Konten dari Pengguna

Mengupas Tuntas Perjodohan Kawin Paksa Roman Siti Nurbaya : Kasih Tak Sampai

azkia ramadan
Mahasiswi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
29 Oktober 2024 6:51 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari azkia ramadan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : Pixabay
ADVERTISEMENT
Roman Siti Nurbaya (Kasih Tak Sampai) Karya Marah Rusli merupakan salah satu karya sastra yang digolongkan sebagai mahakarya sepanjang masa oleh Balai Pustaka. Roman ini mengedepankan kisah cinta Siti Nurbaya dan Samsul Bahri yang kandas karena persoalan ekonomi. Marah Rusli dalam Roman ini juga mengedepankan sosok tokoh Datuk Maringgih sebagai salah satu tokoh sentral pemicu konflik dalam Romannya. Juga mengangkat ketidakadilan sosial cerita ini juga menggambarkan ketidakadilan sosial dalam masyarakat. Datuk Maringgih, sebagai representasi dari kekuasaan dan kekayaaan, menggunakan posisinya untuk menindas orang-orang yang kurang mampu seperti keluarga Siti Nurbaya. Hal ini menunjukkan bagaimana kekuasaan dan uang dapat disalahgunakan untuk kepentingan pribadi.
ADVERTISEMENT
Menyoroti peran gender dalam masyarakat Minangkabau pada masa itu, perempuan digambarkan sebagai pihak yang harus tunduk dan patuh kepada keputusan keluarga tanpa mempertimbangkan keinginan dan kebahagiaan mereka sendiri. Sikap kepatuhan Siti Nurbaya juga menunjukkan keberanian dalam ketidakadilan.

Tokoh dan Penokohan

Seorang gadis yang dapat dikatakan sempurna, karena bukan rupanya saja yang cantik, tetapi kelakuan, adab, dan sopan santunnya, serta kebaikan hatinya, tiadalah kurang daripada kecantikan parasnya. Ia juga cerdik dan pandai, sebab itu ia disukai dan disayangi oleh teman-temannya. Ia adalah seorang gadis yang setia mencintai Samsul Bahri dengan tulus, saat Siti Nurbaya harus terpaksa menikah dengan Datuk Meringgih, hatinya sangat terluka karena harus meninggalkan Samsul Bahri yang sudah menjadi kekasihnya saat itu.
ADVERTISEMENT
Siti Nurbaya rela berkorban karena ia tidak mau ayahnya masuk penja ia rela menikah dengan Datuk Maringgih.
Di saat Sitti Nurbaya sedang berduka cita atas kematian ayahnya? Tentu saja Sitti Nurbaya marah dan langsung mengusir Datuk Meringgih dari rumahnya dan ingin segera menceraikannya.
“Apa katamu?” kata Nurbaya, “Aku membunuh ayahku, celaka? Engkau yang membunuhnya! Pada sangkamu aku tiada tahu, perbuatanmu yang keji itu kepada ayahku? Engkaulah yang menjatuhkan dia, karena dengki khianatmu dan busuk hatimu.”
ADVERTISEMENT
Kalimat di atas menunjukan bahwa pengarang menggambarkan watak Siti Nurbaya menggunakan teknik dramatik dengan teknik reaksi tokoh.
Siti Nurbaya marah karena Datuk Meringgih menyalahkan dirinya yang telah membunuh ayahnya sendiri dari sini kita bisa mengetahui bahwa dibalik lembutnya hati Sitti Nurbaya, Ia juga akan marah saat dituduh hal yang tidak benar. Sitti Nurbaya tidak segan-segan ingin menceraikan Datuk Meringgih dan mengusirnya karena sudah tidak tahan lagi dengan perbuatan Datuk Meringgih yang keji.
Wataknya orangnya pandai, tingkah lakunya sopan dan santun, halus budi bahasanya, dapat dipercaya, gigih, penyayang, dan setia kawan. Halus bahasanya, walaupun ia rupanya sebagai seorang anak yang lemah-lembut, akan tetapi jika perlu, ia tidaklah takut menguji kekuatan dan keberaniannya dengan siapa saja lebih-lebih untuk membela yang lemah. Namun, seiring jalannya cerita saat Samsul Bahri berpangkat menjadi Letnan, ia berubah menjadi tokoh yang antagonis, seorang pengkhianat bangsa yang justru memerangi bangsa sendiri selagi berjuang melawan penindasan penjajah.
ADVERTISEMENT
Seorang laki-laki yang berwatak kikir, licik, penghasut, kejam, sombong, bengis, mata keranjang, penipu, selalu memaksakan kehendaknya sendiri, pangkat dan kepandaian pun tak ada, selain dari pada kepandaian berdagang. Datuk meringgih juga termasuk tokoh berkembang karena Datuk Meringgih mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan di awal memang tokoh ini termasuk tokoh antagonis tetapi di akhir cerita Datuk Meringgih mengalami perubahan perwatakan menjadi tokoh protagonis. Hal tersebut dapat dibuktikan pada kutipan berikut
“Setelah hadir sekalian, mulailah Datuk Meringgih membuka bicara. ‘Sebabnya maka kami minta datang ninik mamak, adik kakak, sanak saudara sekalian, mala mini berkumpul di sini, ialah karena hendak membicarakan aturan baru yang akan dipikulkan kompeni kepada kita, yaitu pembayaran uang belasting.”
ADVERTISEMENT
“ Jadi, aturan ini dibuat - buat saja oleh orang Belanda, untuk memeras kita, supaya sekering-keringnya."
Kutipan tersebut menunjukan bahwa sebenarnya Datuk Meringgih adalah pelopor atau dalang terhadap pemberontokan perkara Belasting di Padang, kutipan di atas menunjukan bahwa Datuk Meringgih mengingatkan bahwa aturan itu sebenarnya tidak layak untuk dipatuhi karena aturan itu hanya dibuat-buat Belanda saja.
D. Sultan Mahmud Syah (Ayah Samsul Bahri) : Memiliki sifat yang bijaksana, baik dalam bertingkah laku
Baginda Sulaiman sangat menyayangi anaknya (Siti Nurbaya)
ADVERTISEMENT
Penuh Perhatian
Ia terkesan penyayang dan penuh kasih sayang terhadap saudara sepupunya yang tak putus dirundung malang. Selain perhatiannya yang besar terhadap Sitti Nurbaya, ia pun terkesan sebagai sosok yang teguh dalam memegang prinsip hidup. Ialah penentang adat berpoligami yang dianut masyarakatnya.
ADVERTISEMENT
Nilai-nilai yang terkandung dalam roman Siti Nurbaya meliputi:
A. Religius
“Sekarang marilah kita nanti segala kehendak Tuhan dengan tawakkal dan menyerah.”
Baginda Sulaiman sedang membujuk anaknya Sitti Nurbaya agar tak bersedih hati.
Kutipan ini menunjukkan nilai karakter religius, sebab dari kutipan kalimatnya Baginda sulaiman mengajak Nurbaya untuk berserah diri dan bertawakal menerima segala azab sengsara yang menimpa hidupnya. Serta menyerah dalam artian menyerahkan segala apa yang akan terjadi dalam dirinya kepada Allah SWT.
“engkau maklum Samsu, perkawinannya itu tiada dengan sesuka hatinya dan tidak dengan sesuka hatiku, melainkan semata- mata karena takdir daripada Tuhan yang Maha Esa juga, tak dapat diubah lagi”. Baginda Sulaiman sedang menceritakan musibah yang menimpah Sitti Nurbaya Kepada Samsul Bahri.
ADVERTISEMENT
B. Jujur
“Engku muda janganlah marah! Bukannya sengaja hamba terlambat. Sebagai biasa, setengah satu telah hamba pasang bendi ini, untuk menjemput engku muda. Tetapi engku penghulu menyuruh hamba pergi sebentar menjemput engkau Datuk Maringgih, karena ada sesuatu yang hendak dibicarakan” Kusir Ali menjelaskan alasan keterlambatannya menjemput Tuannya yakni Samsulbahri.
C. Kerja Keras
“kedua bujang ini bekerjalah menurut perintah tuannya yang muda itu. Setelah pekerjaan diserambi muka, masuklah Samsu ke ruang tengah, lalu menyuruh mengatur meja panjang dua buah, dengan beberapa kursi makan.”
Kedua bujang yang bekerja dengan gigih membantu tuannya mempersiapkan segala kebutuhannya.
“Baiklah, jawab sekalian serdadu yang setia itu, lalu bertempiklah kami, menyerukan diri dengan kelewang, kepada musuh yang ada dimuka. Mujur! Sekalian serdadu yang telah kehilangan akal tadi menurut pula, sehingga pecahlah perang musuh di muka undur ke kiri dan ke kanan.”
ADVERTISEMENT
Samsul Bahri sedang mengatur siasat dengan serdadu-sedadunya untuk mengalahkan lawannya.
D. Rasa ingin tahu
“O, ya Sam. Tadi aku diberi hitungan oleh Nyonya Van Der Stier, tentang perjalanan jarum pendek dan jarum panjang pada suatu jam. Dua tiga kali kucari hitungan itu, sampai pusing kepalaku rasanya, tak dapat juga. Bagaimanakah jalannya hitungan yang sedemikian?”
Tokoh Nurbaya menanyakan pelajaran yang tidak diketahuinya kepada temannya Samsul Bahri.
E. Nilai Nasionalisme
Dimunculkan dalam roman tersebut saat Datuk Maringgih dengan kesatria melawan Samsul Bahri yang sudah bergabung tentara Belanda dan ingin menguasai wilayah Indonesia, Datuk Maringgih dengan segenap jiwa, raga, dan hartanya membela negaranya melawan penjajah, sebaliknya tokoh Samsul Bahri yang kerana sakit hati, patah hati terhadap istri Datuk Maringgih yaitu Siti Nurbaya merasa emosi dan salah langkah sehingga mendukung musuh / penjajah, dan rela melawan bangsanya sendiri
ADVERTISEMENT
F. Nilai budaya
Roman Siti Nurbaya mengangkat nilai budaya yaitu kawin paksa antara Siti Nurbaya dengan Datuk Maringih, di mana budaya itu masih sangat lekat di masyarakat Minangkabau pada masa itu karena faktor orang tua yang bangkrut, kelilit hutang, terhimpit ekomoni sehingga rela menjual anaknya untuk melunasi semua hutangnya dengan mengabaikan perasaan sang anak.