Konten dari Pengguna

Pilkada Serentak, Partai Politik, dan Ideologisasi

Bagas Wisnu Syammulya
Mahasiswa Fakultas Hukum UPN Veteran Jakarta
27 Juni 2024 9:35 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bagas Wisnu Syammulya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Dok. Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Dok. Pribadi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Menuju babak akhir tahun politik 2024, masyarakat akan kembali disuguhkan dengan kontestasi pemilihan elite yang akan memimpin selama 5 tahun ke depan di provinsi, kabupaten, maupun kota masing-masing konstituen. Hal ini digadang-gadang menjadi bentuk dari pelaksanaan kedaulatan rakyat di tingkat daerah guna mencerminkan praktik demokrasi dalam memastikan terselenggaranya kepemimpinan politik yang sesuai dengan amanat peraturan perundang-undangan, termasuk konstitusi. Apabila tidak mengalami kendala dan keterlambatan, pemilihan kepala daerah beserta wakil kepala daerah tahun 2024-2029 akan dilaksanakan secara serentak pada Hari Rabu, 27 November 2024.
ADVERTISEMENT
Sosok yang nantinya menerima estafet tongkat kepemimpinan di daerah haruslah memiliki prinsip dan ideologi yang jelas serta mampu mengukur tiap-tiap keputusan politik yang diambil saat menjabat. Agar bisa sampai pada titik tersebut, berbagai pembekalan akan diberikan oleh kendaraan politik yang digunakan oleh individu terkait, contohnya seperti partai politik sebagaimana termaktub pada Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
Di dalam partai politik, pendidikan politik sebagai alat perwujudan asas-asas dan ideologi partai menjadi wajib digencarkan kepada kader-kader potensial yang kemudian akan diproyeksikan untuk mengisi posisi-posisi strategis tertentu pada catur perpolitikan negara, baik di pusat maupun di daerah. Hal ini telah ditegaskan pada Undang-Undang No 2 Tahun 2008 dan Undang-Undang No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, khususnya pada bagian terkait fungsi dari partai politik itu sendiri. Merujuk pada Pasal 11 UU No. 2/2008, setidaknya terdapat 5 (lima) fungsi dari partai politik yang setidak-tidaknya bermuatan sebagai berikut:
ADVERTISEMENT
Sebagai teori yang kemudian dirumuskan menjadi unsur-unsur fundamental pembangunan partai politik, tentu kelima poin di atas patut diacungi jempol adanya sebab sudah meliputi berbagai aspek kerja-kerja politik dari partai secara keseluruhan. Akan tetapi, pada praktiknya, nilai-nilai tersebut kerap kali dikesampingkan dalam bangunan kerja parpol. Dalam menghadapi momentum pemilihan—baik itu pemilihan presiden maupun pemilihan kepala daerah—parpol-parpol peserta elektoral pun pada akhirnya bertransformasi dan cenderung memiliki watak pragmatis dan nirideologis. Nilai-nilai yang dicantumkan pada Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga masing-masing partai berubah hanya menjadi pemanis di tengah keruhnya persaingan pemenangan calon di dalam penyelenggaraan pemilihan umum. Tak heran, hingga sekarang, wajah dari partai politik kemudian bergeser menjadi wajah berjualan figur-figur populer yang belum tentu berisi. Sebut saja pencalonan Walikota Tangerang Selatan yang belum lama sempat booming sebab adanya deklarasi dari salah satu parpol untuk mengusung artis ibukota sebagai figurnya, atau boleh juga menengok para calon legislatif di penyelenggaraan pemilihan legislatif (Pileg) beberapa bulan lalu yang didominasi oleh figur-figur yang mayoritas belum pernah terjun di politik dan belum ada garansi terkait integritas serta kredibilitasnya sebagai seorang legislator, namun sudah dipromosikan begitu saja oleh partai-partai yang bersangkutan sebab dinilai mampu mengakomodir suara yang jauh lebih banyak dibanding kader-kader partai yang sudah mengolah diri jauh lebih dulu dibanding figur-figur tadi.
ADVERTISEMENT
Dari kondisi yang telah digambarkan mengenai pergeseran pemaknaan dan cara kerja partai politik yang kian hari kian pragmatis, dirasa perlu bagi insan-insan kelas menengah yang sudah mengabdikan dirinya di partai politik untuk kembali meninjau makna dari kaderisasi dan esensi dari parpol sebagai wadah pendewasaan yang organik itu seperti apa. Cara paling efisien dalam mengejawantahkan norma-norma demokrasi dan negara hukum sebagaimana disebutkan pada Pasal 1 Undang-Undang Dasar 1945 tentunya perlu dimulai dari langkah yang konkret untuk membenahi struktur ketatanegaraan via sistem politik, yang kemudian didasari oleh pelaksanaan fungsi-fungsi partai politik yang sesuai.
Berbicara soal ideologi, setidaknya hingga hari ini hanya tersisa 3 (tiga) partai politik yang memiliki ideologi apabila ditinjau berdasarkan asas kepartaian yang eksis pada AD/ART partai politik. Ketiga partai tersebut antara lain adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dengan ideologi Pancasila 1 Juni 1945 (Marhaenisme), Partai Golongan Karya dengan ideologi/asas karya-kekaryaan, dan Partai Keadilan Sejahtera dengan asas Islam. Sisanya daripada ketiga partai tersebut hanya mencantumkan asas Pancasila yang cenderung normatif pada dokumen AD/ART masing-masing. Hal ini patut dikaji dan dikritisi lebih lanjut oleh para praktisi dalam politik maupun masyarakat sipil selaku watch dogs terhadap pelaksanaan kekuasaan. Apabila jelasnya ideologi partai politik sudah tidak menjadi preferensi dan acuan dalam menunjang kehidupan berbangsa-bernegara, tentu menjadi alarm buruk bagi pelaksanaan kekuasaan sebab tidak ada nilai-nilai utuh yang dibawa dan dipertaruhkan dalam pergolakan dialektika dan proses pemerintahan. Dengan tidak adanya penekanan ideologi partai politik sebagai bentuk perjuangan dari nilai-nilai politik suatu partai, kemudian terbukalah pintu-pintu bagi kader-kader instan yang belum memiliki bekal kuat untuk memimpin daerah; terlebih lagi memimpin bangsa.
ADVERTISEMENT
Maka dari itu, reformasi partai politik menjadi satu gagasan yang sangat esensial untuk dikawal sampai realisasi dari perubahan arah partai politik itu terjadi. Sebagai upaya rigid dari reformasi ini, perubahan yang signifikan pada ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan pembangunan nilai partai politik serta praktik partisipasi partai politik dalam pemilihan menjadi bagian yang harus segera direvisi di Undang-Undang tentang Partai Politik. Apabila hal tersebut dilakukan, mimpi indah penyelenggaraan negara yang dialektis dan berbasiskan pada bobot a right man, in a right place, and in a right time (baca: meritokrasi) akan mampu diaplikasikan sehingga selanjutnya akan berimplikasi lebih jauh lagi secara progresif, misalnya pada pelaksanaan otonomi di pemerintahan daerah dan mencegah tangan-tangan destruktif untuk mengotak-atik politik praktis hanya untuk golongan atau bahkan keluarganya sendiri.
ADVERTISEMENT
Seberapapun jumlah pelaksanaan pemilihan presiden dan pemilihan kepala daerah, seberapa banyak pun pelaksanaan pemilihan itu diklaim sebagai wadah demokratis dan penyaluran suara-suara rakyat, Pemilu pada dasarnya tidak akan pernah bisa melahirkan pemimpin-pemimpin yang telah berjuang secara berkelanjutan dengan baik lewat proses kaderisasi dan memiliki pemikiran yang kuat serta ideologi yang kokoh apabila lahir dari pemilihan elite tanpa reformasi partai politik. Reformasi partai politik yang lebih menekankan pada praktik-praktik kaderisasi sebagai prasyarat pencalonan dan gotong-royong sebagai nilai budaya bangsa (bukan asian value).
Bagas Wisnu S, Mahasiswa Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UPN "Veteran" Jakarta, Wakil Koordinator Bidang Sosial Politik Badan Eksekutif Mahasiswa UPN "Veteran" Jakarta