Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Menakar Perlunya Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam RUU KUHAP
20 Oktober 2023 21:55 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Bagus Mizan Albab tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dewan Perwakilan Rakyat ("DPR") sudah menyiapkan daftar Program Legislasi Nasional ("Prolegnas") untuk tahun 2024 di mana Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana perubahan dari Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 ("KUHAP") masuk ke dalam salah satu daftar prioritas tersebut.
ADVERTISEMENT
Salah satu pengaturan dalam rancangan KUHAP yang menjadi perhatian dan memiliki dampak signifikan dalam hukum acara pidana yaitu adanya Hakim Pemeriksa Pendahuluan atau yang biasa dikenal dengan istilah Judicial Scrutiny. Dalam rancangan KUHAP sebagaimana tersebut di atas, dengan adanya hakim pemeriksa pendahuluan, merupakan sebagai pengganti dari lembaga praperadilan. Dengan kata lain, lembaga praperadilan akan ditiadakan dan diganti dengan hakim pemeriksa pendahuluan.
Lalu, bagaimana pengaturan Hakim Pemeriksaan Pendahuluan tersebut? Apakah adanya Hakim Pemeriksaan Pendahuluan dapat dinilai sebagai langkah positif terhadap penegakan hukum mengingat adanya pengawasan dari pengadilan langsung terhadap upaya paksa dan tindakan lain yang dilakukan oleh penyidik? atau justru mempersulit pekerjaan Kejaksaan dan Kepolisian dalam melakukan upaya paksa dan penetapan tersangka, serta tindakan lainnya karena perlu adanya koordinasi langsung terhadap pengadilan?
ADVERTISEMENT
Pengaturan Praperadilan
Konsep praperadilan, pada dasarnya terinspirasi dari keberadaan prinsip habeas corpus di dalam sistem peradilan Anglo Saxon. Habeas Corpus Act 1679 menuntut pejabat polisi atau jaksa mengeluarkan perintah penahanan yang sah melalui surat perintah pengadilan. Hal ini bertujuan agar memberikan jaminan fundamental terhadap perlindungan hak asasi manusia terutama dalam hal hak kemerdekaan.
Lembaga praperadilan lahir karena adanya dorongan karena tidak tersedianya lembaga yang memiliki fungsi untuk mengawasi dan menilai upaya paksa yang menjamin Hak Asasi Manusia. Konsep lembaga praperadilan di dalam KUHAP sebenarnya juga telah mengalami perubahan melalui putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, di mana lembaga praperadilan memiliki kewenangan untuk memeriksa dan memutus mengenai; (i) sah atau tidaknya penangkapan dan penahanan; (ii) penghentian penyidikan dan penuntutan; (iii) permohonan ganti kerugian dan rehabilitasi; (iv) sah atau tidaknya penggeledahan; dan (v) penetapan tersangka.
ADVERTISEMENT
Selain itu, melalui Putusan Pengadilan Negeri Nomor 32/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel, hakim kembali memperluas kewenangan praperadilan hingga termasuk pengujian keabsahan pemblokiran rekening. Dengan demikian, pada dasarnya pengaturan praperadilan sudah mengalami banyak penyesuaian seiring dengan perkembangan zaman.
Kekurangan Lembaga Praperadilan
Meskipun lembaga praperadilan sudah mengalami banyak penyesuaian melalui putusan Mahkamah Konstitusi maupun putusan pengadilan negeri, lembaga praperadilan dinilai masih kurang efektif dalam mencapai tujuan utamanya yaitu memberikan jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia.
Lebih lanjut, berdasarkan riset Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), kelemahan praperadilan di antaranya adalah sifat post factum dan pasif ini yang dirasa gagal dalam melindungi hak asasi manusia karena kewenangan tersebut baru bisa digunakan setelah adanya permohonan. Sedangkan apabila permohonan tersebut dikabulkan, sejatinya pelanggaran hak asasi manusia tersebut telah terjadi dan tidak ada pencegahan di dalamnya.
ADVERTISEMENT
Permasalahan kedua yang menjadi sorotan serius adalah pengaturan hukum acara praperadilan yang belum jelas. Sebagai bagian dalam sistem peradilan pidana, praperadilan dianggap sebagai bagian hukum acara pidana. Akan tetapi, dalam praktiknya, hukum acara yang digunakan justru menggunakan hukum acara perdata karena sifatnya permohonan.
Konsekuensi dari digunakannya hukum acara perdata dalam praperadilan adalah beban pembuktian yang harus dibuktikan oleh pemohon. Hal ini tentu sangat sulit bagi pemohon mengingat pemohon hanya akan mengandalkan penjelasan dan rasionalisasi ketidakabsahan tindakan penahanan atau alasan lain mengapa dia tidak seharusnya ditahan sedangkan bukti surat dapat digunakan dengan mudah oleh termohon.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian dari kekurangan terhadap lembaga praperadilan tersebut, pembuat undang-undang dirasa menganggap perlu untuk membuat mekanisme baru terhadap persoalan ini, yaitu dengan adanya hakim pemeriksa pendahuluan.
Konsep Hakim Pemeriksa Pendahuluan
Hakim pemeriksa pendahuluan ("HPP") memiliki tugas lebih dan wewenang lebih luas dan lengkap apabila dibandingkan dengan konsep lembaga praperadilan dalam KUHAP. Istilah HPP pertama kali dikenal dengan istilah hakim komisaris sebagaimana termuat dalam rancangan KUHAP yang sebelumnya yaitu tahun 2004. Model hakim komisaris ini mengambil model pengawasan yang menjadi tradisi sistem peradilan Eropa Kontinental.
Hakim komisaris diperkenalkan sebagai suatu lembaga hakim yang telah berperan aktif dalam pemeriksaan pendahuluan yaitu pada tahap penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan surat.
ADVERTISEMENT
Perlu diketahui bahwa peran dan tugas HPP mirip dengan Guidance per le indagini preliminari di Italia yang bertugas untuk mengawasi jalannya penyidikan dan penuntutan serta berfungsi untuk mengawasi menentukan layak atau tidaknya suatu perkara yang diajukan ke pengadilan.
Sebagaimana disebutkan di atas, kewenangan yang terdapat dalam HPP jauh lebih luas dibanding lembaga praperadilan dalam KUHAP saat ini. kewenangan tersebut terbagi ke dalam beberapa pasal yang terpisah dalam rancangan KUHAP. Penulis setidaknya menghitung terdapat 10 (sepuluh) kewenangan HPP dalam menetapkan dan memutuskan.
ADVERTISEMENT
Atas kewenangan yang terdapat dalam HPP, sebenarnya dimaksudkan untuk memperbaiki kelemahan yang terdapat dalam praperadilan dan harapan agar proses menjadi lebih cepat karena mengurangi beban kerja hakim pengadilan negeri. Lalu apakah HPP akan berjalan efektif sebagaimana maksud dari pembentuk undang-undang?
Pro Kontra
Ditinjau dari internal pengadilan, adanya HPP memberikan pengalihan kewenangan dari Ketua Pengadilan kepada HPP setidaknya dalam mengeluarkan surat izin penggeledahan dan penyitaan yang tidak lagi dikeluarkan oleh Ketua pengadilan negeri melainkan oleh HPP.
Selanjutnya, perbedaan dalam praperadilan dengan HPP yaitu sifat aktif yang dimiliki oleh HPP. Hal ini berbeda dengan praperadilan di mana hakim bersifat pasif. HPP dalam hal ini melakukan dalam inisiatifnya sendiri (Pasal 111 rancangan KUHAP).
ADVERTISEMENT
Terhadap perluasan kewenangan tersebut, ternyata tidak selamanya ditanggapi secara positif. Akademisi Romli Atmasasmita menilai bahwa keberadaan Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam sistem peradilan pidana Indonesia akan memicu meluasnya konflik antar lembaga kekuasaan kehakiman yang tidak kunjung selesai.
Begitu juga dengan Wakil menteri hukum dan HAM, Eddy OS Hiariej, menyatakan ketidaksetujuannya akan kehadiran Hakim Pemeriksa Pendahuluan karena menurut beliau, kinerja aparat hukum akan terhambat dengan lembaga baru ini karena sedikit-sedikit tindakan hukum akan digugat.
Hal ini berbeda dengan pandangan dari Andi Hamzah selaku Ketua Tim Perumus RUU KUHAP menyatakan bahwa pada prinsipnya hakim pemeriksa pendahuluan ini sama dengan hakim praperadilan sekarang dengan kewenangan yang ditambah yaitu terkait perpanjangan penahanan, izin penggeledahan, penyitaan, izin penyadapan. Di mana hal ini bertujuan mengurangi beban hakim pengadilan negeri, sehingga bisa konsentrasi pada persidangan perkara perdata, pidana dan seterusnya.
ADVERTISEMENT
Penyelesaian Permasalahan
Menurut hemat penulis, pembuat undang-undang melihat terdapat kelemahan dalam substansi praperadilan sehingga mencoba untuk membentuk HPP sebagai sebuah penawaran solusi untuk mengatasi persoalan kelemahan dalam praperadilan. Memang terdapat pro dan kontra, oleh sebab itu, penulis berharap apa pun nanti pengaturan yang terdapat dalam KUHAP baru, adalah pengaturan yang mampu memberikan solusi atas kelemahan lembaga praperadilan saat ini.
Pembentuk undang-undang perlu untuk mendengarkan masukan atas pandangan yang tidak setuju terhadap adanya HPP dalam KUHP baru untuk selanjutnya dicarikan solusi, sebab bagaimanapun konsep HPP pada prinsipnya sudah sangat baik. Hal ini sangat penting, tidak hanya sebagai bentuk peningkatan penegakan hak asasi manusia, melainkan agar lembaga aparat penegak hukum dapat semakin memberikan pengawasan dan koordinasi yang baik bagi penegakan hukum di Indonesia.
ADVERTISEMENT