Konten dari Pengguna

Antara Kebebasan Pers & Perlindungan Privasi: Dilema Hukum Jurnalis di Indonesia

Balqis Sulistiyani
Sedang menempuh pendidikan S1, Departemen Ilmu Komunikasi di Universitas Andalas, Padang. Berkegiatan aktif sebagai Public Relations and Community Engagement AIESEC in Unand 2024.
23 September 2024 8:59 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Balqis Sulistiyani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi gambar di desain sendiri oleh penulis, Balqis.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi gambar di desain sendiri oleh penulis, Balqis.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kebebasan pers merupakan salah satu tonggak penting dalam sistem demokrasi, tetapi di Indonesia, hal ini sering kali bersinggungan dengan hak atas privasi atau hak pribadi individu. Dalam konteks jurnalistik, jurnalis harus menghadapi dilema hukum yang rumit, apalagi di era digital seperti sekarang ini. Mereka berupaya menyampaikan informasi yang relevan dan bermanfaat untuk publik, sementara pada saat yang sama, mereka juga wajib menghormati hak privasi orang lain. Selain itu, kini dapat dijumpai berbagai undang-undang di Indonesia yang mengatur isu ini dan dapat menjadi konsekuensi hukum bagi para jurnalis dalam menjalankan tugas mereka.
ADVERTISEMENT
Apa yang Dimaksud dengan Hak Privasi atau Hak-Hak Pribadi?
Dalam konteks Kode Etik Jurnalistik, hak pribadi diartikan sebagai segala segi kehidupan seseorang dan keluarganya yang tidak terkait dengan kepentingan umum. Konsep ini jauh lebih kompleks daripada yang sering dibayangkan, melibatkan aspek hukum, sosial, dan ekonomi. Perlindungan hak-hak pribadi mencerminkan nilai-nilai dan sistem sosial masyarakat. Istilah hak pribadi pertama kali diperkenalkan oleh Samuel B. Warren dan Louis Brandeis dalam karya mereka yang terkenal, “The Right of Privacy,” yang dipublikasikan di Harvard Law Review pada tahun 1890.
Hingga kini, terdapat banyak penafsiran mengenai arti hak pribadi. Menurut Alan Westin dari Universitas Columbia, hak-hak pribadi adalah “kewenangan pribadi untuk menentukan kapan, bagaimana, dan sejauh mana informasi tentang dirinya dapat diceritakan kepada pihak lain.” Dengan demikian, individu memiliki “wilayah pribadi” yang tidak boleh diakses tanpa izin. Perlindungan terhadap hak-hak pribadi sangat penting, baik melalui Kode Etik Jurnalistik maupun melalui hukum, karena:
ADVERTISEMENT
a. Hak-hak pribadi adalah bagian dari hak asasi manusia yang tidak boleh dilanggar.
b. Di era teknologi dan komunikasi massa yang berkembang pesat, penggunaan informasi pribadi tanpa izin untuk kepentingan komersial dapat merugikan individu, sehingga perlu diatur dan dilarang.
Menghadapi dilema antara kebebasan pers dan perlindungan privasi, jurnalis di Indonesia harus mempertimbangkan berbagai undang-undang yang mengatur keduanya. Dalam konteks ini, penting untuk memahami bagaimana hukum dan etika berinteraksi dalam praktik jurnalistik.
Undang-Undang yang Mengatur Hak Privasi atau Hak-Hak Pribadi
Salah satu undang-undang yang berpengaruh besar dalam konteks ini adalah Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) No. 11 Tahun 2008, yang diubah dengan No. 19 Tahun 2016. Dalam Pasal 27 Ayat (3), terdapat larangan bagi setiap orang untuk mendistribusikan atau mentransmisikan konten yang menghina atau menyinggung martabat orang lain. Ini berarti bahwa jurnalis harus ekstra hati-hati saat meliput isu-isu sensitif yang bisa merugikan reputasi individu. Pasal 28 Ayat (1) dari UU ITE juga menyoroti pencemaran nama baik, melarang penyebaran berita bohong atau informasi menyesatkan.
ADVERTISEMENT
Selain UU ITE, Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi juga menambah lapisan kompleksitas. Pasal 4 dalam rancangan ini menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak atas perlindungan data pribadinya. Jika undang-undang ini disahkan, jurnalis harus mendapatkan izin sebelum mengumpulkan atau mempublikasikan data pribadi individu.
Pasal 8 dari rancangan undang-undang tersebut mewajibkan jurnalis untuk memberi tahu subjek tentang penggunaan data pribadi mereka. Jika jurnalis melanggar ketentuan ini, mereka bisa menghadapi sanksi hukum. Hal ini semakin mempersulit jurnalis dalam menjalankan tugas mereka, terutama dalam kasus investigasi yang melibatkan data sensitif.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juga memberikan batasan terkait pencemaran nama baik. Pasal 310 dan 311 menjelaskan bahwa jurnalis yang menerbitkan informasi yang dianggap mencemarkan nama baik bisa dikenakan tuntutan pidana. Di sisi lain, Pasal 284 mengatur tentang pelanggaran privasi, di mana tindakan yang mengganggu privasi orang lain dapat dikenakan sanksi. Dengan kata lain, jurnalis tidak hanya dituntut untuk akurat, tetapi juga harus mempertimbangkan dampak dari informasi yang mereka publikasikan.
ADVERTISEMENT
Dalam kerangka hukum keterbukaan informasi publik, Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) No. 14 Tahun 2008 menyatakan bahwa informasi yang berkaitan dengan privasi individu dikecualikan dari keterbukaan publik (Pasal 17). Jurnalis perlu sangat hati-hati ketika melaporkan informasi yang mungkin menyentuh privasi individu.
Undang-Undang Penyiaran No. 32 Tahun 2002 pun menekankan pentingnya perlindungan terhadap hak asasi manusia dalam penyiaran. Pasal 4 menegaskan bahwa informasi yang melanggar privasi individu dapat dianggap sebagai pelanggaran hukum.
Kode Etik Jurnalistik
Undang-Undang Pers No. 40 Tahun 1999 juga menegaskan tanggung jawab pers untuk menghormati hak asasi manusia, termasuk privasi. Pasal 1 menyatakan bahwa pers berfungsi untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan informasi, tetapi harus dijalankan dengan penuh rasa hormat terhadap hak asasi manusia. Pasal 5 mengingatkan bahwa jurnalis perlu menjaga martabat dan hak pribadi orang dalam peliputan berita.
ADVERTISEMENT
Nilai Berita dan Kepentingan Publik
Terdapat pertanyaan menarik mengenai bagaimana nilai berita berinteraksi dengan hak privasi. Ketika informasi berhubungan dengan pejabat publik, nilai berita sering kali mengesampingkan privasi. Misalnya, foto kegiatan pejabat publik biasanya dianggap sebagai bagian dari "wilayah publik". Namun, jika tindakan seorang pejabat tersebut berkaitan dengan pelanggaran etika atau hukum, maka kepentingan publik menjadi lebih penting daripada hak privasi individu tersebut.
Misalnya, jika seorang pejabat terlibat dalam skandal atau penyalahgunaan kekuasaan, perilaku pribadi yang sebelumnya dianggap sebagai urusan privat dapat berubah menjadi isu publik yang wajib dilaporkan. Dalam kasus ini, publik berhak untuk mengetahui karakteristik dan integritas seorang pemimpin, terutama jika ada potensi penyalahgunaan kekuasaan.
Kesimpulan
Kebebasan pers dan perlindungan privasi merupakan dua hal yang sering kali bertentangan dalam praktik jurnalistik di Indonesia. Berbagai undang-undang yang ada memberikan kerangka hukum yang kompleks bagi jurnalis. Dengan tantangan yang dihadapi, penting bagi jurnalis untuk menyeimbangkan antara kebutuhan untuk menginformasikan publik dan kewajiban untuk menghormati hak privasi individu.
ADVERTISEMENT
Maka hanya dengan cara ini, mereka dapat menjalankan tugas mereka secara profesional dan bertanggung jawab.
Oleh:
Balqis Sulistiyani
Mahasiswa Ilmu Komunikasi