UU Cipta Kerja dan Penyesuaian Waktu Kerja yang Ugal-ugalan

Bagas Wisnu Syammulya
Mahasiswa Fakultas Hukum UPN Veteran Jakarta
Konten dari Pengguna
14 Mei 2023 16:41 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bagas Wisnu Syammulya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Dok. pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Dok. pribadi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Berbicara soal pekerja buruh tentunya tidak akan bisa lepas dari regulasi-regulasi yang mengatur hak dari para pekerja itu sendiri. Perppu No. 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang diterbitkan oleh Presiden Joko Widodo pada pengujung tahun lalu merupakan produk hukum yang menjadi salah satu penunjang tenaga kerja baik dalam melaksanakan kewajiban maupun dalam pemberlakuan hak.
ADVERTISEMENT
Namun, Perppu tersebut dinilai bermasalah dikarenakan substansinya lebih kurang menjiplak isi dari UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi.
Hal itu antara lain disebabkan oleh minimnya partisipasi bermakna (meaningful participation) dari masyarakat, terutama yang terdampak langsung dari peraturan tersebut sebagaimana telah diamanatkan dalam Undang-Undang P3 atau Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Pengabaian partisipasi masyarakat dalam pembentukan UU Cipta Kerja membuat MK mengeluarkan Putusan No. 91/PUU/XVIII/2020 yang dengan gamblang menyebutkan bahwa UU Cipta Kerja tahun 2020 cacat, baik secara formil maupun secara prosedural. Amar putusan tersebut juga menegaskan keharusan giat revisi terhadap UU Ciptaker serta larangan untuk membuat peraturan strategis baru sebelum itu.
ADVERTISEMENT
Menurut Asisten Deputi Peningkatan Daya Saing Ekonomi Kemenko Perekonomian Ichsan Zulkarnaen, yang menjadi pertimbangan dasar dan urgensi dari penerbitan Perppu ini adalah sebagai upaya mengatasi kekosongan hukum serta upaya menghadapi ketidakpastian ekonomi global.
Sayangnya, rangkaian penerbitan Perppu hingga tahap pelegislasian menjadi UU ini tidak mengindahkan Amar Putusan MK No. 91. Dengan problematika pembentukan sebagaimana disebutkan pada paragraf pertama, Perppu Ciptaker ini malah disahkan menjadi Undang-Undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat dalam gelaran Rapat Paripurna ke-19 masa sidang IV Tahun Sidang 2022-2023.
Perppu ini disahkan menjadi UU No. 6 tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang. Masih menyoal permasalahan dari sisi formil, pengesahan UU Cipta Kerja merupakan bentuk pelangkahan dan pencederaan konstitusi oleh lembaga eksekutif serta legislatif di negara ini.
ADVERTISEMENT

Diskrepansi Pengaturan Jam Kerja

Buruh yang tergabung dalam Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia disingkat KP-KPBI melakukan aksi tolak UU Omnibus Law Cipta Kerja di kawasan Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (6/10). Foto: Muhammad Adimaja/ANTARA FOTO
Selanjutnya beralih ke pembahasan materiil dalam UU Cipta Kerja yang dianggap dominan dengan pasal-pasal yang mengabaikan hak-hak pekerja dalam instrumennya. Salah satu poin yang dipermasalahkan oleh kaum buruh adalah pengaturan soal jam kerja. Jam kerja buruh yang disebutkan dalam UU Ciptaker tahun 2020 dengan Perppu Ciptaker yang disahkan pada bulan Maret lalu tidak mengalami suatu perubahan.
Pada Perppu No. 2 tahun 2022, tepatnya pada Pasal 77 ayat (2) huruf a dan b, disebutkan bahwa waktu kerja adalah 7 jam dalam 1 hari dan 40 jam untuk 6 hari kerja dalam seminggu serta 8 jam dalam 1 hari dan 40 jam untuk 5 hari kerja dalam seminggu.
ADVERTISEMENT
Esensi pasal dalam Perppu tersebut, sayangnya, sama persis dengan esensi pengaturan yang sama dalam UU Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional oleh MK. Signifikansi dari Pasal 77 ayat (2) ini pun nantinya akan menimbulkan polemik sebab dirasa tidak harmonis dengan Pasal 79 ayat (2) poin b yang mengatur mengenai waktu istirahat yang mana menjelaskan regulasi istirahat mingguan selama 1 hari untuk 6 hari kerja dalam seminggu.
Ketidakharmonisan kebijakan yang ditunjukkan oleh kedua pasal dalam Perppu Cipta Kerja di atas berpotensi menimbulkan adanya ketidakpastian hukum (legal insecurity) di kalangan tenaga kerja.
Meski masih ada peluang diberlakukannya diskresi untuk melaksanakan suatu sistem dengan pertimbangan-pertimbangan situasional, ketidakpastian tersebut di sisi lain menunjukkan adanya ketergesa-gesaan dan ketidakcermatan presiden serta jajaran organ penyusun peraturan perundang-undangan dalam membentuk produk ini.
ADVERTISEMENT
Padahal seharusnya suatu regulasi dibentuk dengan patokan-patokan dengan metode yang pasti, baku, standar, dan sesuai dengan sistematika pembentukan undang-undang yang berlaku sehingga ketidakpastian hukum dapat dicegah sejak awal.

Bagaimana Regulasi Terkait Lembur dalam Cipta Kerja?

Sejumlah elemen mahasiswa dan buruh melakukan unjuk rasa menolak pengesahan UU Cipta Kerja, di Alun-alun Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah, Rabu (7/10). Foto: Idhad Zakaria/ANTARA FOTO
Pasal bermasalah dalam Perppu Cipta Kerja yang berikutnya terdapat pada skema waktu lembur bagi tenaga kerja. Hal ini termaktub dalam Pasal 78 ayat (1) huruf b yang menyebutkan bahwa porsi lembur bagi pekerja maksimum dalam 1 hari adalah 4 jam sedangkan dalam 1 minggu adalah 18 jam.
Bagian ini menunjukkan perubahan dari pengaturan lembur menurut UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pada pasal yang sama. Pada Pasal 78 UU Ketenagakerjaan disebutkan bahwa jam lembur terhitung maksimum dalam 1 hari adalah 3 jam sedangkan dalam 1 minggu adalah 14 jam.
ADVERTISEMENT
Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa dengan hadirnya Perppu Cipta Kerja, waktu bekerja maksimum ditambah dengan porsi lembur maksimum yang telah dilegalisasi oleh PUU dari seorang pekerja adalah selama 58 jam dalam 1 minggu.
Adanya peningkatan porsi maksimum waktu lembur ini akan memiliki risiko negatif kepada kondisi fisik juga kondisi mental dari kaum pekerja, ditambah dengan pemahaman yang dapat diambil setelah melihat rilis yang dipublikasikan oleh World Health Organization (WHO).
WHO dalam rilisnya yang dilakukan bersama International Labour Organization (ILO) pada tahun 2016 dengan judul Long Working Hours Increasing Deaths from Heart Disease and Stroke: WHO, ILO menyimpulkan bahwa melakukan pekerjaan selama 55 jam atau lebih setiap pekannya akan berkutat dengan perkiraan risiko penyakit yang lebih tinggi serta membawa pengaruh buruk bagi pekerja.
ADVERTISEMENT
Pun apabila dianalisis secara logika, perubahan kalkulasi waktu lembur dalam Perppu Cipta Kerja berkemungkinan menjadi jembatan terhadap praktik eksploitasi pekerja, terutama pekerja-pekerja kasar seperti buruh pabrik.
Meski pada Pasal 78 ayat (1) huruf a diterangkan syarat lembur yakni adanya konsensus dari pekerja/buruh yang bersangkutan, dalam realitanya tak ayal banyak atasan yang abai terhadap poin tersebut dan langsung menembak pekerjaan kepada para pekerja.
Pada pengaplikasiannya, pasal ini juga menjadi sebuah perkara tersendiri bagi pekerja/buruh yang buta hukum dan cenderung menyanggupi perintah atasan secara cuma-cuma meskipun pada hakikatnya bertentangan dengan hak dasar serta hak asasi pekerja.