Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
konflik Hutu-Tutsi: Bentuk Homo Sacer Di Benua Afrika
28 Oktober 2024 11:32 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Bagas Zesi Eka Prasetya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Jika berbicara Afrika, ada banyak variabel bagi kita yang bisa dijadikan topik pembicaraan serta topik penelitian. Sayangnya banyak dari topik pembicaraan atau penelitian yang berasal dari Afrika ialah hal yang bisa dikatakan kurang baik. Mulai dari kemiskinan hingga konflik yang terjadi di benua dengan keindahan padang safari yang khas. Di tahun lalu pada saat kita sedang sibuk mengalihkan pandangan ke arah konflik Gaza, di tahun yang sama juga terjadi konflik di negara RD Kongo yakni pembantaian etnis hutu oleh militan ekstrem etnis tutsi yang memang juga sudah berjalan lama.
ADVERTISEMENT
Seperti yang dilansir dari CNBC news Indonesia (28/11/2023), pada November tahun 2022 kelompok militan M23 melancarkan serangan terhadap etnis utuh yang berada di Kivu Utara, Republik Demokratik Kongo. Sebanyak 171 orang tewas dan mayoritas yang tewas ialah laki-laki serta dituduh sebagai bagian dari milisi Hutu. Konflik ini terjadi bukanlah tanpa sebab, melainkan konflik ini ialah buah dari sebuah konflik besar yang terjadi berpuluh tahun sebelumnya. Sebuah konflik yang sudah naik status menjadi genosida dan dinamakan genosida Rwanda.
Apa yang terjadi pada saat itu disebabkan oleh pemerintahan Rwanda yang pada saat itu ingin membagi-bagi kekuasaan berdasarkan etnis, namun ditentang oleh suku mayoritas yakni etnis Hutu. Etnis Hutu menginginkan hanya mereka saja yang memegang kekuasaan tanpa memikirkan bahwa ada etnis lain yang hidup di negara tersebut. singkat cerita konflik dan genosida juga terjadi terhadap suku-suku minoritas terutama etnis Tutsi. Hingga di satu titik etnis yang tadinya menjadi etnis minoritas yakni etnis Tutsi menyerang balik etnis Hutu yang berganti kedudukan menjadi etnis minoritas, serta melakukan hal yang sama yakni pembantaian terhadap etnis Hutu.
ADVERTISEMENT
Apa yang terjadi pada saat itu jika ditinjau dari paradigma postmodern ialah terjadinya praktik homo Sacer. Singkatnya praktik ini jika menurut pemikiran Giorgio Agamben iyalah merupakan bentuk dari kekuasaan tertinggi setelah kedaulatan. Mereka mengorbankan pihak manapun terutama pihak kecil untuk mencapai tujuan mereka, dengan tentunya membuat mereka yang akan dikorbankan terdisiplinkan agar menuruti perintah sang kekuasaan tertinggi. Jika ditarik dalam konflik ini, disaat kedua etnis berada di posisi minoritas, maka yang terjadi ialah mereka berusaha untuk didisiplinkan agar mau menerima etnis yang berubah statusnya menjadi etnis mayoritas sebagai pemenang kekuasaan tertinggi. Nantinya secara sistematis etnis-etnis yang menjadi minoritas ini kehilangan haknya dan siap dikorbankan bagi etnis dengan status minoritas yang memegang kekuasaan tertinggi pada saat itu.
ADVERTISEMENT
Selain adanya motif politik yang mengakibatkan hadirnya praktik homo sacer di kedua negara baik Rwanda maupun RD Kongo. Adanya primordialisme yang tinggi di antara mereka sehingga mereka menginginkan bahwa hanya etnisnya lah yang dipandang terbaik dan bisa memegang pemerintahan di negara yang mereka tempati, baik etnis Tutsi di Rwanda dah maupun etnis Hutu di RD Kongo. Hal ini juga tidak luput dari warisan kolonialisme di negara tersebut yang memang memasukkan budaya perpecahan di antara etnis-etnis yang memang beragam di Afrika. Konflik antar etnis di Rwanda dan RD Kongo hanyalah satu dari serangkaian konflik yang ada di benua Afrika.
Jika kita berpikir lagi, salah satu hal yang menghambat pertumbuhan negara-negara di benua Afrika ialah adanya banyak konflik yang tercipta dengan berbagai faktor, mulai dari politik hingga etnisitas. Apabila kita pernah mendengar ide Pan africana, yakni ide di mana menyatukan seluruh benua Afrika Demi kemajuan rakyat. Ide ini tidak akan pernah terwujud apabila konflik antar etnis hingga konflik politik tidak pernah menemukan jalan keluar untuk penyelesaian masalah dari banyak konflik yang ada.
ADVERTISEMENT