news-card-video
26 Ramadhan 1446 HRabu, 26 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Trekking Lava Merapi Bisa Mematikan Tanpa Manajemen Risiko

Azzahra Yudhistriani Putri
Mahasiswa Manajemen Bisnis Pariwisata, Universitas Indonesia
24 Maret 2025 12:33 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Azzahra Yudhistriani Putri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Gunung | sumber : freepik.com (jcomp)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Gunung | sumber : freepik.com (jcomp)
ADVERTISEMENT
Lava Tour Merapi selalu berhasil menarik ribuan wisatawan yang ingin merasakan langsung jejak letusan gunung paling aktif di Indonesia. Dengan menaiki jeep dan melintasi jalur ekstrem di lereng Merapi, banyak yang merasa sedang menjalani petualangan yang seru dan tak terlupakan. Namun di balik pengalaman yang memacu adrenalin itu, ada banyak hal yang sering kali tidak disadari. Bahaya bisa datang dari kondisi alam yang tidak terduga, fasilitas yang kurang memadai, hingga kelalaian manusia itu sendiri. Di sinilah pentingnya membahas tentang bagaimana manajemen risiko diterapkan di kawasan Lava Tour Merapi.
Ilustrasi jeep di lava tour merapi | sumber : instagram lavatourmerapiofficial
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi jeep di lava tour merapi | sumber : instagram lavatourmerapiofficial
Petualangan Seru Penuh Risiko
ADVERTISEMENT
Lava Tour Merapi di Yogyakarta telah menjadi ikon wisata petualangan yang menawarkan pengalaman menelusuri bekas letusan Gunung Merapi menggunakan mobil jip offroad. Wisatawan diajak menyusuri medan terjal, sungai kering, dan situs-situs seperti Museum Sisa Hartaku serta Bunker Kaliadem. Namun, di balik sensasi luar biasa ini, tersimpan potensi bahaya yang sangat nyata. Berdasarkan hasil penelitian oleh Agustin et al. (2022), kawasan wisata Lava Tour memiliki dua risiko ekstrem, lima risiko tinggi, dan dua risiko sedang yang tersebar di sepanjang rute wisata. Risiko tersebut mencakup medan berbatu dan berpasir, tebing tanpa pagar pengaman, kusen pintu rendah, hingga tangga curam tanpa pegangan tangan.
Penelitian lain oleh Sari (2013) menegaskan bahwa dalam konteks pariwisata Merapi, risiko tertinggi berasal dari aspek natural seperti awan panas, lava, dan gas beracun, serta aspek teknikal seperti kerusakan infrastruktur wisata. Risiko-risiko ini bersifat laten dan bisa terjadi kapan saja, terutama karena lokasi wisata berada di Kawasan Rawan Bencana II dan III​
ADVERTISEMENT
Memahami Manajemen Risiko di Tempat Wisata
Manajemen risiko dalam sektor pariwisata ekstrem seperti Lava Tour bukan hanya tentang memasang tanda bahaya atau membagikan helm. Menurut Agustin et al. (2022) dan Sari (2013), manajemen risiko harus dijalankan secara sistematis melalui empat tahapan yaitu identifikasi risiko, analisis risiko, respon risiko, dan monitoring.
Proses identifikasi dilakukan dengan mengenali semua potensi bahaya yang muncul selama aktivitas wisata, baik dari aspek fisik seperti jalan rusak dan tangga curam, maupun dari aspek perilaku wisatawan dan kinerja pengelola. Risiko-risiko tersebut lalu dianalisis berdasarkan seberapa sering kemungkinan terjadi dan seberapa besar dampaknya, untuk kemudian dikategorikan ke dalam skala risiko dari rendah hingga ekstrem dengan pendekatan ALARP (As Low As Reasonably Practicable).
ADVERTISEMENT
Setelah risiko diketahui, tahap penting selanjutnya adalah bagaimana merespons dan mengendalikannya secara konkret. Di sinilah konsep hirarki pengendalian risiko menjadi krusial. Pendekatan ini dimulai dari rekayasa teknik, seperti memperbaiki jalur jeep yang rusak, membangun pagar pengaman baru di tepi tebing, hingga menambahkan handrail di tangga bunker. Langkah berikutnya adalah pengendalian administratif, termasuk penyusunan SOP keselamatan, pelatihan rutin untuk pemandu wisata dan sopir jip, serta penerapan sistem sertifikasi kelayakan kendaraan dan pengemudi.
Selain itu, penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) seperti helm, sabuk pengaman, dan masker debu wajib diwajibkan bagi seluruh peserta tour, terutama di rute-rute berisiko tinggi. Terakhir, pengendalian juga harus mencakup perilaku preventif, yaitu edukasi kepada wisatawan untuk mematuhi instruksi pemandu, tidak melanggar rute yang ditetapkan, serta tidak mencoba jalur sendiri yang bisa berujung bahaya.
ADVERTISEMENT
Penerapan keempat strategi ini tidak boleh dilakukan setengah-setengah atau hanya pada musim ramai saja. Monitoring dan evaluasi harus menjadi bagian dari sistem kerja rutin pengelola, bukan hanya dilakukan saat terjadi insiden. Manajemen risiko bukan lagi sekadar saran, melainkan kebutuhan mendesak untuk menjamin keberlanjutan wisata ekstrem seperti Lava Tour Merapi. Dengan pendekatan yang sistematis dan berlapis, risiko memang tidak bisa dihilangkan sepenuhnya, namun bisa ditekan ke level yang paling minim dan terkendali.
Monitoring dan Evaluasi Risiko
Tahap monitoring dan evaluasi merupakan pilar terakhir sekaligus penguat dari seluruh proses manajemen risiko. Di sinilah setiap strategi yang telah diterapkan diuji efektivitasnya, apakah benar-benar mampu menurunkan tingkat risiko di lapangan atau justru menjadi prosedur formalitas semata. Evaluasi dilakukan secara berkala terhadap kondisi fisik jalur wisata, kelayakan teknis armada jip, kesiapan dan kompetensi sumber daya manusia, serta kepatuhan terhadap Standar Operasional Prosedur (SOP) yang berlaku. Selain itu, sistem peringatan dini terhadap aktivitas vulkanik Gunung Merapi juga harus menjadi bagian penting dari monitoring, mengingat status gunung yang sering berada dalam fase aktif.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks Lava Tour, hasil evaluasi di lapangan menunjukkan bahwa sistem monitoring belum berjalan optimal. Masih ditemukan jip wisata yang tidak lolos uji kelayakan teknis tetap beroperasi, pagar tebing yang rusak tidak segera diperbaiki, dan beberapa titik rawan seperti tangga curam atau jalur jeep berlumpur belum dilengkapi rambu dan pengamanan yang memadai. Selain itu, fasilitas penunjang keselamatan seperti poliklinik wisata dan pos pertolongan pertama belum tersedia secara permanen di lokasi, padahal keduanya merupakan elemen penting untuk merespons insiden darurat.
Monitoring juga harus mencakup perilaku wisatawan, karena tindakan nekat seperti memasuki jalur sungai dengan mobil pribadi, berdiri di atas jip saat berkendara, atau menolak arahan pemandu adalah bentuk ketidakpatuhan yang bisa memicu kecelakaan. Pengelola perlu mencatat dan menindaklanjuti pelanggaran semacam ini agar tidak terjadi berulang. Selain itu, keberhasilan pengendalian risiko tidak hanya dilihat dari ketiadaan insiden, tapi juga dari adanya respons cepat, dokumentasi lengkap, dan tindak lanjut sistemik setiap kali terjadi masalah di lapangan.
ADVERTISEMENT
Idealnya, monitoring dilakukan secara kolaboratif dengan melibatkan instansi terkait seperti Dinas Perhubungan, Dinas Pariwisata, Palang Merah Indonesia (PMI), hingga komunitas jip wisata. Dengan begitu, data yang terkumpul akan lebih akurat dan strategi peningkatan keselamatan bisa dirumuskan berdasarkan temuan nyata, bukan asumsi. Evaluasi hasil monitoring juga dapat digunakan untuk menyusun pelatihan lanjutan, pembaruan SOP, serta perbaikan sarana dan prasarana secara berkelanjutan.
Ilustrasi jip wisata | sumber : instagram lavatourmerapiofficial
Saat Manajemen Risiko Tidak Dijalankan dengan Serius
Dalam praktiknya, beberapa risiko telah terbukti menimbulkan insiden. Salah satu kasus yang mencuat adalah ketika sebuah mobil wisatawan terjebak di aliran Kali Kuning, jalur yang sebenarnya hanya diperuntukkan bagi jip wisata. Meski telah diperingatkan oleh pemandu, pengemudi tetap memaksakan diri dan akhirnya mobil terendam hingga satu jam. Peristiwa ini menunjukkan kegagalan dalam komunikasi risiko, serta minimnya edukasi terhadap wisatawan tentang medan dan batas keselamatan.
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, temuan bahwa sejumlah pengemudi jip mengonsumsi obat keras saat bekerja dan masih banyak armada tidak lolos uji kelayakan fisik, menunjukkan lemahnya pengendalian administratif. Padahal, manajemen risiko menuntut pengawasan terhadap SDM, peralatan, dan kepatuhan terhadap SOP sebagai langkah preventif utama.
Edukasi Wisatawan dan SOP Lapangan Harus Diperkuat
Salah satu komponen penting dalam manajemen risiko yang diangkat oleh Agustin et al. adalah keterlibatan wisatawan dan pemandu wisata. Wisatawan sering kali menjadi penyebab risiko itu sendiri, seperti berdiri di atas jip saat kendaraan berjalan, duduk di tepi pagar tebing, atau masuk jalur ekstrem tanpa pengetahuan medan. Edukasi menjadi bentuk pengendalian administratif yang sangat krusial. Sayangnya, dalam banyak kasus, briefing keselamatan masih belum menjadi standar operasional yang dilakukan sebelum wisata dimulai.
ADVERTISEMENT
Pelatihan terhadap pemandu wisata dan sopir jip sebenarnya telah dilakukan oleh Dinas Pariwisata dan PMI, namun belum dibarengi dengan penyediaan fasilitas yang mendukung, seperti ruang P3K yang layak, rambu tahan cuaca, dan jalur evakuasi yang ditandai jelas.
Manajemen Risiko Adalah Nyawa Wisata
Lava Tour Merapi menawarkan pengalaman luar biasa yang tak semua tempat bisa berikan. Tapi pengalaman ini hanya akan tetap bermakna jika bisa dinikmati tanpa mengorbankan keselamatan. Manajemen risiko adalah jantung dari wisata ekstrem, bukan penghalang keseruan. Tanpa penerapannya yang konsisten, petualangan bisa berubah menjadi tragedi.
Wisata edukatif seperti Lava Tour Merapi seharusnya menjadi contoh bagi destinasi lain tentang bagaimana kawasan pasca-bencana bisa dikembangkan secara produktif, edukatif, dan tetap aman selama manajemen risiko berjalan sebagaimana mestinya. Keselamatan bukan sekadar tanggung jawab pengelola, tapi komitmen bersama antara wisatawan, pelaku wisata, dan pemerintah.
ADVERTISEMENT
Referensi