orang tua atau bahkan keduanya bekerja sehingga memiliki power lebih atau di sisi lain waktu untuk keluarga yang berkurang.
Jelasnya, konsep patriarki telah mengotak-kotakkan peran laki-laki dan perempuan yang sebetulnya membuat mereka sendiri tidak selalu nyaman dalam sistem tersebut. Sehingga, kehadiran orang tua yang harmonis dalam menjalankan pembagian peranlah yang berpengaruh positif terhadap anak.

Working Dad

Ilustrasi kelelahan di tempat kerja. Foto: Vichien Petchmai/Getty Imges
Pekerjaan merupakan sebuah pride bagi pria. Istilah "bapak rumah tangga" bagi beberapa kalangan masyarakat masih terdengar tabu dan dianggap "bantuan alternatif" ketika peran ibu tidak ada. Tren pria melakukan pekerjaan domestik kian meningkat dan patut diapresiasi bahwa tidak ada stereotipe gender untuk pekerjaan tertentu.
Namun tetap saja, bayangan positif masyarakat soal "bapak rumah tangga" bukan "suami pengangguran" dengan kegiatan tiap hari menyeruput kopi, menyapu, dan dengan fisik lebih besar dari istri melakukan kegiatan domestik seperti menyapu dan memasak tanpa penghasilan.
ADVERTISEMENT
Stigma pekerjaan rumah tangga konon masih identik dengan pekerjaan natural alias dianggap sebagai sesuatu yang wajar dan cenderung diremehkan. Buktinya, Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) sejak tahun 2004 saja masih sulit di-goal-kan, sebab pekerjaan ini masuk ke ranah privat pemberi kerja dan jika dihitung sebagai suatu kerja maka sangat bernilai dan berjasa.
Pria sebagai working dad mengalami tuntutan tidak hanya dari keluarga melainkan juga tempat kerja. Dalam kondisi ideal, seharusnya seorang ibu hamil ditemani oleh sang suami sebelum melahirkan dan 12-39 minggu pasca melahirkan.
Ada regulasi cuti hamil yaitu maternity leave bagi working mom, paternity leave bagi working dad, dan paternal leave bagi pasangan dalam satu tempat kerja. Negara turut berperan dalam pemberian regulasi cuti kerja ini agar tempat kerja tetap memberikan status dan hak termasuk gaji yang sesuai sehingga ketika working mom or dad dapat kembali kerja seperti sedia kala setelah cuti.
ADVERTISEMENT
Tentu saja ini adalah kerangka Barat yang sulit diterapkan di negara berkembang seperti Indonesia terutama kalangan orang tua dari kalangan menengah ke bawah yang belum tentu mendapatkan upah selaras dengan kerja kerasnya.
Indonesia sendiri dalam UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan pemerintah memberikan cuti melahirkan ibu sebanyak tiga bulan timpang dengan cuti ayah hanya dua hari.
Di era modern, kapasitas menjadi bahan pertimbangan utama dalam pekerjaan. Hal ini juga yang membuat perempuan melangkah lebih jauh dengan modal pendidikan lebih tinggi dibandingkan generasi perempuan sebelumnya.
Ini merupakan sebuah kemajuan peradaban namun turut menjadi refleksi bagaimana kerangka kerja global membuat pegawai memiliki lebih banyak waktu untuk bekerja dibandingkan pemilik modal. Secara tidak langsung ekonomi global turut mempengaruhi ketahanan keluarga.
ADVERTISEMENT
Bahkan cuti kerja bagi suami menemani istri hamil menjelang melahirkan, anak baru lahir, atau keluarga sakit, masih menjadi polemik antara tempat kerja dengan pegawainya.
Dalam lanskap lebih besar, relasi pemilik modal dan pegawai turut mempengaruhi di mana pria yang memiliki resources lebih besar cenderung mampu memenuhi kebutuhan material dengan baik bahkan tanpa ragu hadir dan mendukung secara optimal tiap fase tumbuh-kembang anak.
Meskipun demikian, material bukan faktor utama di sisi lain di tengah kesederhanaan seorang ayah dapat menjalankan perannya sekaligus mengajarkan kesetaraan gender melalui aktivitas sehari-hari mulai dari sebelum berangkat kerja, memanfaatkan hari liburnya, dan menjalin hubungan dengan sang anak maupun ibunya melalui obrolan ringan.

Paradoks Fatherless

Ilustrasi ayah dan anak. Foto: Ivan_Karpov/Shutterstock
Setiap anggota keluarga memiliki peran penting demikian pula sosok seorang ayah dalam mendidik anak dan menopang keluarga. Ayah dan ibu saling melengkapi dan membutuhkan satu sama lain dalam kerja sama membangun rumah tangga untuk saling mendukung hidup satu sama lain.
ADVERTISEMENT
Memiliki anak merupakan pilihan hidup sekaligus tanggung jawab seumur hidup. Setidaknya dalam hubungan heterogen, kedua sosok orang tua hadir terlepas dari ikatan pernikahan atau tidak melalui hadirnya seorang anak. Psikoanalitik feminisme dengan gamblang menyatakan pengalaman semasa kanak-kanak memiliki pengaruh terhadap sikapnya ketika dewasa dalam bermasyarakat.
Saya sepakat sekaligus menyatakan pendapat bahwa sebuah keluarga ideal dengan posisi egaliter membutuhkan modal yang tidak sedikit. Pengorbanan dilakukan baik secara fisik maupun psikis demi sang anak sekaligus kesehatan jiwa raga ayah dan ibu.
Itu merupakan peribahasa asal Afrika yang secara implisit menunjukkan pertumbuhan dan perkembangan seorang anak merupakan tanggung jawab besar.
Ini tidak menakutkan melainkan menyadarkan bahwa fenomena fatherless memiliki keterkaitan dengan peran negara meliputi demografi penduduk, kondisi struktural maupun kultural—work-life balance bisa dilaksanakan oleh negara-negara Eropa sebab aktivitas industrinya yang dipindah ke negara berkembang—dan dampak globalisasi lainnya.
ADVERTISEMENT
Peringkat ketiga fatherless country Indonesia—sekali lagi meskipun tidak ada sumber ataupun penelitian yang jelas—mungkin bisa menjadi bahan refleksi pula bagi perumusan kebijakan pemerintah sebab keluarga merupakan unit terkecil negara.
Begitu pula peran ayah seyogyanya turut mengimplementasikan kesetaraan gender dan tidak terjebak paradoks patriarki yang menindas peran ibu, anak perempuan serta menonjolkan anak laki-laki.
Keluarga ideal merupakan kerja sama dengan landasan saling membutuhkan bukan membuat ketergantungan antara satu pihak terhadap pihak lain serta terbuka untuk renegosiasi ekspektasi peran gender.