Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Sosial Media dan Fenomena “FYP Culture” di Kalangan Gen Z
16 Oktober 2024 9:57 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Nadia Alfira tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di era digital, sosial media seperti TikTok, Instagram, dan Twitter menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari, terutama bagi Gen Z. Salah satu fenomena menarik yang muncul adalah budaya “FYP” (For You Page) yang menguasai pikiran dan perilaku netizen. Fenomena ini bukan sekadar mengikuti tren atau mendapatkan perhatian, tetapi juga membawa dampak yang jauh lebih luas terhadap cara anak muda berinteraksi, mencari validasi, dan memengaruhi masyarakat secara keseluruhan.
ADVERTISEMENT
1. “FYP or Nothing”: Obsesinya Gen Z pada Konten Viral
FYP di TikTok telah menjadi semacam tolak ukur kesuksesan bagi kreator konten. Konten yang masuk ke FYP dianggap sebagai “pencapaian” karena bisa mendatangkan ratusan ribu hingga jutaan views dalam waktu singkat. Bagi Gen Z, FYP adalah kesempatan emas untuk mendapatkan popularitas instan—dan ini menjadi daya tarik utama. Tidak heran, banyak dari mereka yang berlomba-lomba membuat konten kreatif, lucu, atau bahkan kontroversial hanya demi viral.
Namun, di balik keinginan untuk masuk FYP, ada tekanan besar. Banyak kreator konten yang merasa harus terus-menerus membuat video baru agar tetap relevan. Tekanan ini bisa menyebabkan burnout, stres, atau bahkan rasa rendah diri jika konten mereka gagal viral. Hal ini mencerminkan sisi gelap dari budaya “FYP or nothing” di mana validasi diri bergantung pada jumlah likes, views, dan komentar yang mereka dapatkan.
ADVERTISEMENT
2. Drama dan Kontroversi: Daya Tarik dan Bahayanya
Salah satu tren yang sering muncul di FYP adalah konten drama atau kontroversial. Entah itu pertengkaran antar-selebgram, gosip, atau debat panas tentang isu tertentu, drama selalu berhasil menarik perhatian netizen. Sayangnya, fenomena ini juga menunjukkan bagaimana sosial media sering kali memanfaatkan emosi negatif untuk menarik engagement.
Gen Z, yang tumbuh di era digital, sering kali terjebak dalam lingkaran drama ini. Mereka terlibat dalam perdebatan panas, memilih sisi, dan tak jarang melakukan “cyberbullying” terhadap pihak yang dianggap salah. Ini menunjukkan bagaimana sosial media bisa menjadi lingkungan yang toksik jika tidak digunakan dengan bijak. Konten drama memang menarik perhatian, tapi juga bisa merusak hubungan sosial dan memicu konflik yang tak perlu.
ADVERTISEMENT
3. Tren Self-Validation: Ketika Likes dan Views Menjadi Ukuran Diri
Dalam dunia sosial media, validasi eksternal menjadi sangat penting. Banyak anak muda yang merasa nilai diri mereka diukur dari seberapa banyak likes atau views yang mereka dapatkan. Fenomena ini dikenal sebagai “self-validation” di mana seseorang merasa baik atau buruk tentang dirinya berdasarkan respon netizen terhadap konten mereka.
Hal ini bisa berdampak serius terhadap kesehatan mental. Ketika konten tidak mendapatkan respons yang diharapkan, perasaan kecewa, insecure, bahkan depresi bisa muncul. Di sisi lain, konten yang viral sering kali mendorong seseorang untuk terus-menerus mengejar angka yang lebih tinggi, membuat mereka kehilangan fokus pada hal-hal yang lebih penting dalam hidup. Gen Z perlu lebih sadar bahwa media sosial hanyalah satu aspek dari kehidupan, dan validasi sejati seharusnya datang dari diri sendiri, bukan dari angka di layar.
ADVERTISEMENT
4. Fenomena “Sosial Media Activism”: Suara Gen Z di Dunia Nyata
Di balik kehebohan FYP dan drama, sosial media juga menjadi alat yang kuat bagi Gen Z untuk menyuarakan perubahan. Di Indonesia, fenomena “sosial media activism” semakin terlihat, di mana banyak anak muda memanfaatkan platform ini untuk menggalang dukungan terhadap isu-isu sosial, politik, dan lingkungan.
Contohnya, kampanye lingkungan seperti #BreakFreeFromPlastic dan gerakan sosial seperti #PapuanLivesMatter mendapatkan perhatian besar berkat dukungan dari netizen. Di era di mana informasi bisa menyebar dengan cepat, sosial media memungkinkan Gen Z untuk menjadi agen perubahan, menyebarkan kesadaran, dan memobilisasi masyarakat dalam skala besar.
Namun, aktivisme digital ini juga membawa tantangan. Banyak yang khawatir bahwa gerakan ini hanya bersifat sementara, atau yang disebut sebagai “slacktivism”—di mana seseorang terlihat peduli hanya karena mereka mem-posting sesuatu, tanpa tindakan nyata di dunia nyata. Gen Z perlu memastikan bahwa dukungan mereka di sosial media diikuti dengan aksi konkret agar dampak dari gerakan tersebut benar-benar terasa.
ADVERTISEMENT
5. Tantangan Post-Truth Era: Kebanjiran Informasi dan Disinformasi
Salah satu bahaya terbesar dari era sosial media adalah kebanjiran informasi yang tidak terfilter. Dengan banyaknya konten yang berlalu-lalang di FYP atau timeline, Gen Z sering kali sulit membedakan antara informasi yang valid dan hoaks. Di era post-truth ini, di mana fakta sering kali dibelokkan untuk mendukung agenda tertentu, Gen Z harus lebih kritis dalam menerima dan menyebarkan informasi.
Salah satu tren yang mengkhawatirkan adalah maraknya hoaks dan teori konspirasi yang menyebar cepat di sosial media. Ini bisa menciptakan kebingungan, bahkan membahayakan masyarakat jika informasi yang salah diterima mentah-mentah. Oleh karena itu, penting bagi anak muda untuk belajar literasi digital, memverifikasi sumber informasi, dan tidak ikut-ikutan menyebarkan informasi yang belum jelas kebenarannya.
ADVERTISEMENT
Fenomena pernetizenan di sosial media, khususnya budaya FYP, membawa banyak perubahan bagi cara Gen Z berinteraksi dan berpikir. Di satu sisi, sosial media memberikan platform untuk kreativitas, koneksi sosial, dan aktivisme. Namun, di sisi lain, tekanan untuk selalu viral, risiko drama yang berlebihan, serta tantangan informasi yang salah menjadi sisi gelap yang perlu dihadapi dengan bijak.
Bagi Gen Z, penting untuk menyadari bahwa meskipun sosial media memiliki kekuatan besar, kendali sebenarnya ada di tangan mereka sendiri. Dengan menggunakan platform ini secara positif dan bijak, mereka bisa membentuk masa depan yang lebih cerah, baik bagi diri sendiri maupun bagi masyarakat secara keseluruhan.
nadia alfira
mahasiswi administrasi kesehatan