Jejak Keturunan Indonesia di Negeri Penjajah saat Perang Eropa

Bagas Putra R
Kata, makna, sabda Military Enthusiast
Konten dari Pengguna
7 Juni 2018 21:55 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bagas Putra R tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Parade Pembebasan di Amsterdam (Foto: Bagas)
zoom-in-whitePerbesar
Parade Pembebasan di Amsterdam (Foto: Bagas)
ADVERTISEMENT
Belanda sempat mengambil sikap netral ketika Perang Dunia II di Eropa meletus setelah Jerman menginvasi Polandia pada 6 Oktober 1939. Belanda tak menyadari kalau dirinya menjadi target selanjutnya karena asetnya di di Timur Jauh (Hindia Belanda) juga menjadi incaran pemimpin Nazi, Adolf Hitler dan sekutunya, Kekaisaran Jepang.
ADVERTISEMENT
15 Mei 1940, Belanda yang lemah pertahanannya itu jatuh juga ke tangan Jerman setelah Operasi Rotterdam Blitz membuat tentara Belanda tak bisa mempertahankan kedaulatan.
Di Belanda saat itu juga banyak menetap orang-orang Indonesia, dari mahasiswa, imigran hingga seniman terjebak dalam Perang Eropa, tak memiliki akses untuk kembali ke Tanah Air.
Selama pendudukan Jerman di Belanda, orang Indonesia yang berada di Belanda juga mengalami diskriminasi secara rasial dan banyak yang dipaksa bergabung dalam dinas kerja paksa oleh tentara Nazi.
Namun, ada di antara mereka yang akhirnya memilih untuk turut serta menyerukan perlawanan atas dominasi fasisme di Belanda. Sebagian lagi dapat dikatakan beruntung karena berhasil bersekutu dengan tentara Jerman dan aktivis fasisme Ada pula yang direkrut ke dalam angkatan bersenjata Jerman.
ADVERTISEMENT
Mahasiswa dalam Kelompok Perlawanan
Invasi Jerman terhadap Belanda berdampak pada kehidupan mahasiswa Indonesia di sana. Para mahasiswa Indonesia banyak terlibat dalam gerakan perlawanan, salah satunya mahasiswa dan pelajar anggota Perhimpunan Indonesia (PI).
Aktivis PI di Belanda berhaluan dengan gerakan komunis, karena hanya dengan begitu mereka mendapatkan perlindungan dari kelompok anti-fasis dan dukungan untuk memperjuangkan kemerdekaan Tanah Air.
Dalam buku Nazi di Indonesia (Oktorino, R, 2015) disebutkan, PI banyak berjuang dengan jalan provokasi dan mengangkat senjata dalam gerakan bawah tanah melawan fasisme Jerman di Belanda. Mereka juga menerbitkan majalah dan pamlet ilegal untuk tujuan propaganda.
Salah satu anggota PI, Rachmad Kusumobroto, terlibat dalam upaya membantu penyelamatan orang Yahudi dan Belanda yang diburu oleh Nazi. Mahasiswa hukum di Leiden ini membantu menyembunyikan anak-anak kaum Yahudi.
ADVERTISEMENT
Lain soal dengan Jusuf Muda Dalam, mahasiswa ekonomi di Amsterdam ini bergabung dengan organisasi perlawanan Belanda, yang berjuluk knokploeg (pemuda pemberani). Mereka terlibat dalam penyerangan pos polisi Jerman pada 1944.
Kelompok ini banyak mendapatkan bantuan pelatihan militer dari tentara Jerman yang melakukan desersi. Para tentara Nazi yang membelot juga menyerahkan senjata-senjata mereka kepada gerakan perlawanan Belanda.
Berkawan dengan Jerman Lewat Seni
Jika Perhimpunan Indonesia mengambil jalan untuk melawan Jerman ketika tentara fasis Jerman menguasai Belanda, beda soal dengan para pekerja seni di sana.
Seorang mantan pramugara kapal asal Madura, Tumijati yang pernah bekerja di Rotterdam Lloyd, dipekerjakan sebagai pedagang dan penari pada 1941 di tempat bernama Kolonial Institute yang juga menjadi markas besar Gestapo (Polisi Intelijen Nazi Jerman).
ADVERTISEMENT
Di awal tahun 1943, ia bersama tunangannya yang berkebangsaan Belanda mendirikan kelompok ansambel musik, Sinar Laoet. Kelompok musik yang beranggotakan 20 musisi Jawa dan Madura ini menampilkan seni tari dan musik seperti gamelan, kroncong, dan Hawaiian.
Sinar Laoet banyak tampil di hadapan anggota Gerakan Nasional Sosialis atau NSB (Nationaal-Socialistische Beweging) dan tampil di Jerman hingga akhir tahun 1944.
Perantau Indonesia di Belanda sebagai seniman (Foto: Bagas)
zoom-in-whitePerbesar
Perantau Indonesia di Belanda sebagai seniman (Foto: Bagas)
Pilot Skadron Rahasia Luftwaffe
Pada tahun 1942, seorang pemuda keturunan Indo-Belanda bergabung dengan Luftwaffe (Angkatan Udara Jerman). Ia diterima menjadi tentara Jerman dengan mudah, sekalipun latar belakang rasialnya meragukan.
Dialah Willem Eduard de Graaff, pemuda yang lahir pada tanggal 11 Januari 1908 di Sukabumi. Ayahnya seorang Belanda, sementara ibunya orang Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pengalamannya di dunia penerbangan dimulai pada 1933, ketika bekerja sebagai ko-pilot maskapai penerbangan Belanda, KLM. Ia terbang untuk rute Eropa dan Asia, termasuk rute Amsterdam-Batavia.
Willem Eduard de Graaff (Foto: Bagas)
zoom-in-whitePerbesar
Willem Eduard de Graaff (Foto: Bagas)
Sebelum bergabung dengan Angkatan Udara Jerman, de Graaff sempat menjadi anggota NSB dan turut menggelorakan semangat fasisme di Negeri Kincir Angin.
Setelah bergabung dengan Luftwaffe, pada 1943 ia ditugaskan sebagai pilot dalam skadron khusus bernama Versuchsverband des ObdL. De Graaff bertugas melakukan misi-misi rahasia untuk menerjunkan mata-mata Jerman di belakang garis musuh.
Unit khususnya itu kemudian bergabung ke dalam unit operasi khusus lainnya bernama Kampfgeschwader 200 (KG-200). Di sini, de Graaff melakukan operasi pengeboman dan transportasi jarak jauh. Ia juga sering menerbangkan berbagai pesawat hasil rampasan dari Sekutu untuk menerjunkan agen spionase Jerman.
ADVERTISEMENT
***
Setelah Jerman menyerah kepada Sekutu pada 5 Mei 1945, para pejuang Indonesia di Belanda ikut merayakan kemenangan dalam Parade Pembebasan di Amsterdam pada 8 Mei 1945.
Tokoh-tokoh penggerak Perhimpunan Indonesia (PI), seperti Effendi, Setiadjit, dan Pamontjak diangkat menjadi anggota parlemen Belanda. Mereka kembali ke Tanah Air Ketika perang kemerdekaan Indonesia berkobar.
Namun, karena berhaluan komunis, para mantan aktivis PI di Belanda itu tersingkirkan dalam perpolitikan Indonesia. Setiadjit misalnya, ia dieksekusi pada tahun 1948 setelah Pemberontakan PKI di Madiun.
Sementara itu, Jusuf Muda Dalam yang pernah menjadi Menteri Urusan Bank Sentral pada masa Orde Lama, dipenjarakan dan dihukum mati karena beberapa kasus pada masa Orde Baru.
Referensi:
Oktorino, N. 2015. Nazi di Indonesia-Sebuah Sejarah yang Terlupakan. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.
ADVERTISEMENT
Oliver, D. 2005. Airborne espionage. U.K.: Sutton Publishing