Ironi Solidaritas Sosial di Tengah Pandemi

Badrul Arifin
Alumnus S1 Manajemen dan Kebijakan Publik FISIPOL UGM. Aktivis Sanggar Maos Tradisi (SMT). Pernah bekerja di Direktorat Otonomi Daerah BAPPENAS.
Konten dari Pengguna
4 Mei 2020 13:54 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Badrul Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ironi Solidaritas Sosial di Tengah Pandemi
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Badai Covid-19 yang mendera Indonesia rupanya mendatangkan ‘’hikmah’’ tersendiri khususnya bagi tingginya solidaritas sosial antar kelompok masyarakat. Pada kajian sosiologi, pulihnya simpul sosial itu menjadi modal sosial (social capital), yang bermanfaat untuk memperkuat ikatan sosial dan kerjasama antar kelompok sosial. Termasuk saat menghadapi pandemi corona seperti saat ini.
ADVERTISEMENT
Jatuhnya korban, angka penderita yang terus menanjak setiap hari, serta belum ditemukannya cara yang ampuh untuk menanggulangi wabah corona membuat simpul-simpul sosial yang sebelumnya tergerus oleh individualisme, kini kembali pulih. Anak bangsa kembali pada habitat "adat timur" yang terkenal di penjuru dunia. Tepo seliro, gotong royong dan hidup bersama membantu yang membutuhkan.
Beberapa pekan lalu saya terkejut sekaligus terkagum dengan aksi konser amal yang dilakukan oleh Didi Kempot di salah satu stasiun TV swasta, betapa tidak dalam tiga jam konser yang dilaksanakan untuk membantu masyarakat yang terkena dampak pandemi virus corona atau covid-19 ini telah mengumpulkan dana sebesar Rp5,3 Miliyar.
Apa yang dilakukan oleh Didi Kempot ini hanyalah satu dari sekian banyak aksi sosial yang dilakukan oleh public figure ataupun influencer baik yang tergabung dalam platform digital maupun yang digalakkan secara offline.
ADVERTISEMENT
Platform digital untuk aksi sosial Kitabisa.com mencatat tren donasi naik signifikan di tengah pandemi Covid-19. Ia menuturkan hingga saat ini Kitabisa telah mengumpulkan total donasi Rp119 miliar untuk masyarakat terdampak Covid-19. Sementara data yang berhasil dihimpun kemenkes menyebutkan donasi masyarakat Indonesia capai Rp 196 miliar.
Di luar kegiatan berdonasi, terdapat kreatifitas dari anak bangsa. Baik secara individu atau berkelompok. Mereka berinisiatif membentuk kelompok relawan, membuat tutorial cara mencuci tangan, berlomba saling mengingatkan himbauan pemerintah untuk membatasi penyebaran corona dengan social atau physical Distancing.
Tingginya solidaritas sosial di Indonesia ini rupaya mendapat sorotan dari media luar negeri, The Diplomat. Media yang berbasis di Amerika Serikat ini menuliskan bahwa, meskipun pemerintah Indonesia cenderung lemah dalam melakukan penanganan Covid-19 di Indonesia, akan tetapi kelemahan tersebut bisa dicover oleh civil society-nya lewat aksi kolektif dalam berderma kepada kelompok masyarakat terdampak Covid-19.
ADVERTISEMENT
Fenomena tersebut sebenarnya bukanlah sebuah sesuatu yang baru, pada 2018, The World Giving Index, yang dikeluarkan Charities Aid Foundation (CAF) yang berbasis di Inggris, menempatkan Indonesia sebagai the most generous country (negara paling dermawan) di dunia. Adapun perilaku yang menjadi ukuran: menyumbangkan uang, menolong orang, dan kerelawanan.
Sementara pada 2019, Indonesia menempati rangking kelima di dunia negara dengan tingkat modal sosial, partisipasi sosial, dan kerelawanan tertinggi menurut Legatum Prosperity Index.
Ironi
Akan tetapi alih-alih mendengar fenomena tersebut sebagai kabar baik, saya justru melihat sebuah ironi. Di satu sisi negara masih bergulat dengan perkara-perkara birokratis yang cenderung menghambat penanganan pandemi Covid 19 seperti: hubungan antar lembaga yang tidak sinkron, program yang tidak tepat sasaran, minimnya data akurat tentang penerima bantuan sosial serta persoalan-persoalan lain yang membuat kinerja negara dinilai buruk di mata publik.
ADVERTISEMENT
Sedangkan di sisi lain efek sosial ekonomi dari pandemi seperti ini sejatinya ditanggung sepenuhnya oleh Negara, akan tetapi justru harus ditanggung oleh kelompok masyarakat tertentu melalui mekanisme solidaritas sosial dari kelompok masyarakat lain.
Yang jarang disadari oleh masyarakat adalah berderma bukan sekadar sikap moral individual, tetapi juga tindakan politis. Lebih spesifik, seseorang sebenarnya mengafirmasi apa yang selama ini menjadi norma dalam kapitalisme neoliberal: tanggung jawab kesejahteraan berada di pundak masing-masing pribadi, bukan negara.
Negara hanya memastikan semua pihak bisa berkompetisi secara adil dalam mencari penghidupan sehari-hari. Kesejahteraan, oleh karena itu, tergantung pada kesiapan dan kesigapan masing-masing individu di pasar bebas.
Tentu saja kapitalisme neoliberal paham bahwa tidak semua orang bisa berkompetisi secara adil. Ketimpangan adalah kenyataan yang tidak bisa disangkal. Oleh karena itu, mereka mengadopsi kedermawanan melalui modal sosial sebagai komponen dalam mengatasi perkara sosial.
ADVERTISEMENT
Selain itu modal sosial berperan penting bagi kehidupan masyarakat. Ia mampu memberi tawaran solusi dari persoalan di masyarakat tak mampu diselesaikan oleh pemerintah, institusi atau mekanisme pasar melalui aktivitas berdermanya.
Ringkasnya, di tengah pandemi seperti saat ini masyarakat dalam rezim kapitalisme neoliberal bak jatuh tertimpa tangga pula. Di satu sisi ia dirugikan dengan lumpuhnya aktifitas ekonomi sedangkan pada saat yang bersamaan atas nama solidaritas sosial ia ‘’dipaksa’’ menanggung penderitaan masyarakat lain.
Kombinasi
Jadi, kalau demikian halnya, apa relevansi berderma saat ini? Bukankah cukup pasti ia tidak bisa diandalkan menghadapi situasi yang mungkin akan lebih gawat? Kalau tidak diandalkan, lalu apa yang kita perlukan segera?
ADVERTISEMENT
Bagaimanapun pandemi corona adalah kejadian luar biasa yang berdampak besar baik secara sosial maupun ekonomi yang hanya bisa diatasi secara kolektif dengan melibatkan tanggung jawab politik negara.
Sudah seyogyanya bahwa solidaritas sosial dan gagasan inovatif di tingkat masyarakat dapat tersambung dengan solidaritas fungsional dan kapasitas tata kelola di ranah negara. Jika keduanya terkoneksi dan dikombinasikan dengan apik, maka bukan tidak mungkin pandemi ini bisa diatasi dengan baik dan kehidupan normal akan kembali dengan cepat.