news-card-video
19 Ramadhan 1446 HRabu, 19 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Nasib Minyak Sawit Indonesia di Tengah Transisi Energi Terbarukan

Badriyatus Salma
Mahasiswa S1 Hubungan Internasional UNS
19 Maret 2025 13:14 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Badriyatus Salma tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Palm oil product illustration. Sumber ilustrasi: iStock
zoom-in-whitePerbesar
Palm oil product illustration. Sumber ilustrasi: iStock
ADVERTISEMENT
Transisi menuju penggunaan energi hijau atau terbarukan tengah menjadi fokus dunia untuk mengurangi dampak perubahan iklim. Transisi ini sejalan dengan konsep teori hijau yang muncul akibat krisis lingkungan yang semakin parah seiring perkembangan industri. Teori ini mengkritik perilaku dan kebijakan yang dibuat manusia selama ini hanya berfokus pada kepentingannya sendiri (antroposentris) sehingga seringkali mengesampingkan faktor lingkungan (ekosentris). Aktivitas manusia seperti deforestasi, eksploitasi sumber daya alam, pembangunan industri dan infrastruktur, telah menjadi penyebab utama terjadinya kerusakan lingkungan. Kelompok environmentalist terus menyuarakan perlunya mengadopsi kebijakan yang lebih ketat untuk melindungi lingkungan salah satunya melalui upaya transisi menuju penggunaan energi terbarukan.
ADVERTISEMENT

Uni Eropa Mempercepat Transisi Menuju Energi Terbarukan

Sebagai upaya untuk menurunkan tingkat emisi gas rumah kaca dan mendorong penggunaan energi terbarukan, negara-negara Uni Eropa menyepakati kebijakan Renewable Energy Directive (RED) sejak tahun 2009. Pada 2018 kebijakan tersebut diperbarui menjadi kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II) dengan komitmen untuk meningkatkan target konsumsi energi terbarukan paling tidak mencapai 32% dari total kebutuhan energinya pada tahun 2030. Pembaruan tersebut bertujuan untuk mempercepat transisi menuju energi terbarukan melalui pembaruan target dan kriteria keberlanjutan yang lebih ketat. Melalui kebijakan RED II pemerintah Eropa memperketat syarat bioenergi yang masuk termasuk memastikan bahwa produk kelapa sawit yang masuk ke pasar Eropa berasal dari produksi yang berkelanjutan dan mematuhi standar lingkungan. Kebijakan tersebut juga membatasi penggunaan biofuel berbasis kelapa sawit karena dinilai tidak ramah lingkungan dan masuk dalam kategori produk dengan risiko Indirect Land Use Change (ILUC) tinggi. Bahkan baru-baru ini, Uni Eropa baru saja memberlakukan Undang-Undang tentang deforestasi atau yang disebut European Union Deforestation Regulation (EUDR) pada Mei 2023. Buntut dari kebijakan ini, Uni Eropa melarang impor minyak kelapas sawit dan produk turunanya dari Indonesia yang diproduksi di lahan hasil penggundulan hutan atau lahan gambut.
ADVERTISEMENT

Potensi Kelapa Sawit Indonesia dan Tantangannya di Pasar Uni Eropa

Poteret aktivitas di perkebunan kelapa sawit. Foto: iStock
Saat ini Indonesia masih memegang posisi teratas sebagai negara produsen kelapa sawit terbesar di dunia. Menurut data yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, pada tahun 2022 luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia mencapai 14,99 juta hektar. Sementara di tahun yang sama, produksi minyak kelapa sawitnya mencapai 45,58 juta ton dengan nilai ekspor atas produk minyak kelapa sawit (CPO), olahan, dan turunannya mencapai US$ 39,28 miliar. Menurut pernyataan dari Kementerian Pertanian (Kementan), Industri pengolahan kelapa sawit menjadi sektor penting bagi perekonomian Indonesia. Sektor ini mampu menyerap setidaknya 16 juta tenaga kerja dan berkontribusi sebesar 3,5% terhadap total PDB Indonesia.
ADVERTISEMENT
Perjalanan ekspor minyak kelapa sawit ke pasar eropa saat ini sedang mengalami banyak kendala. Dengan disepakatinya kebijakan RED II menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia untuk menjaga agar nilai ekspor minyak sawit ke pasar eropa tidak turun. Berdasarkan data BPS yang dilaporkan oleh katadata, pada periode Januari - September 2019, ekspor minyak sawit Indonesia ke Uni Eropa mengalami penurunan sebesar 27,89%, menjadi US$ 1,72 miliar dibandingkan periode tahun sebelumnya. Akan tetapi Indonesia tidak dapat menutup mata bahwa Uni Eropa masih menjadi pangsa pasar strategis bagi produk minyak kelapa sawit Indonesia, apalagi melihat tren konsumsi minyak nabati di kawasan tersebut terus meningkat. Tantangan yang ada menunjukkan perlunya Indonesia untuk beradaptasi dengan cepat. Transisi menuju praktik produksi berkelanjutan yang ramah lingkungan perlu diupayakan untuk membangun citra industri kelapa sawit Indonesia di pasar global.
ADVERTISEMENT

Praktik Produksi Kelapa Sawit Berkelanjutan

Menghadapi tantangan perubahan iklim dan ketatnya standarisasi produk minyak sawit, praktik produksi yang berkelanjutan merupakan langkah penting untuk memastikan keberlangsungan industri kelapa sawit di Indonesia.
Pemerintah perlu mendorong percepatan transisi industri kelapa sawit berkelanjutan melalui skema pemberian insentif, subsidi, sosialisasi, dan kerja sama internasional misalnya melalui Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) maupun upaya diplomasi dengan Uni Eropa untuk mencari alternatif terbaik bagi kedua pihak. Hal ini dalam rangka menjaga nilai ekspor kelapa sawit Indonesia tanpa mengesampingkan komitmen untuk turut berperan mengurangi emisi gas rumah kaca.
Tak kalah penting, untuk dapat memasuki pasar Eropa, produsen kelapa sawit Indonesia harus mendapatkan sertifikasi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Sertifikasi ini menjamin bahwa produksi kelapa sawit memenuhi kriteria keberlanjutan yang telah disepakati secara internasional. Saat ini perusahaan dan petani sawit di Indonesia yang berhasil mendapat sertifikat RSPO semakin bertambah, antara lain PT PP Lonson Sumatra Indonesia, PT Mutu Agung Lestari, dan yang terbaru Asosiasi Petani Sawit Muara Batangtoru (PSMB) dan Asosiasi Sawit Jaya Lestari Saseba (SJLS) di Tapanuli resmi menerima sertifikasi RSPO dalam acara Konferensi Meja Bundar Tahunan RSPO 2023. Dua asosiasi ini menaungi sebanyak 595 anggota dengan total luasan pengelolaan 895,51 hektare. Akan tetapi, meskipun Indonesia telah mendapatkan sertifikat RSPO sejak tahun 2008, namun jumlahnya masih sedikit dibandingkan dengan jumlah perusahaan di negara-negara lain, terutama di Malaysia. Hal ini utamanya dikarenakan proses sertifikasi yang sulit dan biaya yang dibutuhkan cukup mahal.
ADVERTISEMENT
Saat ini Indonesia juga telah mengadopsi sertifikat RSPO dengan mengeluarkan sertifikat Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan bahwa sesuai dengan arahan dari Bapak Presiden Joko Widodo dalam upaya mengakselerasi pembangunan kelapa sawit berkelanjutan, telah diterbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia, yang biasa dikenal dengan Indonesian Sustainable Palm Oil atau ISPO.
Pemerintah bahkan menyiapkan insentif bagi perusahaan pemegang sertifikat ISPO. Langkah ini guna memastikan industri kelapa sawit di Indonesia beroperasi dengan menerapkan prinsip berkelanjutan dan ramah lingkungan. Proses dan sertifikasi ISPO tentunya relatif lebih cepat dan murah dibandingkan proses sertifikasi RSPO. Akan tetapi, sertifikat ISPO belum diakui secara internasional, sehingga perlu upaya pengembangan lebih lanjut agar berhasil mendapatkan pengakuan dari pasar internasional.
ADVERTISEMENT