Konten dari Pengguna

Reformasi: Dinamika Sosial-Politik Kontemporer

Bagas Wisnu Syammulya
Mahasiswa Fakultas Hukum UPN Veteran Jakarta
14 Juni 2023 15:41 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bagas Wisnu Syammulya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Dok pribadi, diambil di Pameran 25 TAHUN REFORMAS!H IN ABSENTIA
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Dok pribadi, diambil di Pameran 25 TAHUN REFORMAS!H IN ABSENTIA

Apa arti reformasi yang ideal menurutmu?

ADVERTISEMENT
Bila pertanyaan tersebut ditujukan kepada diriku, tentunya reformasi haruslah diartikan sebagai suatu hal yang positif dan progresif. Reformasi pada dasarnya adalah penekanan ulang dari kata formasi yang mengacu pada suatu sistem. Dengan begitu, perombakan suatu pakem-pakem konservatif dan kolot ke metodologi yang lebih adaptif serta sejalan dengan tujuan awal giat perubahan itu sendiri menjadi bentuk paling ideal dari upaya mencapai idealisme reformasi.
ADVERTISEMENT
Berbicara soal birokrasi dan administrasi negara, tentu makna paling ideal dari reformasi adalah merombak secara holistik pos-pos pemerintahan supaya diisi oleh individu yang mumpuni serta berpengalaman di bidangnya. Penyakit dalam lingkup administrasi negara yang dampaknya paling terasa secara signifikan sekarang adalah bagaimana posisi strategis otoritas negara, baik pusat maupun daerah, diisi oleh sosok-sosok berlatar belakang militer yang mana tugas pokok dan fungsinya pada dasarnya adalah menjaga pertahanan negara.
Di pusat, Menteri Agraria dan Tata Ruang serta Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi merupakan contoh kecil posisi politik militer dalam penyelenggaraan pemerintahan. Padahal, independensi bisa lebih ditingkatkan apabila pos-pos tersebut diisi oleh sipil. Di tingkat daerah, sebut saja penjabat kepala daerah di Provinsi Aceh yang merupakan seorang TNI aktif. Meski pembelaannya hal ini adalah arahan langsung dari Presiden RI dan Mendagri, eksistensi seorang militer aktif sebagai kepala daerah membuka gerbang pelaksanaan dwifungsi ABRI sebagaimana terjadi pada rezim otoriter Orde Baru.
ADVERTISEMENT
Indikasi penyelewengan kembali bertambah apabila meminjam data dari temuan Indonesia Corruption Watch (ICW), sebuah organisasi nirlaba yang berfokus pada isu antikorupsi, yang menemukan setidaknya terdapat 103 penjabat kepala daerah yang dilantik tanpa ada dasar hukum teknis maupun dokumen pendukung yang menunjukkan bahwa pengangkatan tersebut tidak transparan dan rawan konflik kepentingan. Profesionalitas dan kapabilitas dari individu tersebut pun kembali dipertanyakan karena kurangnya bargaining (daya tawar) yang cukup dari rekam jejak yang disediakannya.

Apabila pengertian reformasi ideal diartikan secara tegas dan eksplisit dapat dengan langsung menghapuskan nilai-nilai konservatif, bukankah secara tidak langsung menunjukkan bahwa reformasi merupakan suatu hal yang utopis?

Berkaca pada komplikasi di negeri ini, reformasi menjadi momok besar dari pergerakan masyarakat yang menentang praktik otoritarianisme untuk melanggengkan kekuasaan selama tiga dekade (bahkan empat apabila menengok pula ke era demokrasi terpimpin). 6 (enam) agenda reformasi yang diusung bersama-sama telah membawa poin-poin penting yang dirasa mengakomodir kepentingan rakyat banyak kala itu. Adanya 6 poin tuntutan tersebut menunjukkan dengan jelas bahwa reformasi adalah hal yang konkret dan tidak utopis.
ADVERTISEMENT
Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah apa yang menjadi alasan redupnya semangat dalam mewujudkan keenam agenda reformasi tersebut? Jawaban paling logis dari pertanyaan itu mungkin adalah timbulnya kebosanan akibat pola political will pemerintah yang terkesan enggan bersinergi kembali menjadi suatu organ yang menjaga napas reformasi.
Pembentukan hukum yang asal-asalan, korupsi yang merajalela di berbagai instansi pemerintah, pengabaian etika kepala pemerintahan lewat sikap yang sibuk ikut campur dalam kontestasi politik, intervensi militer dengan represifitas berdalih ‘pengamanan’ di pengadilan, majelis hakim yang seksis, serta berbagai macam isu lain yang mencuat hari ini tentunya sama sekali tidak menunjukkan reformasi sebagai pegangan dalam lingkup sosial-politik kenegaraan oleh para pemegang kekuasaan. Nampaknya sangat sulit rasanya mengharapkan suatu gebrakan insidental dari pemerintah dalam rangka menuntaskan (kembali) amanat reformasi. Namun, sulit bukan berarti tidak bisa sama sekali, bukan?
ADVERTISEMENT
Ketika sudah tidak ada lagi yang bisa dipercaya secara mutlak, baik dari struktur pemerintahan maupun badan-badan independen yang turut dilemahkan pula oleh rezim, yang dapat kita lakukan adalah merangkul lebih erat simpul-simpul yang ada di sekitar kita. Konsolidasi, diskusi publik, pencerdasan, monolog, bedah buku, dan mimbar bebas menjadi bentuk-bentuk antitesis terhadap ketidakberpihakan pilar-pilar demokrasi kepada rakyatnya sendiri.
Hal ini tentunya sangat kita butuhkan untuk memangkas adanya anggapan bahwa terciptanya kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis merupakan kemungkinan yang tidak akan pernah terjadi. Apabila kita menyebut reformasi merupakan substansi yang utopis, maka seharusnya Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia serta pelaksanaannya yakni Undang-Undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang selama ini kita ketahui menjadi senjata penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu karena memiliki sifat khusus retroaktif pun juga dapat dikatakan sebagai produk hukum yang utopis sebab para terduga pelaku pelanggaran HAM pun kini masih punya kursi-kursi strategis di pemerintahan.
ADVERTISEMENT
Pasal 66 Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang PPLH yang berbunyi “setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata,” pun rasa-rasanya akan sangat imajiner melihat pada realitanya para aktivis yang membacakan hasil riset dengan data faktual masih saja berpeluang untuk dikriminalisasi, lalu sebenarnya untuk apa peraturan tersebut dibuat?
Melihat produk yang disebutkan di atas masih eksis sampai sekarang membuktikan bahwa tekad dan cita-cita masyarakat dalam mewujudkan supremasi hukum masih sangat bulat. Segelintir orang yang menyalahgunakan hukum tidak akan pernah bisa meruntuhkan suatu kebenaran yang dikawal keberadaannya.

Gerakan sosial-politik mahasiswa dalam perspektif reformasi

Selain prinsip up to down yang disebutkan di atas, reformasi juga kiranya harus dilakukan dengan prinsip down to up yakni pembenahan dalam gerakan serta pengembangan diskursus. Birokrasi yang mandek nyatanya telah berhasil menjadi alat penggembosan dari dinamika pergerakan masyarakat sipil, terkhusus mahasiswa. Organisasi kampus dengan intervensi praktik politik luar sudah menjadi rahasia umum yang marak terjadi demi mendulang suara dan dukungan akar rumput.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut tak sepenuhnya bisa disalahkan. Oportunisme lahir menjadi sebuah nilai yang absolut di masyarakat bukan tanpa alasan. Presiden Soeharto menjadi alasan yang cukup masuk akal mengapa nilai oportunis dapat tumbuh dan menjalar di kalangan masyarakat reformis. Pada masa kepemimpinannya, the smiling general tidak segan-segan memangkas habis siapapun yang berpotensi menjadi hambatan dalam proses pelebaran sayap kekuasaan, bahkan jenderal-jenderalnya sekalipun.
Dengan demikian dapat diartikan bahwa setiap kesempatan politik dinasti itu dicanangkan, Soeharto dengan entengnya akan melakukan hal tersebut tanpa memperhatikan marwah, etika, dan akal sehatnya sendiri.Yang terjadi sekarang adalah giat serupa namun diaplikasikan secara lebih organik. Anekdot singkat berbunyi “adinda nego, kakanda demo” menurutku menjadi satu intisari yang cukup kompleks dan tak asing terdengar apabila kita membahas gerakan mahasiswa. Kalimat tersebut menunjukkan adanya pendekatan politis seakan-akan antara atasan dan bawahan untuk mencairkan kepentingan satu sama lain.
ADVERTISEMENT
Bukan hal yang negatif memang apabila kepentingan yang disebut hanya terdapat dalam klausul kedua pihak, namun akan menjadi huru-hara ketika kepentingan sudah tumpang tindih dengan posisi politik sang individu. Dampak holistik yang akan menerjang adalah timbulnya sebuah pola gerakan yang mandek dan tidak selaras dengan semangat gerakan yang telah dicita-citakan sebelumnya oleh para pendahulu. Dunia pendidikan, khususnya kampus, agaknya cukup berhasil menjadi lumbung suara yang ekstraktif bagi para elit dalam kontestasi politik.
Intervensi cenderung dilakukan dengan berbagai cara. Organisasi mahasiswa internal, eksternal, bahkan kelompok taktis gerakan mahasiswa merupakan medium yang cukup strategis dalam melebarkan sayap-sayap kepentingan secara mendalam. Dalam teorinya, pendidikan etisnya adalah lingkup yang harus steril dari pragmatisme politik konvensional dengan embel-embel partai yang nyatanya terasa kuno dan bernilai usang.
ADVERTISEMENT