Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Dilema Sejarah Politik Apharteid di Afrika Selatan
29 Oktober 2024 8:47 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Bagas Zesi Eka Prasetya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Politik Apartheid adalah kebijakan pemisahan ras di Afrika Selatan yang berlangsung sekitar lima puluh tahun sejak diberlakukan pada 1948. Kata ini berasal dari bahasa Afrikaans, mengandung makna "pemisahan." Tujuan dari apartheid adalah untuk menciptakan kehidupan terpisah bagi orang kulit putih dan orang berkulit berwarna, termasuk orang Afrika asli dan Asia.
Kebijakan-kebijakan ini menciptakan kesenjangan sosial yang mendalam yang mengakibatkan diskriminasi rasial dalam pendidikan, pekerjaan, dan akses terhadap layanan publik. Kebijakan apartheid di Afrika Selatan juga meninggalkan kesenjangan ekonomi yang mendalam antara komunitas kulit putih dan kulit hitam.
Selama politik apartheid berlangsung hak warga kulit hitam terpinggirkan dan tidak memiliki akses yang sama terhadap pendidikan, pekerjaan, dan layanan publik.
Meskipun sistem politik apartheid telah dihapuskan, sebagian besar kekayaan masih terkonsentrasi di kalangan minoritas kulit putih. Kemiskinan dan pengangguran masih tinggi di kalangan masyarakat kulit hitam, serta ketimpangan dalam distribusi sumber daya dan akses terhadap layanan publik masih tetap tinggi hingga saat ini.
Kebijakan politik apharteid menciptakan distribusi sumber daya dan akses terhadap layanan publik yang tidak adil. Masyarakat kulit hitam tidak diberi akses terhadap pendidikan berkualitas, pekerjaan bergaji tinggi, dan tanah subur. Sehingga memperburuk kemiskinan sebagian besar penduduk Afrika Selatan.
Secara sosial, Politik apharteid merusak struktur dan tatanan masyarakat serta menimbulkan ketegangan antar-ras dan etnis. Hal ini menumbuhkan rasa ketidak percayaan dan kebencian yang terus menerus dan mempengaruhi hubungan antar-ras hingga saat ini.
Di bidang politik, kebijakan politik apartheid menyebabkan Afrika Selatan terasingkan secara internasional. Memicu sanksi ekonomi dan politik dari negara lain yang pada akhirnya memaksakan negara tersebut melakukan reformasi. Hasil akhirnya adalah ketidakstabilan yang mempengaruhi setiap aspek kehidupan masyarakat dan menghambat pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
Di bidang politik, kebijakan pasca-apartheid seperti Pemberdayaan Ekonomi Hitam (BEE) dan reformasi pertanahan dirancang untuk mengatasi kesenjangan, namun sering dikritik karena tidak efektif. Protes dan kerusuhan sosial yang timbul karena rasa frustrasi terhadap lambatnya perubahan sering kali merusak stabilitas politik.
Konflik sosial ini memberikan tantangan besar bagi pemerintah Afrika Selatan dalam menjaga tatanan mayarakat yang harmonis dan inklusif. Korupsi juga merupakan masalah besar di Afrika Selatan pasca-apartheid, khususnya pada masa pemerintahan Jacob Zuma, karena korupsi melemahkan lembaga-lembaga negara dan menghambat reformasi sosial dan ekonomi.
Meskipun apartheid telah berakhir, keterwakilan politik masih merupakan isu sensitif. Pemerintah sering dikritik karena gagal memenuhi harapan masyarakat untuk mengentaskan kemiskinan dan mengurangi kesenjangan. Meskipun kemajuan besar telah dicapai di beberapa bidang, tantangan dari warisan apartheid masih terasa.
Kebijakan politik apartheid tidak hanya berdampak pada struktur ekonomi dan politik, namun juga meninggalkan jejak pada sosial budaya.
Politik apartheid di Afrika Selatan, secara langsung menimbulkan dampak yakni adanya pemisahan kelompok ras yang berbeda, serta menciptakan kesenjangan budaya yang besar antara komunitas kulit putih dan kulit hitam dan kelompok ras lainnya. Sistem ini membatasi interaksi sosial antar ras, sehingga memperkuat stereotip akan ras kulit hitam dan diskriminasi budaya. Meskipun budaya dominan dipromosikan oleh pemerintah apartheid, mayoritas kulit hitam dan penduduk asli ditindas dan diabaikan. Hal ini menimbulkan kesenjangan dalam perlindungan warisan budaya serta menghilangkan sebagian besar ruang bagi pengembangan seni, bahasa, dan tradisi mereka.
Bahkan setelah politik apartheid berakhir, dampak ini masih terasa melalui tindakan perbaikan, namun kesenjangan budaya masih menjadi tantangan utama yang mengakibatkan Trauma psikologis.
Penyelesaian kebijakan apartheid di Afrika Selatan memerlukan perjuangan panjang dari berbagai aktor, baik di dalam negeri maupun dunia internasional.
Beberapa kelompok serta tokoh penting seperti Kongres Nasional Afrika (ANC) dan Nelson Mandela memimpin gerakan perlawanan yang kuat melawan rezim apartheid. Gerakan dilakukan melalui gerakan sipil, demonstrasi, dan bahkan perlawanan bersenjata. Negosiasi antara pemerintah kulit putih dan kelompok anti-apartheid pada awal tahun 1990an, yang akhirnya berujung pada pembebasan Nelson Mandela.
Setelah melalui berbagai negosiasi, apartheid resmi berakhir pada 1994, ditandai dengan pemilihan Mandela sebagai presiden kulit hitam pertama di Afrika Selatan.
ADVERTISEMENT
*tulisan ini sepenuhnya buatan m ridzky, mahasiswa HI UKI